Artikel Terbaru:
Voyager 1
Jarak dari Bumi
18,881,526,574 KM
126.21520939 AU
Jarak dari Matahari
18,809,049,197 KM
125.73072805 AU
Total waktu tempuh dalam kecepatan cahaya dari Matahari
34:59:23
hh:mm:ss
Voyager 2
Jarak dari Bumi
15,412,039,899 KM
103.02312344 AU
Jarak dari Matahari
15,407,770,377 KM
102.99458345 AU
Total waktu tempuh dalam kecepatan cahaya dari Matahari
28:33:38
hh:mm:ss

Posisi International Space Station (ISS)
Posisi ISS di atas adalah posisi ISS secara realtime (langsung).

web survey

Diskusi Terkini

Powered by Disqus

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Saturday, September 14, 2013

Setelah Sempat Ditunda, Jepang Akhirnya Sukses Luncurkan Roket Epsilon

Roket Jepang berbahan bakar padat, Epsilon yang membawa teleskop SPRINT-A akhirnya sukses diluncurkan oleh Japan Aero Space Exploration Agency (JAXA) dari Uchinoura Space Centre di Kagoshima, Jepang 14 September 2013 pukul 14:00 waktu setempat. Roket berukuran 24 meter dengan berat 91 ton itu membawa serta teleskop SPRINT-A untuk ditempatkan pada ketinggian 1000 km (620 mil) di atas permukaan Bumi yang kemudian digunakan untuk mengamati planet Venus, Mars, dan Jupiter.

Sedianya roket Epsilon akan diluncurkan pada 27 Agustus 2013, namun hanya beberapa detik sebelum peluncuran, teknisi menemukan ada kesalahan teknis dan akhirnya peluncuran pun ditunda. Roket Epsilon dibuat untuk menggantikan roket M-5 yang menurut JAXA biaya operasionalnya terlalu tinggi. Uniknya roket ini dilengkapi dengen "kecerdasan" buatan sehingga dimungkinkan sistem roket itu mampu memeriksa keadaaannya sendiri.

Saking canggihnya, hanya diperlukan 8 orang saja di ruang kontrol untuk mengontrol roket tersebut dari yang biasanya perlu hingga 150 orang. (ST, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

RS-25, Mesin Roket Terbaru, Terkuat, dan Terbesar yang Dibuat NASA (Plus Foto)

SLS dengan mesin pendorong RS-25.
Setelah NASA mempensiunkan seluruh pesawat ulang aliknya, maka praktis tidak ada lagi wahana atau pesawat NASA yang mampu membawa manusia ke luar angkasa selain dengan menggunakan roket dan modul Soyuz milik Rusia. Keputusan itu diambil NASA mengingat besarnya biaya operasional yang dikeluarkan untuk pesawat-pesawat tadi. Selain itu pesawat ulang alik dinilai sudah tidak mampu digunakan untuk mendukung misi-misi NASA berikutnya yang akan jauh lebih kompleks.

Apakah NASA akan benar-benar tidak memiliki pesawat untuk membawa astronot lagi?? NASA tentu ingin tetap menjaga kredibilitasnya di dunia penerbangan antariksa dan tidak akan diam saja. Saat ini mereka sedang membuat wahana baru yang lebih powerfull yakni SLS (Space Launch System). SLS adalah serangkaian sistem roket NASA yang dibuat untuk mengangkut kapsul, satelit, teleskop maupun instrumen lain keluar angkasa yang mampu menjangkau daerah lebih jauh di tata surya. Dengan menggunakan roket ini NASA bisa melakukan misi ke Bulan, Mars, asteroid dan sebagainya secara lebih fleksibel. Dikabarkan SLS mampu membawa muatan kargo seberat 70 sampai 143 ton, sangat banyak untuk mengirim perbekalan ke ISS.
Roket SLS NASA. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: aerospaceprojectsreview
Dengan muatan seberat itu diperlukan mesin roket yang mumpuni agar roket dapat melaju dengan kencang. Untuk itu NASA membuat mesin roket RS-25. Mesin roket berbahan bakar hidrogen kriogenik dan oksigen cair ini diklaim NASA menjadi mesin roket paling besar, paling kuat, dan paling canggih di Amerika.

Mesin RS-25 sebenarnya mesin yang juga digunakan oleh pesawat ulang alik. Tapi tentu mesin ini sekarang sudah banyak mengalami pengembangan seiring dengan kemajuan teknologi. "Selama 30 tahun menjalankan program space shuttle, RS-25 mencapai reliabilitas yang sangat tinggi," kata Garry Lyles, Chief Engineer NASA. Kekuatan mesin ini setara dengan 11 lokomotif dan 1315 mobil Toyota Prius.

Berbeda dengan pesawat ulang alik yang hanya dibekali tiga mesin RS-25, SLS akan diberi empat mesin RS-25 karena muatannya yang lebih berat. Empat mesin RS-25 itu bisa melahap 1.500 galon bahan bakar per detik. Sangat boros kan :-D tapi sebanding dengan kekuatannya.

Mesin RS-25 generasi baru ini akan diuji coba pada instrumen A-1 test stand pada 2014 dan akan diuji terbang pada 2017 dengan membawa serta kapsul Orion tanpa awak ke orbit rendah (low orbit) Bumi untuk menguji keseluruhan sistem yang terintegrasi dan dijadwalkan akan mulai digunakan sebagai kendaraan misi pada tahun 2021. Berikut adalah foto-foto dari mesin RS-25 dan uji cobanya di Stennis Space Center.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.

(NS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, September 13, 2013

NASA, Voyager 1 Sudah Keluar dari Tata Surya dan Masuk Ruang Antar Bintang

Ilustrasi Voyager 1 keluar dari tata surya dan masuk ke ruang antar bintang ditandai dengan adanya plasma yang berupa gas yang terionisasi (digambarkan dengan kabut berwarna coklat) yang berasal dari bintang-bintang. Image credit: NASA
Dr Ed Stone selaku perwakilan dari NASA yang juga menjabat sebagai Voyager's Project Scientist mengungkapkan bahwa Voyager 1 sudah berhasil ke luar dari tata surya dan saat ini memasuki ruang antar bintang. "Kami berada di ruang antar bintang untuk pertama kalinya," ucap Dr Ed Stone. "Kami tiba di sana. Ini adalah sesuatu yang kita harapkan ketika misi ini dimulai 36 tahun lalu," tambahnya. Wahana satelit yang diluncurkan pada tahun 1977 itu telah menempuh perjalanan sejauh 19 miliar kilometer dari Matahari. 

Awalnya Voyager 1 dan 2 dikirim untuk mempelajari planet Jupiter dan Saturnus. Akhirnya dari situlah astronom dengan menggunakan Voyager 1 berhasil menemukan gunung berapi aktif di salah satu bulan Jupiter, Io. Sementara itu Voyager 2 melanjutkan misi ke planet Uranus dan Neptunus. Akhirnya misi kedua satelit Voyager itu diperpanjang lagi untuk mengeksplorasi sejauh mana pengaruh Matahari dalam tata surya.

Sebenarnya posisi dari wahana Voyager ini sempat menjadi perdebatan sengit dalam satu tahun terakhir sebab para ilmuwan belum mengetahui secara pasti bagaimana tanda jika suatu wahana ke luar dari tata surya. Wahana Voyager sendiri pada sarnya telah dibekali instrumen untuk mengidentifikasi lokasinya namun instrumen itu sudah lama rusak dan tidak berfungsi.
Ilustrasi posisi Voyager 1 seperti yang diamati oleh Very Long Baseline Array (VLBA) yang menurut JPL Voyager sudah di luar tata surya. Gambar sebenarnya dari data ini tampak pada bagian snipet yang diperbesar. Image credit: Alexandra Angelich, NRAO/AUI/NSF
Belakangan para ilmuwan sepakat bahwa Voyager 1 telah ke luar dari tata surya dan masuk ke ruang antar bintang. Saat ini Voyager berada daam zona yang disebut dengan Heliosphere. Kabarnya pada Agustus 2012 itu Voyager sebenarnya sudah ke luar dari tata surya namun saat itu nampaknya mereka masih ragu-ragu. Yang menjadi alasan keragu-raguan itu adalah seharusnya jika benar Voyager keluar dari tata surya dan masuk ke ruang antar bintang seharusnya arah dari medan magnet dapat berubah tapi ternyata itu tidak terjadi. Maka sebagai gantinya mereka mendeteksi sifat-sifat plasma yang ada. Ilmuwan menggunakan antena panjang Voyager untuk mendeteksi plasma dari Matahari. Semakin jauh dari Matahari maka kepadatan plasma Matahri juga semakin berkurang. Setelah plasma Matahari berkurang maka begitu masuk ke ruang antar bintang plasma yang terionisasi dari bintang-bintang lain akan terdeteksi dan lebih padat.

Selain dengan menggunakan kepadatan plasma sebagai indikator, ilmuwan juga menggunakan data yang diterima dari Voyager pada 9 April dan 22 Mei 2013 didapatkan data bahwa Voyager berada pada lokasi dimana tingkat kerapatan elektron sekitar 0.08 per sentimeter kubik. Menurut astrofisikawan kepadatan atau kerapatan elektron di ruang antar bintang mencapai 0.05 sampai 0.22 per sentimeter kubik dan ini berarti Voyager tepat berada pada ruang antar bintang. "langakh bersejarah ini menandai awal dari sebuah era baru eksplorasi Voyager, eksplorasi ruang antar bintang," ucap Dr Ed Stone.

Voyager 1 dan 2 mengirimkan data ke Bumi setiap hari dan sinyal yang diterima dari keduanya semakin melemah yakni hanya 23 watt saja dan itu setara dengan bola lampu kulkas kita. Data dari Voyager tadi diterima oleh NASA Deep Space Network stations dalam waktu 17 jam. Setelah data diterima, data itu kemudian dikirim ke JPL (Jet Propulsion Laboratory) dan dianalisis oleh ilmuwan untuk kemudian dipublikasikan untuk umum.

Tahun 2025 nanti seluruh instrumen pada voyager 1 akan dimatikan disebabkan karena sumber daya dalam satelit itu sudah habis. Secara keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk Voyager 1 dan 2 hingga saat ini telah mencapai $ 980 juta dan ini sebanding dengan apa yang diperoleh, bahkan lebih. Saat ini Voyager sedang bergerak menuju konstelasi Ophiuchus dan diperkirakan pada tahun 40272, Voyager 1 akan berjarak 1,7 tahun cahaya dari Bumi dan menuju  bintang di konstelasi Ursa Minor yang disebut bintang AC 79 3888 untuk kemudian mengorbit di dekat pusat galaksi Bima Sakti. (SD, UT, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Thursday, September 12, 2013

Robot ExoMars Akan Gunakan Spektrometer untuk Deteksi Karotenoid di Mars

Robot ExoMars yang akan dikirim ESA ke planet Mars pada tahun 2018. Rencananya spektrometer Raman akan dipasang pada robot ini. Image credit: ESA
Ilmuwan ESA (European Space Agency) dikabarkan akan memasang sebuah spektrometer Raman pada robot penjelajah Mars (Mars rover) yang akan dikirim oleh ESA ke planet merah tersebut pada tahun 2018 mendatang. Menurut mereka spektrometer Raman itu akan mampu mendeteksi sisa-sisa bekas kehidupan di Mars dan sangat sensitif untuk mendeteksi sisa-sisa mikroorganisme bahkan jika itu sudah rusak sekalipun.

Seperti yang diketahui bahwa atmosfer planet Mars sangat tipis dan minus medan magnet global sehingga permukaan Mars tidak terlindungi dari paparan radiasi dari luar angkasa. Radiasi kosmik yang terjadi ini sangat berbahaya bagi manusia begitu juga dengan sisa-sisa petunjuk kehidupan di sana.

Spektrometer Raman dapat mengungkap dengan rinci komposisi mineral dalam batuan, molekul organik, dan tanda-tanda kehidupan itu sendiri. Spektrometer Raman memiliki kemampuan untuk mendeteksi molekul karotenoid yang ada dalam bakteri sebagai perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem sehingga menurut astrobiologis karotenoid ini bisa digunakan sebagai petunjuk valid adanya kehidupan di Mars.

Karotenoid dapat bertahan dalam paparan radiasi dengan tingkat 15000 kali lipat dari radiasi yang bisa membunuh manusia. Namun itu karotenoid bisa benar-benar lenyap jika terkena radiasi 10 kali lipat dari tingkat radiasi tadi.

Mengapa sangat sulit mencari bukti kehidupan di planet Mars?? Jawabannya karena permukaan Mars sudah terlalu lama terpapar oleh radiasi kosmik selama ratusan bahkan ribuan juta tahun. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Wednesday, September 11, 2013

Tiga Astronot ISS Berhasil Kembali ke Bumi dengan Selamat

Tiga astronot berhasil kembali ke Bumi dengan selamat setelah menyudahi misi selama hampir 6 bulan mereka di ISS. Dengan menggunakan kapsul Soyuz, mereka mendarat di sebuah padang rumput di Kazakhstan. Mereka adalah Pavel Vinogradov (Rusia), Alexander Misurkin (Rusia), dan Chris Cassidy (Amerika).

"Semua berjalan baik dan sangat lancar," ungkap Vinogradov. "Kapsul Soyuz TMA-08M mendarat di sebelah tenggraa kota Jezkagan pada pukul 06:58 waktu Moskow dan pendaratan tersebut berjalan seperti yang direncanankan," ungkap roscosmos, badan antariksa Rusia dalam situs resminya.

Mereka bertiga diberangkatkan ke ISS pada 29 Maret 2013 lalu dan menjalankan misi selama 167 hari dan berhasil mencapai ISS dalam waktu kurang dari enam jam dari normalnya dua hari untuk mengorbit dan docking. Rusia berhasil mengembangkan teknik baru dan saat ini untuk menuju IS kapsul Soyuz tidak perlu mengorbit Bumi sebanyak 30 kali tapi hanya 4 kali saja dan itu berhasil mempersingkat waktu secara signifikan.

Saat ini hanya dua astronot yang ada di ISS yakni Fyodor Yurchikhin dari Rusia dan astronot Luca Parmitano dari Italia. (ST, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Misteri 20 Tahun Terjawab, Persebaran Materi Gelap dalam Sebuah Galaksi

Galaksi Fornax, galaksi kerdil yang menjadi galaksi satelit dari galaksi Bima Sakti. Image credit: ESO/Digitized Sky Survey 2
Para astronom di University of Texas dengan menggunakan super komputer terbaru yang canggih berhasil mengungkap misteri yang telah bertahan selama 20 tahun yakni apakah materi gelap (dark matter) menyebar secara merata di dalam sebuah galaksi. John Jardel, mahasiswa pasca sarjana sekaligus peneliti studi ini mengungkapkan bahwa distribusi atau penyebaran materi gelap bervariasi antara galaksi satu dengan galaksi lainnya.

Materi gelap tidak mengeluarkan cahaya tapi para astronom dapat mendeteksinya melalui gravitasi dari obyek lain seperti bintang. Banyak teori yang megungkapkan bahwa materi gelap berasal dari bintang mati dan sebagainya namun tidak ada yang tahu dengan pasti. Meskipun begitu peran materi gelap ini sangat penting sebab alam semesta didominasi oleh materi gelap ini. Satu-satunya cara untuk memahami bagaimana alam semesta ini berevolusi hingga mencapai keadaannya sekarang yaitu dengan mengetahui apa peran dari materi gelap ini.

Galaksi kerdil umumnya mengandung 1000 kali lebih banyak materi gelap daripada materi normal. Galaksi normal seperti Bima Sakti hanya memiliki jumlah materi gelap 10 kali lipat dari materi normalnya.Dalam 20 tahun terakhir ilmuwan berdebat tentang bagaimana materi gelap ini tersebar atau terdistribusi di dalam galaksi. Menurut astronom obsevasional dengan menggunakan data dari teleskop mereka berpendapat bahwa materi gelap memiliki distribusi yang seragam di dalam galaksi. Astronom teoretikus yang didukung dengan simulasi komputer pada tahun 1990-an mengatakan bahwa kepadatan materi gelap terus berkurang dari inti galaksi hingga ke tepinya. Inilah yang mengundang perdebatan selama bertahun-tahun.

Dengan super komputer terbaru, Lonestar yang memiliki 5.840 processor di University of Texas mampu menyelesaikan data hingga 62 teraflops sehingga sangat mampu untuk melakukan perhitungan super kompleks. Jardel dan kawan-kawan mengamati galaksi satelit yang mengorbit Bima Sakti seperti Carina, Draco, Fornax, Sculptor, dan Sextans. Dengan menggunakan data yang diolah dari super komputer tadi ia menemukan bahwa kepadatan materi hitam terus menurun dari pusat galaksi namun ada juga yang tetap konstan. Tapi ketika semua galaksi itu dianalisis bersama-sama didapatkan kecimpulan bahwa pendapat astronom teoretikuslah yang benar. "Ketika anda hanya mengamati satu galaksi, beberapa dari mereka terlihat sangat berbeda. Namun ketika kita merata-rata beberapa galaksi secara bersama-sama maka perbedaan tadi akan saling membatalkan," ungkap Jardel.

Ilmu pengetahuan selalu memiliki misteri lainnya yakni bagaimana sebenarnya interaksi antara materi gelap dengan materi normal sehingga dapat membentuk sebuah galaksi. Itu akan masih terus diteliti dan pasti aan terungkap. (PHS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Tuesday, September 10, 2013

Bakteri Bisa Tumbuh Lebih Besar dan Ganas di Luar Angkasa

Media untuk penelitian bakteri yg dibawa pesawat ulang alik Atlantis. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: plosone
Berdasarkan penelitian terbaru yang dipublikasikan oleh para ilmuwan, didapatkan fakta bahwa bakteri ternyata bisa tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan ganas di tempat dengan gaya gravitasi mikro seperti di luar angkasa. Pada misi Atlantis terdahulu, dilakukan sejumlah percobaan dengan membuat media koloni hidupnya bakteri (biofilm) untuk kemudian dilihat perkembangannya. Ternyata bakteri tumbuh menjadi lebih besar dan lebih tebal. Hal itu tentu sangat membahayakan bila sampai masuk ke dalam tubuh manusia. "bakteri tumbuh selama penerbangan luar angkasa dan memiliki lebih banyak sel-sel hidup, memiliki biomassa yang lebih banyak, dan juga lebih tebal daripada bakteri yang ada pada kondisi gravitasi normal," ungkap juru bicara NASA dalam sebuah jumpa pers.

Jenis bakteri yang diamati adalah Pseudomonas aeruginosa yang tumbuh cepat selama tiga hari dalam sebuah media urin buatan. Menurut NASA media urin buatan sangat cocok sebagai tempat koloni bakteri terbentuk, baik di dalam atau di luar tubuh manusia dan mengingat itu juga termasuk limbang di pesawat ulang allik, maka media urin buatan dipilih untuk mengatahui sejauh mana efeknya terhadap kesehatan astronot.
Sampel bakteri Pseudomonas aeruginosa. Image credit: google
Hasil penelitian. Image credit: plosone
Hasil penelitian. Image credit: plosone
Setiap media tempat tumbuh bakteri diberi membran selulosa dimana bakteri bisa tumbuh di sana. Metode yang sama juga telah diterapkan pada penelitian di Bumi. "Ini masih dalam tahap awal penelitian dan memerlukan peneletian lebih lanjut lagi untuk mengetahui bagaimana haya gravitasi mikro mempengaruhi pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme lain," ungkap Cynthia Collins dari Rensselaer Polytechnic Institute. "Sebelum kita mengirim astronot ke luar angkasa, kita harus meyakinkan dulu bahwa mereka telah disterilisasi dari bakteri dan mikroorganisme lain untuk mengurangi resiko mereka sebagai pembawa dan tempat tumbuhnya bakteri yang dapat menyebar ke astronot lain dan juga peralatan yang ada," tambah Collins. (UT, PS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Maaf, komentar yang mengandung unsur SARA tidak akan ditampilkan..Terima Kasih


 Informasi Selengkapnya >>
Waktu saat ini di kawah Gale, Planet Mars:

Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto