Artikel Terbaru:
Voyager 1
Jarak dari Bumi
18,881,526,574 KM
126.21520939 AU
Jarak dari Matahari
18,809,049,197 KM
125.73072805 AU
Total waktu tempuh dalam kecepatan cahaya dari Matahari
34:59:23
hh:mm:ss
Voyager 2
Jarak dari Bumi
15,412,039,899 KM
103.02312344 AU
Jarak dari Matahari
15,407,770,377 KM
102.99458345 AU
Total waktu tempuh dalam kecepatan cahaya dari Matahari
28:33:38
hh:mm:ss

Posisi International Space Station (ISS)
Posisi ISS di atas adalah posisi ISS secara realtime (langsung).

web survey

Diskusi Terkini

Powered by Disqus

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Saturday, March 10, 2012

Ilmuwan Gunakan Komputer Untuk Reka Ulang Ledakan Big Bang

Hasil simulasi komputer ledakan Big Bang. Image credit: dailymail.co.uk
Melalui reka ulang Big Bang, ilmuwan mengaku mampu mempelajari bagaimana semesta tercipta. Pertunjukan kembang api menakjubkan ini seperti kembang api di langit malam.

Gambar ledakan ini merupakan gambaran kelahiran semesta. Gambar komputer ini merupakan hasil eksperimen ‘big bang’ yang dilakukan ilmuwan CERN, rumah Large Hadron Collider (LHC), di Jenewa, Swiss.

Dalam upaya menentukan cara semesta muncul, ilmuwan membuat reka ulang ledakan sub-atom (seperti saat terjadinya Big Bang) menggunakan partikel berukuran atom. Para ilmuwan ini menembakkan partikel melalui akselerator 25,7 kilometer di kecepatan cahaya.

Saat partikel bertabrakan di ruang hampa bersuhu lebih dingin dari -271 derajat Celcius, pertunjukkan luar biasa pun terjadi. “Partikel sub-atom merupakan blok pembangun atom dan umum ditemui di semesta,” ujar juru bicara CERN Christine Sutton.

Mempelajari partikel ini bisa membuat kita mengetahui bahan pembuat semesta dan cara munculnya, lanjutnya. “Jejak yang muncul kami ukur. Jejak ini diberi warna mewakili energinya. Biru mewakili energi tinggi dan merah lebih rendah,” katanya seperti ditulis Dailymail.

CERN merupakan tempat untuk menangani sejumlah tenaga tak terbayangkan. Saat ilmuwan menggunakan 9.300 magnet untuk menembakkan dua ion super cepat, panas yang dihasilkan mencapai 100.000 kali lebih panas dari matahari. (inilah.com, astronomi.us)

NASA Temukan Badai Dahsyat Bawah Laut

Badai bawah laut ini terjadi di pesisir Afrika Selatan. Image credit: dailymail.co.uk

Badai besar ini memiliki diameter 150 km. Image credit: dailymail.co.uk
NASA baru saja mengungkap gambar dari satelitnya menampilkan ‘badai’ raksasa di bawah air. Putaran massa air selebar 150 km ini muncul di pesisir Afrika Selatan.

Badai raksasa ini terjadi pada 26 Desember 2011, dan satelit Terra milik NASA berhasil menemukannya. Kejadian ini tak perlu dikhawatirkan karena hanya ikan yang akan merasakan dampaknya, karena ikan-ikan ini akan terus berputar tanpa henti.

Badai laut yang lebih dikenal dengan Eddy ini biasa terjadi di bawah permukaan laut. Eddy yang berputar melawan arah jam ini muncul dari Agulhas Current yang mengalir di pesisir selatan Afrika dan di sekitar ujung Afrika Selatan.

Agulhas Eddy yang juga dikenal dengan ‘cincin arus’ ini merupakan badai terbesar di dunia yang membawa air asin hangat dari Samudera Hindia ke Atlantik Selatan. Demikian seperti dikutip DM. (inilah.com, astronomi.us)

Wahana NASA Tangkap Fenomena Angin Puting Beliung di Mars

Angin Puting Beliung di Mars. Image credit: NASA
Wahana Mars Reconaissance Orbiter menangkap penampakan "ular putih/Angin puting beliung" pada 16 Februari 2012 yang lalu ketika melintas di wilayah Amazonis Planitia, bagian utara Mars.

Ular putih tersebut diketahui berada pada ketinggian 800 meter dari permukaan Mars. Perkiraan menunjukkan bahwa panjang ular putih itu sekitar 30 meter.

Menurut penjelasan NASA, penampakan ular putih tersebut adalah udara yang berputar dan terlihat karena menarik debu dari permukaan Mars. Debu bisa ditarik karena gravitasi Mars relatif kecil.

Panas Matahari memanaskan permukaan Mars. Udara di sekitar permukaan yang terpanaskan mulai berotasi dan bergerak ke atas. Akhirnya, massa udara itu naik dan membawa debu yang ada di permukaan.

NASA, seperti diberitakan Space.com, Kamis (8/3/2012), mengungkapkan bahwa bukan Mars saja yang bisa mengalami fenomena serupa. Penampakan yang sama bisa terjadi di Bumi. Angin di Bumi dan Mars sama-sama dipengaruhi oleh panas.

Citra ini adalah yang kesekian kalinya dihasilkan wahana Mars Reconaissance Orbitter. Wahana tersebut diluncurkan pada tahun 2005 dengan tugas meneliti lingkungan purba Mars dan bagaimana proses angin dan hantaman meteorit memengaruhi permukaan Mars saat ini.(kompas.com, astronomi.us)

Badai Matahari Rusak Kamera Satelit Venus Express

Satelit Venus Express. Image credit: ESA
Badai Matahari terbesar yang terjadi pada Rabu (7/3/2012) merupakan yang terkuat dalam lima tahun terakhir. Badai ini membutakan satelit milik European Space Agency (ESA) yang mengorbit Venus, Venus Express.

Space.com pada Kamis (8/3/2012) melaporkan bahwa radiasi dari badai Matahari membuat kamera yang terdapat di wahana antariksa tersebut tak mampu mendeteksi bintang.

"Kami tak mampu mendeteksi bintang apa pun jadi kami ubah ke unit B, tetapi kami menemukan hal yang sama. Kedua kamera dibutakan oleh badai Matahari," kata Octavio Camino, Manager Proyek Venus Express.

Kamera yang rusak sejatinya adalah pelacak bintang atau startracker. Kamera tersebut membuat wahana mampu menentukan posisi dan orientasi di angkasa, persis ketika pelayar membaca rasi bintang.

Informasi yang didapatkan kamera dikalibrasi dengan alat yang disebut giroskop. Dengan cara ini, wahana antariksa mengetahui arah gerak dan sudutnya.

Dalam misi antariksa, kamera ini sangat krusial. Pasalnya, wahana mengarahkan panel surya ke Matahari dan antenanya ke Bumi. Tanpa kamera ini, wahana bisa gagal berfungsi.

Startracker pada Venus Express telah 5-10 kali gagal berfungsi akibat badai Matahari. Namun, kegagalan kali ini adalah yang terlama, mencapai 40 jam.

"Ini tak biasa. Kami pernah mengalami gagal berfungsi selama 32 jam, tetapi kali ini cukup lama. Jadi, ini kasus istimewa," kata Paolo Ferri, ilmuwan ESA.

Kegagalan fungsi startracker pada Venus Express tidak permanen. Jadi, ini tak berarti Venus Express tak bisa dipakai lagi. Penanganan yang tepat bisa "menyembuhkan" Venus Express dari kebutaan.

Saat ini, ESA masih terus memantau aktivitas Matahari yang dianggap belum menunjukkan tanda penurunan. ESA akan melakukan beberapa operasi. Kontrol misi akan menghentikan beberapa fungsi wahana antariksa hingga situasi normal.

"Kami tak berasumsi masalah ini akan menjadi permanen. Normal saja Matahari naik dan turun seperti ini dan kita hanya butuh periode pendek untuk diam dan memulihkan lagi ke kondisi normal, yaitu kondisi saat stratracker mampu membaca bintang lagi dengan sendirinya. Ada banyak aktivitas 'pengasuhan bayi' sekarang, tetapi kami tak berharap ini selamanya," papar Ferri.(kompas.com, astronomi.us)

Friday, March 9, 2012

Tranquillityite Perkuat Teori Bahwa Dahulu Bulan Bagian Dari Bumi

Mineral bulan tranquillityte akhirnya berhasil ditemukan di bumi. Hal ini semakin memicu pandangan bahwa bulan merupakan bagian dari bumi yang terpecah pada miliaran tahun lalu. Image credit: NASA
Baru baru ini di temukan tranquillityite tersebar di Australia Barat, mineral yang selama ini diketahui hanya terdapat di batuan dan meteorit bulan, dan bisa jadi kandungan mineral ini banyak terdapat di bumi.

Tranquillityite memang tidak memiliki nilai ekonomis, namun para ilmuwan mengatakan bahwa mineral ini dapat digunakan untuk untuk mengetahui usia batu di mana ia ditemukan melalui pengukuran proporsi isotop radioaktif dalam mineral.

Mineral ini diberi nama berdasarkan Lautan Ketenangan (Sea of Tranquility) di bulan, tempat di mana astronot Apollo 11 mendarat pada 1969.

Para ilmuwan menemukan tiga mineral yang sebelumnya tidak diketahui dalam sampel yang dikumpulkan dari batuan beku bulan, yaitu: armalcolite, pyroxferroite, dan tranquillityite. Dua mineral yang pertama kemudian ditemukan di bumi dalam satu dekade terakhir, namun tranquillityite tetap tersembunyi selama lebih dari 40 tahun terakhir.

Birger Rasmussen, ahli geologi di Universitas Curtin di Bentley, Australia, bersama timnya melaporkan penemuan mereka pada Isu Geologi bulan ini.

Birger Rasmussen mengatakan bahwa tranquillityite tampaknya tersebar dalam jumlah besar di bumi, walaupun bentuknya sangat kecil. Kristal tranquillityite berukuran panjang sekitar 150 mikrometer dan terlihat seperti jarum kecil.

Tim memeriksa batuan beku di Australia Barat, khususnya daerah yang tidak mengalami perubahan metamorfosa besar di bumi, karena tranquillityite mudah untuk berubah menjadi mineral lain bila terkena panas maupun tekanan yang berlebihan.

Tim peneliti mampu mengonfirmasi penemuan tranquillityite dengan menembakkan elektron berkecepatan tinggi melalui sampel batuan. Tranquillityite menyebarkan elektron dalam pola unik yang mencerminkan pola yang sama dengan sampel mineral yang diambil dari bulan.

Selama ini ilmuwan beranggapan bahwa tranquillityite adalah mineral khas dari bulan, sehingga menimbulkan sebuah pemikiran bahwa proses kimiawi dan geologi di bulan sebenarnya sama dengan di bumi. Sejumlah pendapat pun mulai menyatakan pandangan bahwa bulan sebenarnya merupakan bagian dari planet bumi yang terpecah pada miliaran tahun yang lalu.

Suhu Permukaan Pluto Capai Minus 220C

Ilustrasi permukaan planet Pluto. Image credit: erabaru.net
Kesan artisktik berdasarkan data Observatorium Eropa Selatan menunjukkan bagaimana cerahnya hari di Planet Pluto.

Pluto berada sekitar 40 kali lebih jauh dari matahari dibandingkan dengan Bumi.

Dari Planet Pluto, matahari terlihat 1000 kali lebih redup dibandingkan penampakannya dari Bumi. Permukaan planet kurcaci ini dilapisi kulit metana beku dengan atmosfir berkabut gas metana.

Pluto yang memiliki ukuran seperlima Bumi, komposisinya terdiri dari bebatuan dan es.

Suhu di permukaan Pluto sekitar -220C. Namun menurut pengukuran yang dilakukan oleh Observatorium Eropa Selatan, atmosfir planet ini jauh lebih hangat.

“Dengan banyaknya kandunagn metana di atmosfir, menjadi jelas mengapa atmosfir Pluto begitu hangat,” ujar Emmanuel Lellouch, penulis utama laporan hasil riset ini. Atmosfir Pluto sekitar 50 derajat lebih hangat dibandingkan dengan permukaannya.

"Hal ini menarik untuk dipikirkan karena dengan CRIRES kita dapat secara tepat mengukur jejak gas pada objek yang besarnya lima kali lebih kecil dari planet kita ini," ujar rekan penulis Hans-Ulrich Käufl.

"Kombinasi CRIRES dan VLT hampir mirip dengan satelit penelitian atmosfer yang mengorbit Pluto." (erabaru.net, astronomi.us)

Ilmuwan: Dahulu Ada Kehidupan di Planet Ini

GJ 1214b, planet yang memiliki atmosfir serupa Bumi. Image credit: NASA
Uap air dalam jumlah besar terdeteksi dari sebuah planet super-Earth berjarak 40 tahun cahaya. Planet bernama GJ1214b itu diduga pernah ditutupi air. Pernah ada kehidupan di planet ini?

Ilmuwan menduga, planet ini pernah masuk dalam kategori Goldilocks Zone atau Zona Habitat. Tapi, planet ini kemudian bergerak terlalu dekat dengan bintang dalam tata suryanya sehingga air pun menguap.

Artinya pula, bisa jadi ada kehidupan asing alias alien di planet ini, jutaan tahun lalu.

Para astronom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA) Amerika menggunakan Teleskop Hubble untuk menyelidiki planet yang ditemukan tahun 2009 ini. Hasilnya, terbukti planet ini mengandung air dan dilapisi atmosfer beruap.

"GJ1214b tidak seperti planet yang kita kenal selama ini," kata astronom Zachory Berta. Menurut dia, beberapa bagian besar dari massa planet ini terdiri dari air.

Para teoritis menduga GJ1214b terbentuk saat jauh dari bintang di mana planet mengandung es yang banyak. Lalu, planet ini 'bermigrasi'. Dalam proses perpindahan ini, planet diduga pernah masuk dalam zona habitat. Untuk berapa lama planet ini berada di zona pas untuk habitat dan makhluk hidup, para astronom tak bisa menjawab.

Dua tahun lalu, CfA menemukan planet GJ1214b yang berukuran 2,7 kali bumi. Dia mengorbit pada bintang kerdil berwarna merah bernama Ophiuchus setiap 38 jam sekali pada jarak 1,3 juta kilometer (km)--70 kali jarak Bumi dengan Matahari. Suhu di Planet ini diperkirakan mencapai 232 derajat Celcius.

Astronom Heather Couper menilai temuan ini penting dalam mencari tanda-tanda kehidupan di luar Bumi. "Ada bukti bahwa ada air di sana. Ini menunjukkan air bisa jadi material umum di alam semesta," kata dia seperti dikutip dari Dailymail.

Thursday, March 8, 2012

Astronom Temukan 11 Tata Surya Baru

Ilustrasi tata surya dan planet hasil temuan terbaru Kepler. Image credit: NASA
Sejumlah 11 tata surya baru yang memiliki jumlah total 26 planet ditemukan. Penemuan dideskripsikan di empat karya tulis berbeda di Astrophysical Journal dan Monthly Notice of the Royal Astronomical Society bulan ini.

Penemuan bisa dilakukan berkat jasa wahana antariksa Kepler. Dengan penemuan ini, Kepler telah mengonfirmasi 61 planet dan menemukan 2.300 kandidat planet. Penemuan sekaligus menegaskan bahwa Bimasakti dipadati tata surya dan planet.

Tata surya yang berhasil ditemukan disebut Kepler 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 33. Tiap-tiap tata surya punya dua sampai lima planet. Jarak planet dengan bintang di tiap tata surya relatif dekat dengan waktu orbit berkisar dari 6-143 hari.

Lima tata surya (Kepler 25, 27, 30, 31, dan 33) punya dua planet. Satu kali revolusi planet terluar sama dengan dua kali revolusi planet terdalam. Empat tata surya lain (Kepler 23, 24, 28, 32) punya dua planet. Planet terluar mengorbit bintang dengan waktu tiga kali lebih lama dari planet terdalam.

Tata surya yang memiliki planet terbanyak adalah Kepler 33. Bintang pada tata surya ini lebih tua dan masif dibandingkan Matahari serta memiliki planet yang jarak orbitnya relatif dekat.

Ukuran planet yang terdapat di 11 tata surya tersebut bervariasi, antara seukuran Bumi hingga lebih besar dari Jupiter. Namun, masih harus diteliti lagi apakah planet tersebut merupakan planet batuan seperti Bumi dan memiliki atmosfer.

Tata surya dan planet ditemukan dengan metode planet transit, yakni melihat kedipan cahaya bintang akibat adanya planet yang lewat di mukanya. Verifikasi planet dilakukan dengan teknik variasi waktu transit.

Sejumlah peneliti yang terlibat penemuan ini adalah Eric Ford dari Universitas Florida, Dan Fabrycky dari Universitas California, Jason Steffen dari Fermilab Center for Particle Astrophysics, dan Jack Lissauer dari NASA.(kompas.com, astronomi.us)

Video: Fakta Paling Aneh Tentang Alam Semesta

Dalam sebuah wawancara yang digelar oleh majalah TIME pada tahun 2008, astrofisika Neil deGrasse Tyson ditanya tentang "Apakah fakta yang paling mengherankan" tentang alam semesta?. Ternyata ia dan teman-teman ilmuwan lainnya memberikan jawaban yang sama. Untuk mengetahuinya silahkan melihat video berikut:

Tuesday, March 6, 2012

Mengapa Bayangan di Bulan Menjadi Sangat Gelap?

Sisi gelap dan terang pada Bulan. Image credit: NASA/GSFC/Arizona State University
Tampak pada gambar di atas sebuah batu tergradasi antara gelap dan terang akibat bayangan sinar matahari, tapi mengapa bayangan di Bulan tampak begitu gelap?

Di Bumi, udara menyebarkan cahaya dan memungkinkan objek yang tidak terkena sinar matahari langsung menjadi masih cukup terang. Ini adalah efek yang disebut hamburan Rayleigh atau Rayleigh scattering, nama diambil dari pemenang Nobel fisika asal Inggris Lord Rayleigh (John William Strutt.) Hamburan Rayleigh adalah alasan mengapa langit berwarna biru, dan (sebagian besar) mengapa kita masih dapat membaca majalah dengan baik saat berada di bawah payung di tepi pantai.

Di Bulan tidak ada udara, tidak ada hamburan Rayleigh. Jadi bayangan yang ada menjadi sangat gelap dan di sisi lain daerah yang terkena sinar matahari menjadi sangat cerah. Daerah gelap secara dramatis keruh, seperti pada gambar LROC atas, namun masih ada beberapa cahaya memantul sekitarnya, ini adalah karena cahaya tersebut dipantulkan dari permukaan bulan itu sendiri.

Astronot di Bulan pada misi Apollo.
Image credit: NASA/Apollo Image Archive
Bulan terdiri dari materi halus, partikel debu yang sangat reflektif. Hal ini cenderung untuk memantulkan cahaya langsung kembali pada sumbernya, dan akan menerangi obyek dalam bayangan, seperti yang terlihat dalam foto-foto misi Apollo. Astronot dalam bayangan dari modul pendaratan masih terlihat, dan pakaian mereka terlihat dengan baik sebab diterangi oleh cahaya yang dipantulkan dari permukaan bulan. Beberapa orang telah menggunakan ini sebagai "bukti" bahwa pendaratan di Bulan sebenarnya difilmkan di panggung suara di bawah lampu buatan, namun pada kenyataannya itu semua karena cahaya yang dipantulkan.

Jadi meskipun udara tidak menghamburan sinar matahari di Bulan, masih ada refleksi cahaya yang cukup untuk menyelinap ke dalam bayangan, tapi tidak banyak. (Adi Saputro/astronomi.us) 

Monday, March 5, 2012

Bulan Planet Saturnus Juga Memiliki Cincin

Bulan milik Saturnus Anthe (atas) dan Methone (bawah)
yang dikelilingi cincin parsial berbentuk
seperti busur panah. Image Credit: NASA
Cincin ternyata tak hanya menghiasi Planet Saturnus saja. Foto-foto terakhir yang dikirimkan wahana ruang angkasa Cassini menunjukkan bahwa cincin parsial juga mengelilingi bulan-bulannya.

Cassini mendeteksi cincin pertama di salah satu bulan yang bernama Anthe. Cincin kedua juga terekam di bulan lainnya bernama Methone. Kedua objek termasuk bulan Saturnus yang berukuran kecil.

Tidak seperti cinin planet Saturnus yang halus, lebar, dan membentuk lingkaran penuh, cincin parsial kasar, renggang, dan hanya membentuk lengkungan seperti busur panah. Cincin parsial tersusun dari serpihan-serpihan batu meteor yang mungkin menabrak permukaan bulan tersebut.

Nick Cooper, salah satu ilmuwan dari Universitas Queen Mary London yang terlibat dalam tim pengolah citra Cassini yakin cincin parsial terbentuk karena pengaruh gravitasi objek lainnya di sekitar kedua bulan tersebut. Sebab, Anthe dan Methone berada dekat Mimas, bulan lainnya yang ukurannya lebih besar.

Ia mengatakan, foto-foto tersebut mmberikan informasi baru. Informasi tersebut akan membantu mengungkap interaksi antara bulan-bulan Saturnus dan cincinnya.(kompas.com, astronomi.us)

Bulan Saturnus, Dione Miliki Oksigen

Dione muncul di balik bulan Saturnus lain, Titan. Image credit: NASA
Wahana antariksa Cassini mendeteksi keberadaan oksigen di atmosfer Dione, salah satu bulan milik planet Saturnus. Oksigen itu hanya terdapat dalam jumlah sedikit di lapisan atmosfer yang juga tipis. Hanya ada 1 ion oksigen di setiap 11 centimeter kubik atmosfer, mirip seperti kondisi atmosfer Bumi pada ketinggian 480 km.

Ada 2 kemungkinan pembentukan oksigen di Dione. Pertama, foton cahaya Matahari menumbuk es di permukaan Dione, membebaskan ion oksigen ke atmosfer. Kedua, oksigen muncul dari aktivitas geologi Dione.

Meskipun bulan ini memiliki oksigen, lingkungannya tak bisa diharapkan untuk mendukung kehidupan. Astronom mengungkapkan, kerapatan atmosfer Dione 5 triliun kali lebih kecil dari dari lapisan atmosfer di dekat permukaan Bumi. Selain itu, tak ada indikasi Dione memiliki air dalam bentuk cair.

Robert Tokar dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, pimpinan penelitian ini, mengatakan bahwa hal terpenting dalam penemuan ini bukan bisa tidaknya Dione mendukung kehidupan.

"Penemuan ini membuktikan bahwa oksigen sebenarnya umum di sistem Saturnus dan menunjukkan bahwa oksigen bisa muncul lewat proses yang tidak melibatkan makhluk hidup," kata Tokar seperti dikutip Space, Jumat (2/2/2012).

Jika Dione tidak bisa mendukung kehidupan karena kondisi atmosfer dan ketiadaan air dalam bentuk cair, maka pasti ada bulan lain di saturnus yang bisa. Astronom bisa melakukan penelitian lebih lanjut di sistem Saturnus.

Penemuan oksigen di Dione dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters bulan ini.

Dione adalah bulan Saturnus dengan lebar 1123 km, mengorbit Saturnus dari jarak 377.400 km dengan periode 2,7 hari.

Sejauh ini, bulan Saturnus yang dianggap paling mendukung kehidupan adalah Titan. Sementara, sebelumnya oksigen juga pernah ditemukan di bulan Saturnus lain, Rhea.(kompas.com, astronomi.us)

Ilmuwan: Letusan Gunung Berapi Bulan Bisa Dilihat dari Bumi

Bulan membara. Image credit: gawkerassets.com
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Geosciences, di masa depan, manusia akan menikmati pemandangan indah, yakni letusan gunung berapi di Bulan yang terlihat dari Bumi.

Menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh seismometer yang dipasang di Bulan saat misi Apollo digelar, diketahui bahwa sekitar 30 persen lapisan yang mengelilingi inti Bulan yang terbuat dari logam merupakan zat cair.

Menurut Renee Weber, peneliti dari Marshall Space Flight Center NASA yang mengetuai studi pemetaan dan pemodelan Bulan, lava cair itu berada di kedalaman 1200 sampai 1350 kilometer di bawah permukaan Bulan.

Lalu, mengapa tidak ada gunung berapi aktif di sana?

Dikutip dari Gizmodo, 21 Februari 2012, permukaan Bulan sama seperti planet mati. Letusan gunung berapi terakhir yang terjadi di Bulan terjadi beberapa miliar tahun yang lalu.

Untuk mengetahui apakah akan ada letusan gunung berapi di bulan, sekelompok peneliti yang diketuai Mirjam van Kan Parker dan Wim van Westernen dari VU University, Amsterdam coba mencari jawabannya.

Berhubung manusia tidak bisa mengakses lava yang ada di Bulan, peneliti menggunakan sampel bebatuan seberat 350 kilogram yang dibawa oleh Apollo dari Bulan. Mereka kemudian menempatkan batu itu di kondisi serupa dengan perut Bulan. Yakni dengan tekanan lebih dari 45.000 bar serta temperatur sekitar 1.500 derajat Celsius.

Setelah menciptakan lava buatan, mereka kemudian menganalisa dan membuat simulasi komputer. Ternyata, diketahui bahwa magma Bulan kaya dengan titanium.

Artinya, lava cair itu terlalu berat untuk dapat mengalir ke permukaan Bulan. Padahal, agar lava bisa meletup di permukaan Bulan, ia perlu lebih ringan.

“Setelah magma terbentuk, mereka terakumulasi di lapisan bawah Bulan. Kira-kira seperti gunung berapi namun terbalik. Saat ini, Bulan sedang berada dalam fase pendinginan, demikian pula dengan bagian dalamnya,” kata Westrenen. “Ini menjawab pertanyaan mengapa tidak ada gunung berapi di Bulan,” ucapnya.

Tetapi, bagaimana dengan di masa depan?

Di masa depan, lava yang lebih dingin itu akan berubah komposisinya. Kemungkinan, ia akan menjadi tidak terlalu padat dibandingkan dengan zat-zat yang ada di sekelilingnya. “Magma yang lebih ringan ini dapat dengan mudah bergerak ke permukaan dan membentuk gunung berapi di Bulan,” kata Westrenen. “Itu akan menjadi pemandangan yang sangat indah,” ucapnya.

Sayangnya, tidak satupun dari kita yang hidup saat ini bisa melihat fenomena letusan gunung berapi di Bulan. Pasalnya, proses tersebut akan membutuhkan waktu jutaan tahun. (vivanews.com, astronomi.us)

NASA: Asteroid 2011 AG5 Ancam Tabrak Bumi pada 2040

Ilustrasi asteroid menabrak Bumi. Image credit: starryskies.com
Belum lagi pasti, apakah Bumi akan selamat dari asteroid Apophis, yang menurut para ilmuwan Rusia bakal menabrak Bumi pada 13 April 2036, ancaman baru muncul.

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengidentifikasi sebuah batu angkasa yang memiliki peluang untuk menyenggol Bumi. Besarnya 460 kaki atau 140 meter. Identifikasi NASA menyebut, asteroid yang dinamai 2011 AG5 berpeluang menabrak Bumi pada 5 Februari 2040.

Seperti dimuat Daily Mail, 28 Februari 2012, keberadaan asteroid ini bahkan menjadi perhatian tim aksi objek dekat Bumi bentukan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), yang mulai membahas bagaimana cara untuk mengalihkan orbit batu raksasa ini agar tak menyenggol Bumi. Agar tak membahayakan umat manusia.

Berdasarkan perhitungan NASA yang disampaikan Donald Yeomans, Kepala Program Observasi Obyek Dekat Bumi di Laboratorium Jet Propulsion, peluang asteroid itu bersenggolan dengan Bumi adalah 1:625, prediksi yang bisa terus berubah, seiring pergerakannya yang terus berubah. "Untungnya, obyek ini akan bisa diamati dari tanah dalam interval 2013-2016," kata dia.

Meski tak akan menyebabkan kiamat dan memusnahkan umat manusia, skrenario terburuknya, jika benda langit itu menabrak sebuah kota, niscaya jutaan nyawa akan melayang.

Sebagai perbandingan, asteroid yang menjadi pemicu musnahnya spesies Dinosaurus 65 juta tahun lalu, sembilan mil lebih lebar dari ukuran 2011 AG5.

Sejauh ini, para ilmuwan masih meraba-raba, mencari tahu sifat pergerakan asteroid itu. Para ahli baru bisa memperkirakan ukurannya, mereka baru bisa mengamati setengah orbitnya.

Baru antara tahun 2013 dan 2016, para astronom akan bisa memonitor 2011 AG5 dari tanah, yang jadi modal untuk membuat penilaian yang lebih rinci.

Pada 2023, asteroid ini akan "lolos dari lubang kunci" ke Bumi -- di area yang melewati orbit, sebelum ia akhirnya menabrak Bumi.

Menurut Laboratorium Jet Propulsion NASA, momentum akan berada dalam 0.02 unit astronomi dari planet kita, atau sekitar 1,86 juta mil.

Apa yang bisa dilakukan untuk menghindari petaka?

NASA mengatakan, di antara opsi penyelamatan Bumi adalah dengan mengirimkan pesawat ke asteroid tersebut yang bisa memberi efek grafitasi, untuk mengarahkan 2011 AG5 menjauh dari bumi, selama jutaan tahun cahaya.

Opsi lain, adalah dengan mengirim satelit dan menabrakkannya ke asteroid tersebut.

Penggunaan senjata nuklir juga didiskusikan. Namun, dikhawatirkan, alih-alih menyelesaikan masalah, nuklir justru menciptakan hujan batu yang mengarah ke Bumi.

Sementara, seperti dimuat SPACE.com, asteroid ini ditemukan pada Januari 2011 oleh observatorium Mount Lemmon Survey di Tucson, Arizona.

"2011 AG5 adalah obyek yang saat ini memiliki kesempatan tertinggi menabrak Bumi, di 2040. Namun, kita hanya mengamatinya selama sekitar setengah orbit, sehingga presisi perhitungan ini masih tidak terlalu tinggi," kata Detlef Koschny dari Divisi Tata Surya Badan Angkasa Eropa (European Space Agency), Belanda. (vivanews.com, astronomi.us)

Sunday, March 4, 2012

Zat Asam di Laut Meningkat Dalam 300 Tahun Terakhir


Penelitian menunjukkan bahwa samudera menghasilkan zat asam (acid) lebih cepat. Menurut sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Science, lautan di dunia mengalami laju pengasaman yang hebat dalam 300 juta tahun terakhir."Catatan Geologi mengungkapkan bahwa pengasaman saat ini berpotensi lebih tinggi setidaknya dalam waktu 300 juta tahun terakhir sejarah planet bumi ini" ujar Andy Ridgwell dari Bristol University.

Selama satu abad terakhir ini, ukuran keasaman (pH) telah menurun 1/10 unit menjadi 8,1, pH tersebut diukur pada skala logaritmik. Namun, diketahui pula bahwa tingkat perubahan keasaman pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) melonjak naik 10 kali lebih cepat pada 56 juta tahun yang lalu. Demikian dilansir Theregister, Jumat (2/3/2012).

"Fenomena ini menimbulkan kemungkinan bahwa kita sedang memasuki wilayah ekosistem lautan yang tidak kita ketahui" terangnya.

Selama PETM itu, dikabarkan terjadi kepunahan massal di ekosistem darat maupun laut. Penyebab peningkatan acid ini belum dipahami dengan baik, diduga serangkaian semburan metana besar dari sedimen laut aktivitas gunung merapi merupakan faktor utama yang meningkatkan pengasaman (acid) ini.

Selain itu, atmosfer zat karbondioksida (CO2) yang kini intensitasnya meningkat sekira 30 persen dibandingkan satu abad yang lalu menjadi pemicu tingkat keasaman laut. Dikabarkan bahwa laut menyerap CO2 dari udara yang bereaksi dengan air laut untuk membetuk asam karbonat.

"Jika emisi karbon dari industri terus meningkat cepat, kita mungkin akan kehilangan organisme terumbu karang, tiram dan ikan salmon" ujar Honisch dari Columia University.

Peningkatan asam laut ini tidak menimbulkan dampak buruk, dikabarkan beberapa organisme pada kenyataannya mendapatkan keuntungan dari lingkungan yang lebih asam, yaitu akan ada spesies baru yang berevolusi dan akan menggantikan organisme lain yang telah mati. (okezone.com, astronomi.us)

Maaf, komentar yang mengandung unsur SARA tidak akan ditampilkan..Terima Kasih


 Informasi Selengkapnya >>
Waktu saat ini di kawah Gale, Planet Mars:

Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto