Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Showing posts with label Teknologi. Show all posts
Showing posts with label Teknologi. Show all posts

Saturday, August 9, 2014

RTG, Baterai yang Mampu Hidupkan Wahana NASA Hingga Puluhan Tahun

Perakitan wahana New Horizon di clean room. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Tulisan ini dibuat karena banyak pembaca yang penasaran seperti apa baterai / power supply (sumber daya) yang digunakan oleh pesawat, satelit, dan wahana NASA sehingga bisa terus beroperasi di luar angkasa dalam waktu hingga puluhan tahun lamanya tanpa harus isi ulang. Apakah baterai yang digunakan oleh NASA pada wahana-wahana tersebut?

Umumnya NASA menggunakan dua sumber energi untuk mendukung misi dari wahana yang diluncurkannya. Sumber energi diperlukan untuk menghidupkan berbagai instrumen dan sistem elektronik dari wahana itu sendiri. Pertama adalah Solar Array (Panel Surya) dan RTG (Radioisotope Thermoelectric Generators). Seperti yang diketahui bersama bahwa panel surya mendapatkan sumber energi dari sinar Matahari untuk kemudian dirubah menjadi listrik dan disimpan ke dalam baterai. Dan khusus kali ini yang akan kita bahas secara lebih detail adalah RTG.

RTG dirancang, dibuat, dan dikembangkan oleh Departemen Energi Amerika untuk digunakan sebagai sumber energi jangka panjang pada wahana-wahana luar angkasa. RTG yang disebut juga sebagai baterai luar angkasa (space batteries) atau baterai Nuklir (nuclear batteries) bisa membuat instrumen dan perangkat elektronik wahana luar angkasa beroperasi selama belasan bahkan puluhan tahun tanpa harus diisi ulang.

RTG secara umum terdiri dari dua unsur utama yaitu sumber panas (bahan bakar) yang terdiri dari Plutonium-238 dioksida dan Termoelektrik / termokopel yang berfungsi untuk merubah panas yang dihasilkan oleh Plutonium-238 dioksida menjadi energi listrik. Konversi panas menjadi listrik bukanlah hal yang baru melainkan sudah ditemukan 150 tahun lalu oleh ilmuwan Jerman Thomas Johann Seebeck.

Biasanya sebuah RTG terdiri dari 72 pelet bahan seperti keramik yang terdapat Plutonium-238 dioksida di dalamnya. Berat total pelet tersebut bisa mencapai 11 kg.
Bagian-bagian RTG yang digunakan pada wahana Cassini. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Pelet Plutonium-238 dioksida. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: wikipedia
Selain karena bisa menghasilkan listrik dalam jangka waktu sangat lama, RTG juga aman untuk digunakan. Pelet dilindungi oleh beberapa lapisan luar dengan tujuan untuk meminimalkan efek dari hal-hal yang bisa membahayakan seperti kondisi lingkungan, musibah, dan sebagainya. Plutoniumnya juga dikemas dalam bahan keramik dalam bentuk dioksida sehingga aman karena tidak larut dalam air dan kimia reaktif. Jika keluar dari kemasan, Plutonium akan sangat lambat untuk masuk ke dalam rantai makanan manusia. Biasanya pelet hancur dalam bentuk bongkahan dan bukan debu sehingga lebih aman. Selain itu pelet Plutonium dlindungi oleh lapisan Iridium sehingga mampu menahan suhu yang sangat tinggi.

RTG dengan 11 kg pelet Plutonium-238 dioksida akan mampu menghasilkan listrik sebesar 250 Watt pada saat awal beroperasi. Setiap 4 tahun performanya turun sekitar 5 persen sehingga dalam waktu 10 tahun akan menghasilkan listrik sebesar 200 Watt.

Penggunaan RTG sudah sejak lama diterapkan oleh NASA beberapa diantaranya digunakan pada misi dan wahana yang fenomenal seperti Apollo, Viking, Cassini, Galileo, New Horizon, Curiosity, Voyager, dan sebagainya. Berikut ini foto beberapa RTG yang digunakan oleh NASA pada beberapa wahananya:
RTG pada wahana Pioneer 10. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG pada wahana Ulysses. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG pada wahana Voyager. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG pada wahana Curiosity. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG pada wahana Viking. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG pada wahana Apollo. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG pada wahana New Horizon. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
RTG PAda wahana Cassini. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
(NS, WKP, OST, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Thursday, August 7, 2014

NASA Akan Kirimkan Alat Pembuat Oksigen ke Mars

MOXIE, alat pembuat oksigen yang akan dikirimkan NASA ke Mars. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
NASA dikabarkan akan mengirimkan alat pembuat oksigen ke Mars bersamaan dengan dikirimnya robot penjelajah Mars yang baru pada tahun 2020 mendatang. Alat / mesin pembuat oksigen yang disebut dengan MOXIE (Mars Oxygen In-Situ Resources Utilization Experiment) dirancang oleh ilmuwan dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) yang berfungsi untuk merubah karbondioksida Mars menjadi oksigen yang dapat mendukung misi berawak ke sana.

MOXIE mampu menghasilkan 22 gram (0,78 ons) oksigen per jamnya. Dalam skala yang lebih besar, NASA berambisi untuk membuat sebuah reaktor nuklir kecil untuk membuat oksigen dalam skala besar sehingga misi berawak di sana bisa berlangsung lebih lama.

Robot penjelajah Mars yang baru akan ditugaskan untuk mencari tahu dan melakukan serangkaian tes mengenai apa saja yang akan dihadapi oleh manusia jika mereka melakukan misi di planet merah itu seperti masalah yang akan dihadapi dan tantangannya. Rencananya misi berawak NASA yang pertama akan dilakukan pada tahun 2030 dengan menggunakan roket SLS dan kapsul Orion. (SP, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Thursday, June 19, 2014

VIDEO: Robot Laba-laba NASA Ahli Panjat Tebing

Robot Laba-laba NASA. Image credit: ieee.org
Untuk mewujudkan misi menjelajahi asteroid dan planet Mars, Tim JPL NASA membuat robot yang sangat canggih yakni robot Spiderman. Mengapa disebut robot spiderman? karena robot ini bisa memanjat tebing batu seperti Spiderman. Robot ini sendiri sebenarnya dinamai JPL's Rock Climbing Robot yang merupakan versi upgrade dari robot LEMUR IIB yang lebih dulu dibuat. Uniknya robot ini bisa memanjat dalam posisi vertikal dan horizontal.
Bagian-bagian dari kaki robot Laba-laba NASA. Image credit: engineering.com
Posisi vertikal berarti robot ini bisa memanjat dari bawah ke atas, atau horizontal dengan merayap menggantung di bawah batuan seperti Spiderman. Robot ini bisa melawan gaya gravitasi bahkan mampu membawa beban hingga 15 kg saat memanjat. Rahasia dari robot Spiderman ini adalah ia mempunyai semacam kail / cakar kecil pada kaki-kaki kecilnya yang digunakan untuk mencengkeram permukaan batuan. Dengan beberapa kaki yang dimilikinya, robot ini benar-benar mirip Laba-laba. Robot ini akan digunakan oleh NASA untuk misi ke asteroid dan Mars. Simak video aksi robot Laba-laba NASA di bawah ini:

(Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, January 24, 2014

Pakaian Astronot ini Mampu Lindungi Astronot dari Efek Gravitasi Mikro Luar Angkasa

Uji coba skinsuit di fasilitas laboratorium gaya berat mikro. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA, Waldie
Efek gravitasi mikro di luar angkasa ternyata berakibat pada kesehatan para astronot khususnya pada tulangnya. Gaya gravitasi mikro menyebabkan tulang astronot menjadi memanjang dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Rasa sakit yang dirasakan umumnya terjadi di daerah punggung. Itu mereka rasakan saat mereka kembali ke Bumi dan bekerja seperti biasa. Untuk itulah Lembaga Antariksa Eropa (ESA) mendesain sebuah pakaian khusus yang bisa melindungi tubuh astronot dari pengaruh gaya berat mikro luar angkasa. Pakaian atau skinsuit ini sangat ketat sehingga seolah-olah meremas dan menekan tubuh manusia namun tetap nyaman dipakai.

Skinsuit yang dirancang ESA telah diuji coba dalam laboratorium simulasi gaya berat mikro oleh beberapa astronot dan hasilnya mereka cukup puas dengan performa skinsuit ini. Simon Evetts dari ESA selaku pimpinan riset skinsuit ini menyatakan bahwa mendesain pakaian seperti itu sangat menantang, ia mengungkapkan bahwa pakain tersebut harus benar-benar pas ukurannya sehingga dapat diperoleh manfaat yang dikehendaki dan tentunya harus nyaman dipakai.

Setelah melalui lab grabitasi mikro kemudian ilmuwan dengan menggunakan berbagai instrumen mengukur sejauh mana efek gravitasi mikro mempengaruhi tubuh astronot setelah memakai skinsuit. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA, Waldie
Skinsuit ini tampak biasa dari luar tapi memiliki teknologi canggih di dalamnya. Skinsuit ini dilengkapi dengan berbagai sensor untuk mendeteksi adanya perubahan pada tubuh astronot. Skinsuit ini sendiri terbuat dari bahan spandex dan rencananya akan digunakan pada misi penerbangan astronot ke ISS pada tahun 2015. Sebagai tambahan informasi, biasanya astronot bertugas di ISS sekitar enam bulan bahkan lebih, dan dengan adanya pakaian ini tubuh mereka akan terlindungi.(SP, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Saturday, November 9, 2013

Roket Masa Depan NASA Diuji di Terowongan Angin

Roket SLS NASA diuji di terowongan angin. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Dalam membuat suatu model kendaraan seperti roket, ilmuwan tidak harus melakukan pengujian dengan menerbangkan roket sungguhan ke langit tapi cukup dengan mensimulasikan penerbangannya di dalam terowongan angin. Hal itu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh angin terhadap model roket yang dibuat. Itulah yang dilakukan oleh NASA di NASA's Ames Research Center di Moffett Field, California dengan menguji desain roket masa depan mereka, SLS (Space Launch System).

Roket SLS sangatlah penting bagi NASA sebab roket itu adalah generasi penerus dari pesawat ulang alik yang mereka pensiunkan beberapa waktu lalu. Roket SLS diklaim memiliki kemampuan tinggi dengan biaya yang sangat murah dan hemat. Biaya yang hemat ini selanjutnya dapat digunakan untuk membiayai misi-misi NASA yang lain. Kemampuan SLS dengan kapsul Orion sebagai modulnya, dinilai mampu untuk membawa astronot menuju asteroid dan planet Mars dan misi-misi jauh lainnya.

tes diterowongan angin akan membuat para insiyur NASA mengetahui bagaimana pengaruh angin terhadap roket, seberapa besar model tersebut memiliki aerodinamika yang baik, seberapa besar getaran yang diterima roket dan batas toleransi yang bisa diterima dan sebagainya. Sebab bila roket mengalami getaran hebat maka akan sangat membahayakan. "Tes aeroakustik akan diselesaikan di NASA's Ames Research Center untuk meneliti ketidakstabilan aerodinamika," ungkap John Blevins selaku pemimpin departemen Aerodinamika dan akustik di NASA's Marshall Space Flight Center, Alabama.

Setidaknya ada empat variasi model kargo dan misi berawak dicoba dalam terowongan angin termasuk dengan mensimulasikan roket membawa kargo seberat 77 ton. Getaran yang muncul dari uji coba akan dianalisa. "karena getaran sangat terlokalisasi, maka ia dapat mempengaruhi bagaimana hardware pada roket dapat bekerja, ucap Andy Herron analis aeroakustik NASA. "Tugas kami adalah merancang sesuatu seperti kotak avionik. Kita akan menentukan bagimana perangkat keras atau hardware ditempatkan pada kendaraan agar tetap berfungsi dengan baik," tambah Andy.

Tes yang dilakukan daam terowongan angin sangat ekstrem. Roket SLS diuji dengan angin berkecepatan hingga 850 meter per detik. Harapannya calon roket terbesar di dunia itu bisa terbang dengan baik pada 2021 nanti. (ST, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Saturday, October 19, 2013

Dalam Satu Jam, Data Center NASA Menyimpan Ratusan Terabyte Data

Super computer NASA, Pleiades yang ada di NAS (NASA Advanced Supercomputing). Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Sebagai lembaga antariksa terbesar di dunia dengan puluhan bahkan ratusan misi serta wahana, NASA membutuhkan suatu media yang mampu menyimpan data dalam jumlah yang sangat banyak. Setiap harinya wahana NASA yang berada di luar angkasa mengirimkan ratusan bahkan ribuan paket data per wahana. NASA membutuhkan data center raksasa sebagai pusat penyimpanan datanya sehingga data yang dikirim wahana dapat disimpan untuk kemudian diteliti dan dipelajari serta digunakan sebagai arsip NASA. Eric De Jong selaku peneliti visualisasi sistem NASA mengungkapkan bahwa ratusan terabyte data diterima NASA dalam setiap jamnya. Sebagai gambaran bahwa data sebanyak satu terabyte jika dicetak pada kertas akan membutuhkan bahan baku kertas sebanyak 50.000 pohon. Super computer / komputer super cepat yang ada pada data center raksasa sangat mutlak diperlukan untuk dapat mengakomodir kebutuhan data yang terus bertambah tersebut. Dalam satu data center, NASA bisa memiliki beberapa super computer. Salah satunya super computer Pleiades yang ada di NAS (NASA Advanced Supercomputing), Mauntain View, California. Super computer Pleiades memiliki processor Intel Xeon 162,496 (32,768 additional GPU cores), RAM total 417 TB, total data yang bisa disimpan 9,3 petabyte (1 Petabyte = 1024 Terabyte, 1 Terabyte = 1024 Gigabyte).

Menurut Eric De Jong, ada tiga aspek penting dalam pengelolaan data yakni penyimpanan, pengolahan, dan akses. Ibarat perpustakaan raksasa, para librarian harus membuat suatu sistem dimana ketika pembaca ingin mencari suatu buku atau dokumen tertentu, mereka akan dapat dengan mudah mendapatkannya dan itulah salah satu tugas dari Eric. Ia menambahkan bahwa saat ini mereka sedang membangun sebuah software yang mampu menghandle data secara massal. meningkatnya trend cloud computing juga mendorong ilmuwan NASA untuk semakin berfikir kreatif. Menurut mereka daripada membuat hardware yang berbiaya mahal, mereka lebih memilih untuk membuat softwarenya sehingga dapat menekan pengeluaran anggaran yang saat ini dirasa sangat besar.
John Kusterer, kepala Atmospheric Science Data Center (ASDC) sedang berada di dalam data center. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
NASA memiliki data center yang salah satunya berada di Langley Virginia. Ruang data center yang disebut Atmospheric Science Data Center (ASDC) mengumpulkan data dari wahana Cloud-Aerosol Lidar and Infrared Pathfinder Satellite Observations (CALIPSO) yang mengumpulkan segala informasi tentang atmosfer Bumi. Data center ini menyimpan data sebesar 16 petabyte dan memiliki kebih dari 1000 processor komputer untuk mengumpulkan dan mengolah data yang masuk. Satu petabyte setara dengan kita menonton video HD (High Definition) selama 13,3 tahun. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa NASA adalah pemilik data astronomi terbesar di dunia. (NS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, October 11, 2013

Dengan Roket Berpendorong Fusi Nuklir, Perjalanan ke Mars Menjadi Lebih Cepat

Ilustrasi wahana antariksa berpendorong roket fusi nuklir. Image credit: University of Washington, MSNW
Jika sebelumnya untuk menuju planet Mars sebuah wahana antariksa membutuhkan waktu 500 hari untuk sampai di sana, maka dengan alternatif baru yang ditawarkan ini tampaknya perjalanan akan menjadi jauh lebih singkat. Anthony Pancotti selaku ilmuwan dari perusahaan pembuat roket MSNW beberapa waktu lalu telah mempresentasikan mesin roket bertenaga fusi nuklir untuk digunakan pada wahana atau pesawat antariksa yang akan dikirim ke Mars. Menurutnya dengan teknologi mesin pendorong baru itu, perjalanan ke Mars hanya akan ditempuh dalam waktu 90 hari saja.

Anthony Pancotti mengungkapkan bahwa jika astronot menggunakan mesin roket tradisional yang ada saat ini untuk pergi ke Mars, maka itu akan sangat membahayakan kesehatan para astronot itu sendiri Sebab mereka akan terlalu lama berada dalam wahana dan akan membahayakan jiwa sebab mereka menjadi kurang gerak, tidak dapat berolah raga, tulang mereka akan mengecil, dan massa otot akan menyusut. Dengan menggunakan sistem propulsi yang modern maka itu bisa diminimalisir.

Saat ini NASA sedang intensif mengembangkan teknologi roket berbahan fusi nuklir seperti yang diusulkan oleh Anthony Pancotti untuk mendukung misi itu. NASA menunjuk John Slough dari University of Washington sebagai pemimpin riset. Jika semuanya berjalan dengan baik maka waktu total yang diperlukan untuk misi ke Mars hingga kembali lagi ke Bumi hanya 210 hari yang terdiri dari 83 hari untuk perjalanan ke Mars, 30 hari untuk menjelajahi planet Mars, dan 97 hari untuk pulang ke Bumi. "kami merasa kami telah mendefinisikan hal ini dengan baik, misi yang sangat baik, dan kami sedang fokus untuk membuat perangkat yang sesuai untuk misi ini," ungkap Anthony. NASA dikabarkan akan mulai mengirimkan misi berawak pertamanya ke Mars pada tahun 2030.

Fusi nuklir merupakan energi yang sangat powerful dan efisien. Reaksi fusi terjadi ketika inti dari dua atau lebih atom bergabung dan kemudian menghasilkan energi. Matahari dan bintang lainnya merubah fusi ini menjadi cahaya dan kekuatan fusi juga mampu membuat bom atom memiliki daya ledak yang sangat dahsyat. Untuk itu diperlukan adanya plasma dengan menggunakan deuterium dan tritium, isotop berat dari hidrogen (normalnya hidrogen tidak mengandung neutron, tapi deuterium memiliki satu dan tritium memiliki dua). Gelembung dari plasma itu nantinya akan dimasukkan ke dalam sebuah ruang dimana medan magnet akan meruntuhkan cincin logam yang ada di sekelilingnya yang kemudian menekan gelembung menjadi tahapan fusi. Energi yang dihasilkan oleh reaksi fusi akan menguap dan mengionisasi logam yang kemudian akan diakselerasikan ke luar melalui nozzle dan akan menghasilkan daya dorong. Panel surya akan memberikan energi yang cukup untuk menghidupkan perangkat lainnya dan juga sebagai "starter" dari roket fusi pada wahana / pesawat antariksa. Menurut Anthony tidak ada alasan untuk dapat menolak kelayakan dari proyek ini.

Lebih lanjut Anthony Pancotti beranggapan bahwa teknologi roket pendorong fusi nuklir ini akan sangat murah dalam pembuatannya. Tidak diperlukan sebuah teknologi yang terlalu canggih untuk dapat membuatnya sebab menurutnya dengan teknologi yang ada saat ini semua itu bisa dilakukan. Pada 2014 nanti diharapkan tim pembuat mesin roket fusi nuklir akan bisa menyelesaikan cetak biru dari proyek masa depan ini. (SP, Adi Saputro/ www.astronomi.us) 

Monday, October 7, 2013

Begini Cara NASA Berkomunikasi dan Mengendalikan Robot Curiosity di Mars

Robot penjelajah Mars, Curiosity. Image credit: astronaut
Mungkin kita penasaran bagaimana cara NASA untuk berkomunikasi dan mengendalikan robot penjelajah Mars (Mars rover) seperti Spirit, Opportunity, dan Curiosity yang letaknya jutaan km jauhnya dari Bumi. Jutaan km merupakan jarak yang sangat-sangat jauh dan sangat tidak bisa dibayangkan. Tapi sekali lagi, bagaimana cara NASA untuk menggerakkan robot-robot penjelajah itu?? Mari sama-sama kita cari tahu.

Sekali dalam sehari, gelombang radio dikirmkan oleh NASA dari ruang kontrol misi menuju ke robot penjelajah di Mars dan untuk sampai ke tujuan diperlukan waktu 13,8 menit agar gelombang radio itu bisa diterima robot penjelajah. Para insinyur NASA bertukar pesan dengan Curiosity setiap hari pada waktu yang telah ditentukan. Untuk sekali berotasi, Mars membutuhkan waktu lebih lama 37 menit dari Bumi. Sehingga untuk menyetakan waktu satu hari di Mars, mereka menyebutnya dengan "sol".

Pada jam 10 pagi waktu Mars setelah Matahari melewati cakrawalanyadan robot penjelajah telah berada dalam keadaaan siap, NASA mengrimkan paket data berisi perintah kepada robot penjelajah. Dalam hal ini robot penjelajahnya adalah Curiosity. Karena pagi di Mars tidak selalu bersamaan dengan pagi di Bumi, maka NASA menempatkan antena parabola raksasa di beberapa benua di dunia. Diantaranya di Gurun Mojave (California), Eropa (Spanyol) dan di Australia. Mereka menyebut kesemua sistem itu dengan istilah DSN (Deep Space Network).
Salah satu antena parabola DSN NASA yang terletak Gurun Mojave, California. Antena ini berdiameter 70 meter. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: silver-peak
Gelombang radio yang berisi paket perintah tadi dikirimkan dan berjalan selama 13,8 menit di luar angaksa sampai tiba dan diterima oleh Curiosity. Perintah yang diberikan tidak selalu harus bergerak atau berjalan, tapi perintah juga bisa berupa perintah menyekop, mengebor, mengambil sampel batuan, menganalisa sampel yang ada dan sebagainya. Cuiosity memiliki laboratorium mini yang memungkinkan untuk itu.

Sebelum nASA memerintahkan Curiosity untuk berjalan, terlebih dulu NASA membuat pencitraan berupa kondisi di sekitar rover dengan menggunakan kamera yang ada pada rover tersebut atau dengan mengambil citra dengan menggunakan wahana pengorbit seperti Mars Odyssey dan Mars Reconnaisance Orbiter. Citra itu kemudian dibuat model tiga dimensinya untuk menggambarkan kondisi di sekitar rover jangan sampai rover itu melintas di daerah yang berbahaya. Sebab NASA pernah mengalami hal buruk dengan rover Spirit dimana rover itu pada tahun 2009 terjebak dalam lubang pasir sehingga misinya harus berakhir.

Ketika dirasa jalur yang akan dilalui aman, NASA mengirim perintah berisi koordinat kepada Curiosity dan memerintahkannya untuk menuju koordinat itu. Curiosity sebenarnya sudah memiliki "kecerdasan buatan" dimana ia mampu menentukan jalur yang menurutnya aman untuk dilalui.

Terkadang insinyur NASA juga baru akan memberikan Curiosity perintah dalam beberapa hari kemudian. Nah selama menunggu perintah, insinyur NASA terus berkomunikasi dengan Curiosity sembari memerintahkannya untuk berhenti, tetap tenang, dan terus menunggu komunikasi sampai waktu yang telah ditentukan.

Curiosity memiliki pemancar transmiter dengan diameter sekitar 30 cm dan daya yang digunakan tidak lebih dari 25 watt. Untuk mengirimkan data yang didapat Curiosity ke Bumi, Curiosity akan terlebih dulu mengirimkannya pada wahana pengorbit Mars Odyssey dan Mars Reconnaisance Orbiter yang terus menerus mengorbit planet merah. Curiosity menunggu sampai wahana pengorbit melintas di atasnya sekitar pukul 3 sore dan 3 pagi waktu Mars. Data yang dikirmkan berupa foto, data ilmiah, dan sebagainya. Data yang bisa dikirim dalam sekali pengiriman bisa mencapai beberapa ratus megabit. Biasanya Curiosity mengumpulkan data itu selama satu minggu dan hanya sekali pengiriman dalam sehari semua data itu bisa di dapatkan.

Nah setelah tahu bagaimana cara kerjanya, maka bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana NASA berkomunikasi dengan wahana yang lebih jauh seperti Voyager 1 dan 2 yang letaknya bermilyar-milyar km jauhnya dari Bumi. Luar Biasa !!! (NS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Saturday, September 14, 2013

RS-25, Mesin Roket Terbaru, Terkuat, dan Terbesar yang Dibuat NASA (Plus Foto)

SLS dengan mesin pendorong RS-25.
Setelah NASA mempensiunkan seluruh pesawat ulang aliknya, maka praktis tidak ada lagi wahana atau pesawat NASA yang mampu membawa manusia ke luar angkasa selain dengan menggunakan roket dan modul Soyuz milik Rusia. Keputusan itu diambil NASA mengingat besarnya biaya operasional yang dikeluarkan untuk pesawat-pesawat tadi. Selain itu pesawat ulang alik dinilai sudah tidak mampu digunakan untuk mendukung misi-misi NASA berikutnya yang akan jauh lebih kompleks.

Apakah NASA akan benar-benar tidak memiliki pesawat untuk membawa astronot lagi?? NASA tentu ingin tetap menjaga kredibilitasnya di dunia penerbangan antariksa dan tidak akan diam saja. Saat ini mereka sedang membuat wahana baru yang lebih powerfull yakni SLS (Space Launch System). SLS adalah serangkaian sistem roket NASA yang dibuat untuk mengangkut kapsul, satelit, teleskop maupun instrumen lain keluar angkasa yang mampu menjangkau daerah lebih jauh di tata surya. Dengan menggunakan roket ini NASA bisa melakukan misi ke Bulan, Mars, asteroid dan sebagainya secara lebih fleksibel. Dikabarkan SLS mampu membawa muatan kargo seberat 70 sampai 143 ton, sangat banyak untuk mengirim perbekalan ke ISS.
Roket SLS NASA. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: aerospaceprojectsreview
Dengan muatan seberat itu diperlukan mesin roket yang mumpuni agar roket dapat melaju dengan kencang. Untuk itu NASA membuat mesin roket RS-25. Mesin roket berbahan bakar hidrogen kriogenik dan oksigen cair ini diklaim NASA menjadi mesin roket paling besar, paling kuat, dan paling canggih di Amerika.

Mesin RS-25 sebenarnya mesin yang juga digunakan oleh pesawat ulang alik. Tapi tentu mesin ini sekarang sudah banyak mengalami pengembangan seiring dengan kemajuan teknologi. "Selama 30 tahun menjalankan program space shuttle, RS-25 mencapai reliabilitas yang sangat tinggi," kata Garry Lyles, Chief Engineer NASA. Kekuatan mesin ini setara dengan 11 lokomotif dan 1315 mobil Toyota Prius.

Berbeda dengan pesawat ulang alik yang hanya dibekali tiga mesin RS-25, SLS akan diberi empat mesin RS-25 karena muatannya yang lebih berat. Empat mesin RS-25 itu bisa melahap 1.500 galon bahan bakar per detik. Sangat boros kan :-D tapi sebanding dengan kekuatannya.

Mesin RS-25 generasi baru ini akan diuji coba pada instrumen A-1 test stand pada 2014 dan akan diuji terbang pada 2017 dengan membawa serta kapsul Orion tanpa awak ke orbit rendah (low orbit) Bumi untuk menguji keseluruhan sistem yang terintegrasi dan dijadwalkan akan mulai digunakan sebagai kendaraan misi pada tahun 2021. Berikut adalah foto-foto dari mesin RS-25 dan uji cobanya di Stennis Space Center.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.
Klik gambar untuk memperbesar.

(NS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Sunday, August 18, 2013

Ilmuwan Gunakan Pulsar Bintang Mati untuk Navigasi Pesawat Luar Angkasa Masa Depan

Penggunaan pulsar bintang mati sangat cocok untuk mengendalikan wahana atau pesawat luar angkasa yang jaraknya sangat jauh dari Bumi seperti Voyager 1 yang berjarak lebih dari 18 miliar kilometer dari Bumi. Image credit: NASA
Ilmuwan dari National Physical Laboratory (NPL) dan University of Leicester telah ditugaskan oleh Badan Antariksa Eropa (ESA) untuk mempelajari kemungkinan penggunaan radiasi sinar X bintang mati untuk menjadi bagian dari sistem navigasi pesawat luar angkasa di masa depan. Jika hal ini terwujud maka ini akan merubah sejarah dan membawa teknologi antariksa menjadi lebih canggih khususnya bagi kegiatan eksplorasi luar angkasa.

Navigasi pesawat luar angkasa yang ada saat ini masih bergantung pada transmisi radio antara pesawat dengan stasiun kontrol misi di Bumi. Oleh sebab itu untuk memberikan perintah atau instruksi dari Bumi akan ada jeda waktu yang agak lama agar pesan yang disampaikan bisa diterima oleh pesawat luar angkasa disebabkan oleh jauhnya jarak yang ditempuh oleh gelombang radio tersebut. Sinyal radio yang dipancarkan baru bisa diterima selama beberapa jam, hari atau bahkan lebih lama lagi. Hal itu cukup menyulitkan dan tidak efektif terlebih jika pesawat sangat membutuhkan panduan yang bersifat darurat. Penggunaan transmisi radio sebagai pengendali navigasi diterapkan pada dua satelit terkenal Amerika, Voyager 1 dan 2.

Ilmuwan mempelajari penggunaan pancaran sinar X dari bintang mati (dead stars) yang disebut pulsar untuk digunakan oleh pesawat luar luar angkasa agar dapat bernavigasi secara mandiri dan otomatis. Pulsar sangat cepat memancarkan radiasi elektromagnetik secara intens dan teratur. Dengan begitu ia dapat dijadikan sumber navigasi layaknya teknologi GPS di Bumi.

"Dengan menggunakan detektor sinar X yang terpasang pada pesawat luar angkasa, maka kita bisa mengetahui posisi dan gerakan pesawat itu. Ilmuwan University of Leicester dan NPL bekerja sama membuat sistem baik hardware maupun software untuk menggunakan teknik baru ini. "Dana riset dari ESA akan digunakan untuk membiayai proyek tersebut sehingga layak untuk diterapkan dalam pesawat luar angkasa terbaru," ungkap Setnam Shemar selaku pemimpin proyek dari NPL.

Keuntungan dari penggunaan pulsar dari bintang mati tadi selain cepat adalah dalam satu waktu, tim pengendali misi di Bumi dapat dengan cepet dan akurat mengontrol beberapa pesawat luar angkasa sekaligus. Hal ini berbeda dengan sistem navigasi konvensional melalui transmisi radio dimana transmisi hanya bisa dilakukan satu persatu.

Jika teknologi navigasi baru ini dapat segera diterapkan maka akan mampu mengurangi biaya operasional. Metode ini menggunakan "GPS alam" dan dapat digunakan di daerah lain di luar tata surya kita. (PHS, Adi Saputro, www.astronomi.us)

Monday, July 29, 2013

Boeing Perkenalkan Kapsul CST-100 untuk Bawa Astronot NASA ke ISS

Kapsul CST-100 rancangan Boeing. Image credit: Robert Z. Pearlman
Boeing secara yakin telah memperkenalkan kepada publik prototipe dari kapsul luar angkasa yang nantinya mampu memenuhi kebutuhan NASA untuk mengirim astronotnya ke orbit. Kapsul atau modul itu diberi nama CST-100 yang diklaim mampu menampung hingga 7 orang.

Astronot senior Randy Bresnik dan Serena Aunon mengatakan bahkwa mereka cukup puas dengan prototipe kapsul buatan Boeing ini. Menurut mereka Boeing sebelumnya telah berpengalaman merancang modul perintah untuk program Apollo NASA sehingga prototipe kapsul Boeing ini tidak perlu diragukan lagi.
Bagian interior dari kapsul CST-100. Image credit: Robert Z. Pearlman
Boeing adalah salah satu dari tiga perusahaan lain yang berpartisipasi dalam program NASA selain Space Exploration Technologies (SpaceX), dan Sierra Nevada. Ketiga perusahaan tersebut bersaing untuk dapat membawa astronot Amerika menuju ke orbit rendah Bumi termasuk ke ISS sembari menunggu NASA menyelesaikan desain roket dan modul SLS (Space Launch System) selesai dibuat.

Sampai saat ini NASA telah memberikan dana sebesar $ 570 juta kepada Boeing untuk membuat dan mengembangkan CST-100. Kapsul berukuran 4,5 meter itu akan menjalani penerbangan pertamanya pada tahun 2016 mendatang. Roket Atlas V digunakan untuk membawa CST-100 menuju ke orbit rendah Bumi untuk merapat dengan ISS (International Space Station). (SP, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, July 26, 2013

Peneliti NASA Mulai Buat Mesin Warp yang Lebih Cepat dari Kecepatan Cahaya

Ilustrasi pesawat bergerak dalam kecepatan warp. Image credit: ddmcdn
Para peneliti NASA di Johnson Space Center, Texas, saat ini sedang berusaha membuat mesin canggih yang mampu bergerak melebihi kecepatan cahaya yang sering disebut dengan kecepatan warp. Layaknya pesawat Enterprise dalam film Star Trek, dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, maka kita akan dimungkinkan untuk melakukan perjalanan dari planet satu ke planet lain, atau menuju ke daerah lain di alam semesta dengan sangat cepat.

Insinyur dan fisikawan NASA, Dr Harold G. White percaya bahwa sangat mungkin untuk melanggar teori yang dibuat oleh Albert Einstein ketika ia mengungkapkan bahwa tidak ada yang mampu melebihi kecepatan cahaya.

Riset yang dilakukan peneliti NASA ini didasarkan pada teori fisika yang diungkap oleh fisikawan asal Meksiko, Miguel Alcubierre pada tahun 1994 yang mengatakan bahwa adalah mungkin untuk bergerak melebihi kecepatan cahaya jika ilmuan menemukan cara untuk memanfaatkan ekspansi dan kontraksi ruang.

Dengan menciptakan "gelembung warp" yang mampu memperluas ruang untuk kemudian terhubung dengan ruang lainnya, pesawat akan didorong menjauh dari Bumi dan tertarik ke arah bintang jauh oleh ruang waktu itu sendiri, ungkap Dr Alcubierre dalam hipotesisnya. Tampaknya hal ini akan sangat rumit, namun bukan berarti mustahil.

Dr White dan tim saat ini sedang melakukan penelitian di laboratorium  khusus dimana lintasan foton melengkung dibuat untuk akselerasi apakah foton dapat didorong untuk bergerak lebih cepat dari cahaya atau tidak. Lebih lanjut Dr White mengatakan bahwa meskipun untuk membuat pesawat atau teknologi seperti pada pesawat Enterprise Star Trek adalah suatu impian di masa depan, saat ini merupakan awal yang sangat baik.

Dengan menggunakan kecepatan warp, untuk menuju ke tata surya lain yang sebelumnya diperlukan waktu puluhan ribu tahun, akan bisa ditempuh hanya dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Dan itu akan membuat kita sangat mungkin mempelajari dan mengeksplorasi tata surya lain. Berharap hal ini akan dapat terwujud di masa depan. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, May 31, 2013

Sejarah Teleskop Hubble Milik NASA

Teleskop Hubble dilihat dari pesawat ulang alik Atlantis. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Teleskop Hubble dilihat dari pesawat ulang alik Discovery. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Teleskop Hubble merupakan teleskop andalan NASA yang dikirim ke orbit pada tahun 1990 dengan menggunakan pesawat ulang alik Atlantis. Teleskop ini diberi nama Hubble sebagai bentuk penghargaan pada astronom Amerika Edwin Hubble (Edwin Powell Hubble). Teleskop ini berukuran sangat besar yakni panjang 13 meter, diameter 4,27 meter dan memiliki berat 11 ton, hampir seukuran bus sekolah. Teleskop Hubble memiliki cermin dan lensa dengan diameter 2,8 meter dan beratnya mencapai 826 kg. Cermin ini terbuat dari kaca silika yang dilapisi oleh aluminium murni untuk merefleksikan cahaya. Selain itu cermin ini juga dilapisi dengan  magnesium fluorida yang berfungsi untuk mencegah oksidasi dan bahaya sinar ultraviolet yang bisa merusak lensa.

Cermin teleskop Hubble. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Teleskop Hubble terletak diatas atmosfer Bumi sehingga terbebas dari distorsi yang bisa menggangu proses pengamatan. Teleskop Hubble terkenal sebagai teleskop yang handal dan mampu menghasilkan gambar yang luar biasa tajam. Cara kerja teleskop ini adalah dengan mengambil citra obyek dengan kamera kemudian gambar tersebut akan dirubah menjadi kode digital dan dikirim ke stasiun penerima di Bumi dengan kecepatan transfer mencapai 1 juta bit per detik dan kemudian kode tersebut diterima dan dikonversi menjadi gambar foto dan spektograf. Telekop ini dalam satu detik dapat menempuh jarak 5 mil dan dalam setahun bisa mencapai 241 juta km. Teleskop Hubble dikontrol dan dikendalikan oleh Goddard Space Flight Center.

Ruang kontrol teleskop Hubble di Goddard Space Center. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Sebenarnya ide teleskop di luar angkasa sudah diusulkan pada tahun 1923. Untuk kemudian program teleskop Hubble ini mulai didanai pada 1970 dengan asumsi peluncuran pada 1983. Namun dikarenakan adanya bencana pesawat ulang alik Challanger, teleskop ini akhirnya diluncurkan pada 1990. Tidak lama setelah itu, gambar yang dikirm oleh teleskop Hubble tampak buram, dan insinyur NASA mendapati bahwa cermin di teleskop Hubble telah bergeser 1/50 ketebalan rambut manusia dan pesawat ulang alik Endeavour diterbangkan untuk memperbaiki dan menambahkan kamera baru pada teleskop tersebut. Tercatat sudah 4 kali teleskop Hubble menjalani servis di luar angkasa. Berikut kronologinya:

1. Service Pertama (Tahun 1993)

Astronot melakukan perbaikan pada saat SM1 (Service Mission 1). Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Tujuh astronot dengan menggunakan pesawat ulang alik Endeavour dikirm untuk memasang perangkat optik korektif pada teleskop Hubble. Speed Photometer diganti dengan paket korektif COSTAR dan WFPC diganti dengan WFPC 2 (Wide Field Planetary Camera 2). Selain itu panel surya dan sistem elektronik juga diganti. Empat giroskop, dua unit kontrol listrik, dan magnetometer juga diganti. Tak lupa astronot juga melakukan penggantian pada komputer onboardnya. Posisi orbit teleskop juga dirubah. Untuk melakukan semua itu, astronot dilatih secara khusus dan diperlukan lebih dari ratusan alat agar kesemuanya dapat berjalan dengan baik.

2. Servis kedua (tahun 1997)

Teleskop Hubble. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Pesawat ulang alik Discovery diterbangkan untuk mengganti komponen pada teleskop Hubble. GHRS dan FOS diganti dengan Space Telescope Imaging Spectograph (STIS) dan Near Infrared Camera and Multi-Object Spectrometer (NICMOS). Namun sayangnya saat NICMOS dipasang sekitar dua tahun kemudian mengalami kerusakan.

3. Service ketiga, A (Tahun 1999)

Pesawat ulang alik kembali dikirm untuk melakukan penggantian enam giroskop pada teleskop. Tiga giroskop diantaranya sudah rusak. Kesemuanya lalu diganti dengan Fine Guidance Sensor dan komputer. Pemasangan VIK (Voltage/temperature Improvement Kit) untuk mencegah pengisian baterai yang berlebihan. Memori komputer juga diganti dengan memori yang memiliki kecepatan enam kali dari memori sebelumnya. Hal ini bertujuan agar tugas komputasi bisa berjalan lebih cepat serta memungkinkan penggunaan bahasa pemrograman modern.

Servis ketiga B (Tahun 2002)

Pesawat ulang alik Columbia dikirim untuk mengganti instrumen FOC dengan Advanced Camera for Surveys (ACS) yang juga berarti bahwa instrumen COSTAR yang dipasang pada misi service yang pertama tahun 1993 tidak diperlukan lagi. Sebab instrumen baru ini mampu bekerja secara mandiri untuk mengoreksi penyimpangan cermin utama. Panel surya juga diganti dan memeberikan sumber daya 30 persen lebih banyak.

4. Servis keempat (Tahun 2009)

Sebenarnya servis akan dilaksanakan tahun 2005, namun setelah bencana yang menimpa pesawat ualng alik Columbia pada tahun 2003, service teleskop Hubble sempat mengalami penundaan dan pasang surut keadaan disebabkan oleh keamanan dan keuangan AS. Setelah permasalahan tersebut berhasil diselesaikan, maka pada tahun 2009, pesawat ulang alik Atlantis dikirm. Instrumen SM4 dipasang untk menggantikan Data Handling Unit. melakukan perbaikan pada sistem ACS dan STIS, memasang baterai nikel hidrogen baru, pemasangan Wide Field Camera 3 (WFC3) yang dapat membuat sudut pandang menjadi lebih lebar , dan pemasangan Cosmic Origins Spectograph (COS), serta Soft Caputure and Rendezvous system. Hal ini mampu membuat teleskop Hubble berkerja hingga tahun 2014 atau bahkan lebih lama lagi sambil menunggu teleskop penerusnya (teleskop James Webb) diluncurkan tahun 2018 nanti.

Foto dan penemuan

Teleskop Hubble benar-benar menjadi teleksop andalan NASA dan memberikan begitu banyak kontribusi bagi perkemangan dunia astronomi. Teleskop Hubble berhasil menemukan Xena, salah satu planet kecil beserta dengan Gabrielle satelitnya. Selain itu teleskop Hubble berhasil menemukan bulan kelima Pluto dan memotret foto aurora di planet Saturnus. Selain itu teleskop Hubble juga sukses mengabadikan foto galaksi, supernova, kelahiran bintang, nebula dan sebagainya. Salah satu foto nebula yang terkenal yaitu foto Pillars of Creation di Eagle Nebula.

Foto Pillars of Creation di Eagle Nebula.Image credit: NASA

Friday, May 24, 2013

Mengenal Teleskop Herschel Milik ESA

Teleskop Herschel. Image credit bbc.co.uk
Teleskop Herschel yang juga dikenal dengan sebutan Herschel Space Observatory adalah sebuah teleskop besar yang dibuat dan dioperasikan oleh European Space Agency (ESA) yang ditujukan untuk mengamati proses pembentukan galaksi di alam semesta, evolusi galaksi, pembentukan bintang dan interaksi antar bintang, komposisi kimia atmosfer dan tata surya termasuk planet, komet, dan bulan, serta mengetahui komposisi molekul kimia di alam semesta. Teleskop Herschel diluncurkan ke luar angkasa pada 14 Mei 2009 dari Guiana Space Centre, Perancis dengan menggunakan roket Ariane 5 ECA.

Teleskop Herschel memiliki berat 3.300 kg (3,3 ton) dan dilengkapi dengan cermin raksasa sebesar 3,5 meter yang sensitif terhadap sinar inframerah dan gelombang submilimeter (55-672 m). Teleskop ini ditempatkan pada jarak 1,5 juta km dari Bumi.
Prinsip kerja cermin raksasa dan detektor pada teleskop Herschel. Image credit: caltech.edu
Teleskop ini dinamai dengan nama Herschel sebagai penghargaan terhadap Sir William Herschel penemu spektrum inframerah dan planet Uranus. Teleskop Herschel mampu melihat obyek antariksa dengan suhu terdingin pada daerah yang tertutup oleh debu kosmik sekalipun. Teleskop ini mampu mengumpulkan cahaya dari obyek-obyek di tata surya bahkan galaksi yang berada miliaran tahun cahaya dari Bumi. Cahaya yang dikumpulkan oleh cermin raksasa tadi kemudian difokuskan pada tiga detektor yang disimpan pada suhu -271 derajat Celcius. detektor itu didinginkan dengan helium sebanyak 2.300 liter. Jadi helium itu yang menentukan usia operasional dari teleskop Herschel. Jika helium tersebut habis maka misi teleskop Herschel berakhir

Tepat pada 29 April 2013, Helium sebagai pendingin detektor di teleskop Herschel habis dan teleskop tersebut berhenti beroperasi. Para insinyur ESA memutuskan untuk menempatkannya pada orbit Matahari.

Selama operasionalnya, telekop Herschel telah melakukan stidaknya 35 ribu pengamatan ilmiah dan mengumpulkan lebih dari 25 ribu jam data ilmiah. Keberhasilan misinya diantaranya dnegan berhasil mengetahui penyebab munculnya air di planet Jupiter yang ternyata disebabkan oleh komet Shoemaker-Levy 9 pada tahun 1994, berhasil menemukan galaksi HFLS3 dan serangkaian pengamatan sukses lainnya.

Saat ini ESA sedang mempersiapkan generasi penerus dari teleskop Herschel yaitu SPICA. (WKP, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Monday, May 20, 2013

NASA Kembangkan Robot Pemecah Es untuk Misi di Mars

Robot pemecah es (ice breaker) untuk misi ke Mars. Image credit: NASA
Untuk mengetahui lebih dalam tentang planet Mars, diperlukan sebuah robot yang mampu menggali lebih dalam permukaan planet tersebut. Para ilmuwan saat ini sedang mengajukan usul pembuatan robot yang mampu mengebor permukaan planet Mars untuk mencari tanda-tanda kehidupan.

Tujuan menjelajahi Mars adalah untuk mencari dan menemukan tanda-tanda kehidupan," ungkap ilmuwan peneliti planet, Christopher McKay dari NASA Ames Research Center. Adanya bukti bahwa mars dulunya merupakan tempat yang basah menguatkan betapa pentingnya hal tersebut.

Beberapa peneliti bahkan mengungkapkan bahwa kehidupan di Bumi kemungkinan berasal dari Mars yakni melalui mikroba dari bebatuan Mars yang meluncur dari Mars sebagai akibat dari dampak kosmik dan proses vulkanik. Beberapa asteroid yang ditemukan oleh ilmuwan ternyata berasal dari planet tersebut.

Meskipun atmosfer Mars tipis dan dingin, air berwujud cair tidak mampu bertahan di permukaan planet merah dalam waktu yang lama. Berdasarkan gambar yang diperoleh dari Mariner 9 ditemukan fitur tanah yang mengungkapkan Mars dulu merupakan planet yang memiliki sungai dan laut.

Planet Mars juga memiliki unsur-unsur penting pembentuk kehidupan seperti karbon dan nitrogen. Wahana viking yang pernah dikirim NASA ke Mars pada tahun 1970 belum berhasil enemukan senyawa organik maupun mikroba aktif di planet itu. Namun wahana Phoenix menemukan perchlorates ada di tanah Mars.

Perchlorates merupakan senyawa reaktif yang akan menghancurkan senyawa organik bila dipanaskan. itulah yang dilakukan oleh wahana Viking ketika menganalisa material di sana. Jadi akibat hal itu, gagalnya Viking menemukan bukti senyawa organik di Mars bukan berarti senyawa tersebut tidak ada di sana.

Salah satu tempat terbaik yang berpotensi terdapat tanda-tanda kehidupan atau biomarker di Mars yaitu es yang ada di bawah permukaan planet itu. Di Bumi tepatnya di daerah kutub, es merupakan sarana yang baik untuk mengawetkan senyawa organik dan bahan biologis. Hal itu dibuktikan dengan serangkaian penelitian yang mengungkapkan bahwa es bisa mengawetkan senyawa organik dan bahan biologis selama jutaan tahun.

Es juga bisa melindungi meterial-material tersebut dari radiasi luar angkasa dan pancaran radiasi kimia di Mars. Oleh sebab itu McKay dan tim selama 10 tahun ini mengembangkan robot pemecah es untuk misi ke Mars. Robot ini mampu mengebor hingga kedalaman satu meter untuk memindai keberadaan es dan molekul yang ada di dalamnya. Menemuan biomarker seperti enzim akan menjadi bukti kuat adanya kehidupan tetapi menjadi petunjuk genetika dan proses metabilisme organisme yang pernah hidup di sana.

Daerah di Mars yang akan menjadi pusat misi robot ice breaker ini yaitu tempat dimana wahana Phoenix pernah mendarattahun 2008. Dataran di utara planet Mars merupakan tempat dengan tekanan atmosfer yang cukup tinggi dan tiu mampu menjaga air dari proses penguapan. Robot ice breaker dibekali dengan bor rotary yang dapat memukul dan berputar. Bor tersebut juga memiliki sensor panas untuk mendeteksi jika didekatnya ada es yang mencair. Bor akan secara otomatis memperlambat atau bahkan menghentikan putarannya untuk mencegah proses pencairan sebab air bisa membeku dan mengunci mata bor. dengan menggunakan lengan robot yang terpisah, sampel hasil pengeboran akan dapat disimpan dalam kapsul dan bisa dibawa ke Bumi.

Selain itu robot ini diklaim mampu mendeteksi tingkat keasaman, alkanitas, garam, komposisi unsur dan sebagainya. Selama pengembangan robot ice breaker ini telah diuji coba di kutub utara dan benua Antartika. Berdasarkan jadwal, robot ini akan diluncurkan ke Mars pada Desember 2018 dan mendarat di Mars Agustus 2019, kita tunggu saja aksi dari robot ice breaker ini di Mars. (MD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Wednesday, May 15, 2013

Skylab, Stasiun Luar Angkasa Pertama Amerika Serikat

Skylab pertama pada misi ke Bulan (kiri), dan Skylab II pada SLS (kanan). Image credit: NASA
40 tahun lalu Amerika Serikat berhasil meluncurkan stasiun sekaligus laboratorium luar angkasa pertamanya yang disebut Skylab. Pada tahun 1973, Skylab diluncurkan dengan menggunakan roket Saturn V dan membawa 3 orang astronot. Stasiun luar angkasa Amerika seberat 85 ton tersebut terus mengorbit Bumi hingga tahun 1979 sebelum akhirnya memasuki atmosfer Bumi dan serpihannya jatuh di Australia bagan barat. Tidak ada yang terluka akibat hal itu, namun NASA akhirnya didenda 400 dollar oleh pemerintah Australia.
Skylab II. Image credit: NASA/MSFC
Generasi Skylab berikutnya (Skylab II) saat ini sedang dibuat oleh NASA yang diperkirakan dapat menampung 4 astronot sekaligus membawa perbekalan yang cukup untuk beberapa tahun tanpa harus dipasok dari Bumi. Pengembangan Skylab II tersebut bersamaan dengan dikembangkannya SLS (Space Launch System) NASA yang baru menggantikan Space Shuttle yang memakan banyak biaya dalam operasionalnya. Skylab II rencananya akan ditempatkan di antara Bumi dan Bulan pada tahun 2021. (SP, Adi Saputro/ www.astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto