Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Tuesday, August 23, 2011

Cincin Saturnus Terbentuk Dari Satelit Raksasa?

Cincin planet Saturnus. Credit: NASA
Sebuah penelitian yang ditulis dalam Jurnal Nature menyatakan cincin Saturnus adalah sisa-sisa bulan, yang terkoyak jutaan tahun lalu, kemudian mengelilingi planet. Meskipun masih memerlukan pembuktian, teori sisa-sisa bulan (atau satelit) ini cukup kuat.

Sejak lama, ilmuwan berbeda pendapat tentang asal-usul cincin yang mengelilingi Saturnus. Ada juga yang mengatakan cincin ini adalah tinggalan material nebula yang membentuk Saturnus. Tak ketinggalan, ada yang beranggapan cincin itu terbentuk dari sisa-sisa komet yang menabrak atau saat gravitasi planet ini mencerai-beraikan komet yang melintas terlalu dekat.

Namun, menurut penelitan dalam Jurnal Nature, kemungkinan terakhir itu akan membuat cincin Saturnus kaya batu-batuan dan es. Padahal cincin Saturnus saat ini 90 hingga 95 persennya terdiri dari air es. Meskipun memang cincin ini telah tercemari debu dan puing-puing luar angkasa. Kemungkinan kedua diabaikan karena jika cincin itu bentukan dari nebula maka akan tidak stabil dan tidak mampu bertahan hingga saat ini.

Seperti dipublikasi Jurnal Nature, kemungkinan pertama adalah yang paling mungkin terjadi. Menurut Robin Canup dari Southwest Research Institute di Boulder, Colorado, AS yang merupakan penulis dalam laporan di jurnal iru, Saturnus dulu memiliki banyak bulan raksasa sebesar satelit terbesarnya saat ini, Titan.

Sekitar 4,5 miliar tahun lalu, saat bulan seukuran Titan mendekat, gravitasi Saturnus menariknya dan membuat lapisan es satelit ini terlepas. Lapisan es inilah yang membentuk cincin Saturnus. Sementara itu, inti satelit yang berbatu-batu tetap utuh dan akhirnya menabrak Saturnus.

Proses ini terjadi beberapa kali dengan bulan-bulan seukuran Titan yang berbeda. Tiap peristiwa kemungkinan mengganggu dan merusak sistem cincin sebelumnya. Jadi, yang kita lihat saat adalah serpihan bulan terbesar terakhir yang tertelan Saturnus.

“Model ini menunjukkan cincin tersebut adalah hal yang pokok. Mereka terbentuk dari proses yang sama yang membuat Titan satu-satunya satelit terbesar Saturnus. Dan ini adalah satu-satunya penjelasan konsisten untuk satelit yang kaya es,” kata Canup.

Es yang terlepas dari satelit-satelit itu bisa membentuk sistem cincin 10 hingga 100 kali lebih besar dari yang kita lihat saat ini. Tapi, cincin ini menyusut seiring waktu.

Dalam beberapa tahun ke depan, ilmuwan akan mendapat kesempatan menguji teori cincin Canup. Pada akhir misinya yang dijadwalkan pada 2017, pesawat luar angkasa NASA Cassini yang kini tengah mengorbit di sekitar Saturnus, akan meluncur langsung ke cincin Saturnus.

Cassini akan melakukan observasi mendetail yang dapat membuat ilmuwan mendapat kepastian tentang massa cincin Saturnus dan usianya, serta seberapa jauh meteroid mencemarinya dengan puing-puing.

“Saya pikir cukup cermat untuk menyadari bahwa sistem cincin yang sangat terkenal ini kemungkinan adalah sisa-sisa yang masih ada dari satelit yang hilang,” tegas Canup.

Cincin Saturnus terbentang dari 6.630 km hingga 120.700 km di atas khatulistiwa planet ini. Tebalnya sekitar 20 meter. Saturnus memiliki setidaknya 62 satelit. Titan adalah bulan terbesar, diikuti bulan terbesar kedua bernama Rhea. Kebanyakan bulan lainnya sangat kecil, 34 bulan berdiameter kurang dari 10 km, 14 lainnya kurang dari 50 km. Titan sendiri memiliki massa 0,0225 massa bumi yang mencapai 5,9736 × 1024 kg. Sedangkan Saturnus memiliki massa 95,152 kali massa bumi atau sekitar 5.6846 × 1026 kg. (SUmber: space.com)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Kenapa Suhu Atmosfer Matahari Lebih Panas Daripada Permukaannya?

Matahari. Credit: NASA
Akhirnya, para ilmuwan bisa menjawab misteri seputar atmosfer matahari yang memiliki temperatur lebih tinggi daripada permukaan matahari. Jawabannya ada di pancaran plasma yang berasal dari permukaan matahari.

"Selalu jadi teka-teki ketika kita mencari tahu alasannya," kata Scott McIntosh, ahli fisika bidang cahaya matahari dari High Altitude Observatory, High Altitude Observatory of the National Center for Atmospheric Research (NCAR), Boulder. McIntosh melakukan penelitian bersama ilmuwan dari Lockheed Martin's Solar and Astrophysics Laboratory (LMSAL), NCAR, and the University of Oslo. Penelitian ini didukung NASA dan National Science Foundation (NSF), sponsor NCAR.

Selama beberapa dekade, ilmuwan selalu mencari jawaban misteri tersebut. Selama itu pula, ilmuwan percaya kalau spikula, pancaran plasma dari permukaan matahari ke atmosfer, dapat membawa panas ke korono. Akana tetapi, sebuah temuan pada tahun 1980-an membantah hal itu. Ilmuwan kala itu mendapati kalau spikula tidak mampu mencapai temperatur korona.

"Pemanasan spikula hingga jutaan derajat belum pernah dilakukan secara langsung, jadi peran mereka dalam memanaskan di korona diabaikan," kata Bart De Pontieu, pemimpin penelitian dan ahli fisika bidang cahaya matahari dari LMSAL.

Tahun 2007, McIntosh dan Pontieu berhasil menemukan spikula jenis baru yang bergerak lebih cepat dan berumur lebih pendek daripada spikula biasa. Spikula yang baru ditemukan ini memancar ke atas dengan kecepatan tinggi, bisa mencapai 100 kilometer per detik, sebelum menghilang. Karena karakteristiknya itu, ilmuwan menerka spikula "tipe 2" ini sangat panas. Tapi, kala itu mereka belum dapat membuktikannya.

Para peneliti kemudian menggunakan pengamatan baru yang diperoleh dari Atmospheric Imaging Assembly yang ada di Solar Dynamics Observatory milik NASA serta Solar Optical Telescope pada satelit Jepang Hinode. Tujuan mereka adalah menguji hipotesis kalau spikula "tipe 2" itu benar-benar panas.

"Penelitian kami mengungkapkan, untuk pertama kali, hubungan antara plasma yang dipanaskan hingga jutaan derajat dan spikula yang menempatkan plasma ini ke korona," kata McIntosh. Temuan baru ini mengubah teori pemanasan yang terjadi pada korona.

Misi NASA bernama Interface Region Imaging Spectograph, yang akan diluncurkan 2012 nanti, akan menyediakan data mengenai temperatur dan medan magnet antara fotosfer dan korona. Para peneliti berharap bisa mengungkap lebih banyak mengenai pemanasan spikula dan mekanisme kemunculannya. (Sumber: ScienceDaily)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Kenapa Manusia Belum Bisa Menjejakkan Kaki di Mars?

Permukaan Mars. Credit: NASA
Hanya butuh 8 tahun sejak manusia pertama kali ke luar angkasa sampai menjejakkan kaki di Bulan. Tapi, kenapa sampai saat ini manusia belum tinggal di Mars?

Perjalanan manusia antarplanet berhadapan dengan berbagai tantangan di bidang sains dan teknologi. Para ilmuwan harus mengatasi masalah makanan, air, dan oksigen. Tak kalah pentingnya adalah efek gravitasi lemah serta bahaya akibat radiasi.

Tapi menurut artikel di Space.com, alasan utama bukanlah keterbatasan sains dan teknologi, melainkan politik.

Di masa-masa awal penerbangan antariksa, Amerika Serikat dan Uni Soviet saling bersaing dalam Perang Dingin. Setelah Uni Soviet mengejutkan dunia dengan mengirim manusia pertama ke luar angkasa, selanjutnya Amerika Serikat dan Uni Soviet berlomba mengirim manusia ke Bulan. "Balapan" itu dimenangi Amerika Serikat ketika NASA, lewat Apollo 11, mendaratkan Neil Armstrong dan Buzz Aldrin di Bulan pada 20 Juli 1969.

"Semua tergantung niat," kata Robert Zubrin, pendiri Mars Society. "Mereka bisa sebut-sebut risiko radiasi, tapi kosmonot sudah terpapar radiasi bertahun-tahun di Stasiun Luar Angkasa Internasional," katanya. "Masih bicara soal risiko, bayangkan risiko yang dihadapi penerbangan pada masa-masa awal," tambah Zubrin yang juga presiden di Mars Society. Dengan tegas ia mengatakan, "Kalau Anda menunggu untuk memastikan bahwa Mars aman, Anda tidak akan pernah ke Mars."

Berbagai misi sudah dilaksanakan ke Mars. Misi Phoenix yang dilakukan NASA pada tahun 2008 bertujuan mencari daerah yang dapat ditinggali. Misi itu juga mencari sejarah keberadaan air di Mars. (Sumber: Space.com)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Perbandingan Suara Alat Musik Jika Dimainkan di Bumi, Titan, Venus, dan Mars

howstuffworks.com

Ahli fisika Andi Petculescu dan ahli akustik Profesor Tim Leighton mencoba mencari tahu bunyi alat musik pipe organ bila dimainkan di luar angkasa. Untuk itu, mereka menggunakan komputer untuk membuat model atmosfer di Mars, Venus, dan Titan (bulan yang mengorbit Saturnus).

Di dalam model itu, mereka memutar Toccata and Fugue in D Minor. Hasilnya? Atmosfer Venus menaikkan nada D Minor ke F Minor. "Membuat suara anak-anak terdengar seperti Smurf," kata Leighton. Sedangkan di Mars dan Titan, nada dasar turun ke Gis Minor dan Fis Minor.

Leighton dan Petculescu juga mendapati bahwa suara di Titan tersalurkan lebih baik daripada di Bumi. Sementara di Mars, suara nyaris tidak terdengar pada jarak 20 meter dari alat musik. "Jelas kita tidak bisa menggelar konser di Mars!" canda Leighton.

Dengan mengetahui karakteristik akustik di luar angkasa, para ilmuwan bisa membuat mikrofon yang lebih akurat. Ilmuwan juga dapat menganalisis suara dan lingkungan dengan lebih baik.

Berikut adalah file MP3 lagu bila didengarkan di Bumi, Titan, Venus, dan Mars. (Sumber: Discovery News)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Metode Komunikasi Paling Efektif di Luar Angkasa

NASA
Komunikasi di luar angkasa lebih efektif menggunakan neutrino ketimbang pancaran optik atau radio.

Neutrino? Neutrino mirip dengan elektron, tapi tidak memiliki muatan listrik sehingga mereka bisa diteruskan dengan apa saja. Dengan demikian, neutrino sangat cocok untuk komunikasi jarak sangat jauh karena tidak akan terganggu oleh gas, demu, dan materi lain yang dapat mengganggu gelombang radio.

Para ilmuwan berspekulasi kalau (jika ada) alien, mereka mungkin berkomunikasi menggunakan media neutrino.

Selama ini, para astronom telah puluhan tahun mencari sinyal radio yang mungkin dihasilkan oleh alien untuk berkomunikasi. Belakangan ini, astronom mulai mencari pancaran cahaya yang tidak natural. Sejauh ini hasilnya belum memuaskan. "Kami benar-benar tidak tahu bagaimana peradaban mereka berkomunikasi dengan kita. Kami juga tidak tahu untuk apa mereka berkomunikasi dengan kita," kata ahli fisika John Learned dari University of Hawaii.

Learned mengakui kalau upaya pencarian itu seperti penjelajahan. "Justru itu bikin semakin menyenangkan," katanya.

Alien bisa saja mengirimkan pancaran neutrino pada level energi yang sesuai. Karena pancarannya tidak natural, ilmuwan seharusnya bisa mengenali. Cara lain yang mungkin dilakukan adalah teknik komunikasi yang membuat neutrino mengubah kelip bintang pulsar.

Menurut Learned, alien dapat membuat akselerator besar yang mengumpulkan energi dari bintang dan menyimpannya. Kemudian, energi itu dilepaskan pada saat yang tepat. "Hasilnya, bintang akan berpijar dengan periode yang bervariasi," jelasnya.

Sayangnya, untuk menciptakan sinyal neutrino ini sangat mahal. "Energi yang dibutuhkan untuk mengirimkan sinyal sederhana saja butuh energi yang setara dengan energi yang dipakai oleh seluruh mobil, truk, kereta, perahu, dan pesawat di seluruh dunia dalam satu hari," jelas astronom SETI Seth Shostak. (Sumber: Discovery News)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Atmosfer Pluto Mengandung Gas Beracun

Ilustrasi Pluto. Credit: ESO
Data baru hasil observasi menunjukkan atmosfer Pluto mengandung gas beracun karbon monoksida.

Bukan hanya mendapati adanya karbon monoksida, studi berdasarkan data dari teleskop James Clerk Maxwell ini juga menunjukkan jumlah karbon monoksida di Pluto naik dua kali lipat sejak tahun 2000. "Hal yang tidak mungkin terjadi secara natural di Bumi," kata Jane Greaves, astronom dari University of St. Andrews di Inggris.

Studi ini juga menemukan kalau atmosfer Pluto semakin berkembang dalam waktu 10 tahun terakhir. Dari ketinggian 100 kilometer menjadi 3.000 kilometer. Para astronom mengira pertambahan itu diakibatkan perubahan musim yang ekstrem di Pluto.

Akibat orbit Pluto terhadap Matahari yang berbentuk seperti telur, musim berubah secara drastis, tergantung jarak Pluto ke Matahari. Pada saat jarak sangat dekat, Greaves menjelaskan, permukaan es di permukaan menyublim, menambah jumlah gas di atmosfer. Saat Pluto menjauh dari Matahari, atmosfer membeku dan jatuh lagi ke tanah seperti salju. Pluto mengorbit Matahari dalam waktu 248 tahun.

Meskipun dapat menjelaskan penyebab pertambahan atmosfer, para peneliti belum dapat menjelaskan perubahan komposisi atmosfer. "Masih jadi teka-teki saat ini," kata Greaves.

Meskipun jumlah karbon monoksida bertambah banyak di atmosfer Pluto, komposisinya masih sangat kecil. Secara umum, takaran nitrogen masih paling banyak, mirip atmosfer Bumi. (Sumber: National Geographic News)

Sumber: nationalgeographic.co.id

FOTO: Pegunungan Bulan Tampak Saat Gerhana Matahari

Siluet Bulan saat gerhana Matahari. Credit: NASA/SDO
Solar Dynamics Observatory (SDO) milik NASA merekam siluet pegunungan di Bulan saat melintas di depan Matahari dengan foto yang sangat indah.

Dengan titik pandang lebih dari 35.000 kilometer di atas permukaan Bumi, SDO merekam pemandangan ini pada pukul 3.28 waktu setempat pada 3 Mei. Garis tepi bulan tampak tegas.

Tetapi, perhatikan di bagian bawah Bulan. Siluet Bulan tidak terlalu mulus, ada gerigi yang terekam. Bagian itu merupakan bagian pegunungan Bulan.

Gambar ini juga merekam pusaran dan pijaran plasma dari Matahari. (Sumber: NASA, Wired)

Sumber: nationalgeographic.co.id

VIDEO: Perang UFO Terekam Kamera?

Ilustrasi perang luar angkasa. Credit: reshade.com
Dalam video yang ditampilkan, UFO tidak berbentuk seperti piring terbang. UFO tampak seperti titik cahaya di langit malam. Titik itu memang bergerak cepat dengan arah yang berubah-ubah sebelum menghilang. Tetapi, Robert Sheaffer, penyelidik UFO dari Committee for Skeptical Inquiry, mengatakan titik itu bukan hal luar biasa. "Objek itu hanyalah artefak yang muncul akibat alat yang digunakan Grimsley untuk mencari UFO," katanya.



Grimsley menggunakan binokular dengan fitur penglihatan malam hari (night vision). "Fitur itu beresolusi rendah agar memiliki sensitivitas tinggi. Objek yang sangat terang berubah menjadi titik cahaya tak pedulu ukuran asli objek tersebut," Sheaffer menjelaskan. Penyidik UFO itu kemudian menambahkan, objek yang direkam bisa jadi burung atau kelelawar, atau satelit. Sheaffer juga menuduh, "Mereka tidak mengerti cara kerja alat tersebut. Mereka juga tidak mengerti apa yang mereka lihat."

Hal lain yang meragukan adalah tidak ada orang lain--entah astronom, entah staf maskapai penerbangan--yang melaporkan hal serupa. Selain itu, entah kebetulan, entah tidak, Grimsley memperoleh uang dari penjualan binokular berfitur penglihatan malam hari yang disebut bisa dipakai untuk melihat perang UFO ala Star Wars itu. Ia menjual berbagai model dengan harga antara US$1,800 hingga US$3,200. Grimsley juga menawarkan DVD UFO dengan harga US$24.95. Uang yang diperolehnya digunakan untuk beberapa proyek, termasuk pengembangan mesin kendaraan yang dapat menempuh 160 kilommeter dengan segalon air. (Sumber: LiveScience, Life's Little Mysteries)

Sumber: nationalgeographic.co.id


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto