Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Tuesday, August 23, 2011

Kenapa Manusia Belum Bisa Menjejakkan Kaki di Mars?

Permukaan Mars. Credit: NASA
Hanya butuh 8 tahun sejak manusia pertama kali ke luar angkasa sampai menjejakkan kaki di Bulan. Tapi, kenapa sampai saat ini manusia belum tinggal di Mars?

Perjalanan manusia antarplanet berhadapan dengan berbagai tantangan di bidang sains dan teknologi. Para ilmuwan harus mengatasi masalah makanan, air, dan oksigen. Tak kalah pentingnya adalah efek gravitasi lemah serta bahaya akibat radiasi.

Tapi menurut artikel di Space.com, alasan utama bukanlah keterbatasan sains dan teknologi, melainkan politik.

Di masa-masa awal penerbangan antariksa, Amerika Serikat dan Uni Soviet saling bersaing dalam Perang Dingin. Setelah Uni Soviet mengejutkan dunia dengan mengirim manusia pertama ke luar angkasa, selanjutnya Amerika Serikat dan Uni Soviet berlomba mengirim manusia ke Bulan. "Balapan" itu dimenangi Amerika Serikat ketika NASA, lewat Apollo 11, mendaratkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin di Bulan pada 20 Juli 1969.

"Semua tergantung niat," kata Robert Zubrin, pendiri Mars Society. "Mereka bisa sebut-sebut risiko radiasi, tapi kosmonot sudah terpapar radiasi bertahun-tahun di Stasiun Luar Angkasa Internasional," katanya. "Masih bicara soal risiko, bayangkan risiko yang dihadapi penerbangan pada masa-masa awal," tambah Zubrin yang juga presiden di Mars Society. Dengan tegas ia mengatakan, "Kalau Anda menunggu untuk memastikan bahwa Mars aman, Anda tidak akan pernah ke Mars."

Berbagai misi sudah dilaksanakan ke Mars. Misi Phoenix yang dilakukan NASA pada tahun 2008 bertujuan mencari daerah yang dapat ditinggali. Misi itu juga mencari sejarah keberadaan air di Mars. (Sumber: Space.com)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Perbandingan Suara Alat Musik Jika Dimainkan di Bumi, Titan, Venus, dan Mars

howstuffworks.com

Ahli fisika Andi Petculescu dan ahli akustik Profesor Tim Leighton mencoba mencari tahu bunyi alat musik pipe organ bila dimainkan di luar angkasa. Untuk itu, mereka menggunakan komputer untuk membuat model atmosfer di Mars, Venus, dan Titan (bulan yang mengorbit Saturnus).

Di dalam model itu, mereka memutar Toccata and Fugue in D Minor. Hasilnya? Atmosfer Venus menaikkan nada D Minor ke F Minor. "Membuat suara anak-anak terdengar seperti Smurf," kata Leighton. Sedangkan di Mars dan Titan, nada dasar turun ke Gis Minor dan Fis Minor.

Leighton dan Petculescu juga mendapati bahwa suara di Titan tersalurkan lebih baik daripada di Bumi. Sementara di Mars, suara nyaris tidak terdengar pada jarak 20 meter dari alat musik. "Jelas kita tidak bisa menggelar konser di Mars!" canda Leighton.

Dengan mengetahui karakteristik akustik di luar angkasa, para ilmuwan bisa membuat mikrofon yang lebih akurat. Ilmuwan juga dapat menganalisis suara dan lingkungan dengan lebih baik.

Berikut adalah file MP3 lagu bila didengarkan di Bumi, Titan, Venus, dan Mars. (Sumber: Discovery News)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Metode Komunikasi Paling Efektif di Luar Angkasa

NASA
Komunikasi di luar angkasa lebih efektif menggunakan neutrino ketimbang pancaran optik atau radio.

Neutrino? Neutrino mirip dengan elektron, tapi tidak memiliki muatan listrik sehingga mereka bisa diteruskan dengan apa saja. Dengan demikian, neutrino sangat cocok untuk komunikasi jarak sangat jauh karena tidak akan terganggu oleh gas, demu, dan materi lain yang dapat mengganggu gelombang radio.

Para ilmuwan berspekulasi kalau (jika ada) alien, mereka mungkin berkomunikasi menggunakan media neutrino.

Selama ini, para astronom telah puluhan tahun mencari sinyal radio yang mungkin dihasilkan oleh alien untuk berkomunikasi. Belakangan ini, astronom mulai mencari pancaran cahaya yang tidak natural. Sejauh ini hasilnya belum memuaskan. "Kami benar-benar tidak tahu bagaimana peradaban mereka berkomunikasi dengan kita. Kami juga tidak tahu untuk apa mereka berkomunikasi dengan kita," kata ahli fisika John Learned dari University of Hawaii.

Learned mengakui kalau upaya pencarian itu seperti penjelajahan. "Justru itu bikin semakin menyenangkan," katanya.

Alien bisa saja mengirimkan pancaran neutrino pada level energi yang sesuai. Karena pancarannya tidak natural, ilmuwan seharusnya bisa mengenali. Cara lain yang mungkin dilakukan adalah teknik komunikasi yang membuat neutrino mengubah kelip bintang pulsar.

Menurut Learned, alien dapat membuat akselerator besar yang mengumpulkan energi dari bintang dan menyimpannya. Kemudian, energi itu dilepaskan pada saat yang tepat. "Hasilnya, bintang akan berpijar dengan periode yang bervariasi," jelasnya.

Sayangnya, untuk menciptakan sinyal neutrino ini sangat mahal. "Energi yang dibutuhkan untuk mengirimkan sinyal sederhana saja butuh energi yang setara dengan energi yang dipakai oleh seluruh mobil, truk, kereta, perahu, dan pesawat di seluruh dunia dalam satu hari," jelas astronom SETI Seth Shostak. (Sumber: Discovery News)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Atmosfer Pluto Mengandung Gas Beracun

Ilustrasi Pluto. Credit: ESO
Data baru hasil observasi menunjukkan atmosfer Pluto mengandung gas beracun karbon monoksida.

Bukan hanya mendapati adanya karbon monoksida, studi berdasarkan data dari teleskop James Clerk Maxwell ini juga menunjukkan jumlah karbon monoksida di Pluto naik dua kali lipat sejak tahun 2000. "Hal yang tidak mungkin terjadi secara natural di Bumi," kata Jane Greaves, astronom dari University of St. Andrews di Inggris.

Studi ini juga menemukan kalau atmosfer Pluto semakin berkembang dalam waktu 10 tahun terakhir. Dari ketinggian 100 kilometer menjadi 3.000 kilometer. Para astronom mengira pertambahan itu diakibatkan perubahan musim yang ekstrem di Pluto.

Akibat orbit Pluto terhadap Matahari yang berbentuk seperti telur, musim berubah secara drastis, tergantung jarak Pluto ke Matahari. Pada saat jarak sangat dekat, Greaves menjelaskan, permukaan es di permukaan menyublim, menambah jumlah gas di atmosfer. Saat Pluto menjauh dari Matahari, atmosfer membeku dan jatuh lagi ke tanah seperti salju. Pluto mengorbit Matahari dalam waktu 248 tahun.

Meskipun dapat menjelaskan penyebab pertambahan atmosfer, para peneliti belum dapat menjelaskan perubahan komposisi atmosfer. "Masih jadi teka-teki saat ini," kata Greaves.

Meskipun jumlah karbon monoksida bertambah banyak di atmosfer Pluto, komposisinya masih sangat kecil. Secara umum, takaran nitrogen masih paling banyak, mirip atmosfer Bumi. (Sumber: National Geographic News)

Sumber: nationalgeographic.co.id

FOTO: Pegunungan Bulan Tampak Saat Gerhana Matahari

Siluet Bulan saat gerhana Matahari. Credit: NASA/SDO
Solar Dynamics Observatory (SDO) milik NASA merekam siluet pegunungan di Bulan saat melintas di depan Matahari dengan foto yang sangat indah.

Dengan titik pandang lebih dari 35.000 kilometer di atas permukaan Bumi, SDO merekam pemandangan ini pada pukul 3.28 waktu setempat pada 3 Mei. Garis tepi bulan tampak tegas.

Tetapi, perhatikan di bagian bawah Bulan. Siluet Bulan tidak terlalu mulus, ada gerigi yang terekam. Bagian itu merupakan bagian pegunungan Bulan.

Gambar ini juga merekam pusaran dan pijaran plasma dari Matahari. (Sumber: NASA, Wired)

Sumber: nationalgeographic.co.id

VIDEO: Perang UFO Terekam Kamera?

Ilustrasi perang luar angkasa. Credit: reshade.com
Dalam video yang ditampilkan, UFO tidak berbentuk seperti piring terbang. UFO tampak seperti titik cahaya di langit malam. Titik itu memang bergerak cepat dengan arah yang berubah-ubah sebelum menghilang. Tetapi, Robert Sheaffer, penyelidik UFO dari Committee for Skeptical Inquiry, mengatakan titik itu bukan hal luar biasa. "Objek itu hanyalah artefak yang muncul akibat alat yang digunakan Grimsley untuk mencari UFO," katanya.



Grimsley menggunakan binokular dengan fitur penglihatan malam hari (night vision). "Fitur itu beresolusi rendah agar memiliki sensitivitas tinggi. Objek yang sangat terang berubah menjadi titik cahaya tak pedulu ukuran asli objek tersebut," Sheaffer menjelaskan. Penyidik UFO itu kemudian menambahkan, objek yang direkam bisa jadi burung atau kelelawar, atau satelit. Sheaffer juga menuduh, "Mereka tidak mengerti cara kerja alat tersebut. Mereka juga tidak mengerti apa yang mereka lihat."

Hal lain yang meragukan adalah tidak ada orang lain--entah astronom, entah staf maskapai penerbangan--yang melaporkan hal serupa. Selain itu, entah kebetulan, entah tidak, Grimsley memperoleh uang dari penjualan binokular berfitur penglihatan malam hari yang disebut bisa dipakai untuk melihat perang UFO ala Star Wars itu. Ia menjual berbagai model dengan harga antara US$1,800 hingga US$3,200. Grimsley juga menawarkan DVD UFO dengan harga US$24.95. Uang yang diperolehnya digunakan untuk beberapa proyek, termasuk pengembangan mesin kendaraan yang dapat menempuh 160 kilommeter dengan segalon air. (Sumber: LiveScience, Life's Little Mysteries)

Sumber: nationalgeographic.co.id

VIDEO: Pemandangan Galaksi Bima Sakti Saat Badai Pasir di Canary ISlands

Galaksi Bima Sakti. Credit: howstuffworks.com
Bagaimana langit terlihat saat badai pasir? Hasil rekaman fotografer Terje Sorgjerd menunjukkan bahwa langit sangat mengagumkan saat badai pasir. Ini videonya.



Sorgjerd merekam video pada saat berada di El Teide, Canary Islands. Awalnya ia berencana membuat foto galaksi Bima Sakti dari gunun tertinggi di Spanyol. Di tengah malam, badai pasir yang datang dari gurun Sahara melanda daerah tersebut.

"Saya nyaris tak dapat melihat langit," Sorjerd bercerita. "Saya yakin gambar yang terekam kamera berantakan." Akan tetapi, prediksinya salah. Badai membuat efek yang sangat mengagumkan, seperti awan berwarna emas di latar belakang. (Sumber: NewsScientist)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Peneliti Temukan Cara Baru Ukur Usia Planet

Wikimedia Commons
Peneliti punya teknik baru untuk memperkirakan umur sebuah planet. Upaya ini merupakan bagian mencari planet yang dapat dihuni manusia.

Astronom Soren Meibom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics memimpin sebuah tim yang menentukan kecepatan rotasi sebuah bintang. Dari kecepatan rotasi tersebut, mereka bisa mengukur usia bintang. Dari usia bintang, ilmuwan bisa menerka usia planet yang mengelilinginya.

"Bintang dan planetnya memiliki usia yang sama. Dengan menentukan usia bintang, kita bisa tahu usia planet-planetnya," demikian jelas Meibom kepada American Astronomical Society pada saat sebuah pertemuan di Boston hari Minggu lalu.

Bintang yang muda, menurut pengamatan Meibom dan timnya, berputar lebih cepat. Bintang-bintang muda juga lebih berbintik yang menyebabkan variasi tingkat keterangan saat berputar. Sementara itu, bintang yang lebih tua berputar lebih lambat dan memiliki bintik yang lebih kecil.

Peneliti menggunakan teleskop Kepler Space milik NASA untuk mengetahui kecepatan rotasi beberapa bintang, termasuk bintang berumur 1 miliar tahun, 2,5 miliar tahun, bahkan 9 miliar tahun.

Salah satu faktor yang diperhatikan dalam menemukan planet yang dapat dihuni adalah usia planet, di samping ukuran dan lokasi. Dari hasil studi, "Jika sebuah bintang dan planetnya berumur sekitar 1 miliar tahun, maka planet hanya dapat menampung kehidupan mikroba primitif," kata Meibom. (Sumber: Discovery News)

Sumber: nationalgeographic.co.id


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto