Begitu peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, melangkah ke padang ilalang itu, langkahnya membal seperti berjalan di atas lapisan karet. Lebih lagi saat dia melompat-lompat, lapisan tanah lembek berair itu seperti memantul-mantulkannya.
”Inilah trampolin alam raksasa bentukan patahan Lembang,” ujar Eko. Menurut dia, trampolin alam di lembah itu sebetulnya kolam gambut raksasa. Ilalang tumbuh di atas tumpukan gambut yang terbentuk selama ribuan tahun.
Kolam gambut itu, menurut Eko, terbentuk karena gerakan patahan Lembang. Dalam istilah geologi, kolam itu disebut sagpond. Dinding batu yang membentengi sisi selatan lembah itu merupakan lava yang muncul karena rekahan kerak bumi atau yang biasa disebut patahan.
Image credit: kompas.com |
Gerakan patahan Lembang mengakibatkan permukaan tanah di sebelah selatan turun, sedangkan permukaan tanah di utara meninggi. Akibatnya, aliran air dari tangkapan air di sisi selatan terbendung di kaki dinding patahan. Material yang terbawa air dan angin mengisi genangan air dan mengendap. Kolam itu lalu ditumbuhi tanaman, sebagian yang mati mengendap di dasar kolam membentuk lapisan gambut. Sebagian lain membentuk lapisan gambut yang mengambang di kolam.
Air kolam sangat asam akibat tingginya kadar besi. Air yang diambil di sebuah galian sagpond di perumahan mewah Graha Puspa, Cihideung, misalnya, keasamannya (pH) sekitar 4. Air yang layak minum memiliki pH 7 (netral). Hanya ikan tampele (Betta picta) sejenis ikan cupang yang tahan hidup di air itu dan ditemukan di sisa sagpond perumahan itu. ”Dulu di daerah sini banyak sagpond, sekarang terus berkurang karena diuruk untuk perumahan,” kata Eko.
Bagi Eko, sagpond sangat penting. Dari penggalian sagpond di Cihideung, Eko menemukan jejak rekam gempa berkekuatan 6,8 skala Richter dari patahan Lembang sekitar 2.000 tahun lalu yang sekaligus menjadi bukti pergerakan patahan itu mampu mengirim gempa.
Bendungan lava
Pembendungan air yang menciptakan kolam itu tak semata karena pergerakan patahan. Dinding lava yang mengisi rekahan kerak bumi itulah yang menghalangi aliran air.
Eko mengatakan, melalui retakan di jalur yang membujur timur-barat itu, magma mengalir ke atas mencapai permukaan bumi dan membentuk aliran lava. Bagian timur patahan hampir semua berupa dinding lava dan muncul di permukaan. Di patahan bagian barat, masih ada lava, tetapi hanya di titik-titik tertentu lava muncul ke permukaan, antara lain, Gunung Batu, Gunung Lemban, Cihideung, Panyandakan, dan Cisarua. Lava tetap ada di bawah permukaan tanah dan menghalangi air.
Air dari tangkapan di Tangkuban Perahu di utara terhalang alirannya ke arah selatan, termasuk dataran Bandung. Air permukaan ataupun air tanah tak bisa melewati perbukitan yang tercipta patahan karena ada dinding lava di patahan. ”Sungai-sungai yang mengalir di lereng selatan dan timur Gunung Tangkuban Perahu ke arah dataran Bandung terhalang dan berbelok tegak lurus ke timur atau barat baru kemudian mengalir ke selatan,” ujar Eko Yulianto. Air yang tidak bisa mengalir ke selatan itu muncul sebagai mata air di sekitar patahan dan kolam-kolam besar.
Robert M Delinom dalam Structural Geology Control on Groundwater flow: Lemban Fault Case Study, Westjawa membuat kesimpulan serupa. Hasil analisis datanya menunjukkan, patahan Lembang mengeblok aliran air tanah. Tidak ditemukan tanda-tanda tangkapan air di bagian utara Bandung.
Aliran air terbendung di sisi utara patahan dan keluar sebagai mata air serta kolam-kolam. ”Sebaliknya, banyak daerah di sisi selatan patahan kesulitan air karena air berhenti di sisi utaranya,” kata Eko.
Asal lava
Eko mengatakan, dinding patahan bagian timur tersusun oleh lava andesit berumur 500.000 tahun. Ini diketahui dari penanggalan Gunung Batu di jalur patahan yang diperkirakan produk dari letusan Gunung Sunda purba.
Adapun lava di patahan sebelah barat diperkirakan berusia jauh lebih muda. Eko mengatakan, berdasarkan penanggalan, lahar yang tersebar di patahan sebelah barat berusia sekitar 27.000 tahun sehingga diperkirakan sebagai produk dari Tangkuban Perahu. Usia lavanya sendiri belum diketahui. Tetapi, dia memperkirakan, lava lebih muda dari usia lahar. ”Benteng lava itu tampaknya muncul belakangan lalu memotong endapan lahar,” katanya.
Eko berpendapat, patahan Lembang bukan merupakan satu segmen patahan, melainkan dua segmen patahan, yakni di bagian timur dan barat. Gaya tekan dari arah berbeda akibat tidak lurusnya garis patahan membentuk bumbungan, yakni Gunung Batu sebagai pertemuan kedua segmen itu.
Masih ada perdebatan mengenai asal-usul lava. Beberapa peneliti mengatakan, lava-lava yang berada di patahan Lembang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu di utara atau Gunung Sunda purba yang mengalir ke selatan dan terbendung rekahan kerak bumi. Namun, Eko punya pendapat berbeda. Dia meyakini sumber lava relatif lebih dekat.
”Lava di patahan Lembang berlubang-lubang akibat gelembung gas yang terperangkap saat magma bumi keluar. Lubang-lubang kemungkinan terjadi jika lava keluar dan membeku dengan cepat sehingga gas tak sempat terlepas. Jika lava mengalir jauh, itu berarti lava bergerak lambat dan gas sudah keluar semua,” ujarnya.
Berlandaskan karakter batuan, Eko menduga lava keluar dari rekahan-rekahan itu atau dari sumber lebih dekat ketimbang Tangkuban Perahu dan Gunung Sunda yang berjarak 5-8 kilometer dari patahan.
Ia menambahkan, isi perut bumi yang keluar dari rekahan sebetulnya fenomena umum. Kerap ditemui patahan yang memotong gunung sehingga seolah-olah patahan itu berhubungan langsung dengan dapur magma yang lalu mengisi rekahan.
Namun, lava-lava di patahan Lembang tidak menunjukkan gejala umum itu. Patahan itu memanjang ke arah barat-timur, sedangkan kawah Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Sunda jauh di utara sehingga tidak tersambung dengan patahan. ”Dari sisi ilmu pengetahuan, ini gejala yang menarik,” ujarnya.
Kehadiran sagpond itu, menurut Eko, menjadi penanda alam adanya patahan di kawasan itu. Daerah-daerah itu tak cocok untuk menjadi hunian karena rawan gempa akibat pergerakan patahan. Di tanah yang ada kolam-kolam gambut itu bisa terjadi penguatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah yang lunak. Akibatnya, guncangan menjadi lebih besar dan merusak.(Hermas Efendi Prabowo/ Mukhamad Kurniawan). Sumber: kompas.com
0 comments:
Post a Comment