Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Monday, August 22, 2011

FOTO: Pemasangan GRAIL di Launch pad Cap Canaveral Florida


Ahli NASA menaikkan dua GRAIL (Gravity Recovery and Interior Laboratory) pesawat ruang angkasa untuk ditempatkan di atas tempat  peluncurannya di kompleks Peluncuran pesawat ruang angkasa 17B di Cape Canaveral Air Force di Florida.

Credit: NASA/Kim Shiflett

Keduanya akan diterbangkan bersamaan mengelilingi bulan selama beberapa waktu untuk mengukur medan gravitasi bulan. GRAIL akan menentukan struktur interior bulan dari kerak sampai inti, dan juga untuk lebih menambah pemahaman kita tentang evolusi panas di bulan. Peluncuran dijadwalkan akan dilaksanakan pada 8 September 2011.

China-Rusia Kembangkan Teknologi Luar Angkasa

Rencana stasiun luar angkasa China. Credit: novusblog.com
China - China serius bekerja sama dengan Rusia untuk mengembangkan teknologi luar angkasa.

Dikabarkan MSN, China merencanakan kerja sama dengan Rusia untuk mengembangkan teknologi luar angkasa. Teknologi yang akan mereka kembangkan berhubungan dengan penerbangan dan penjelajahan luar angkasa.

Yin Liming, presiden China Great Wall Industry Corporation (CGWIC), mengatakan, beberapa tahun belakangan negaranya sudah bekerja sama dengan lembaga luar angkasa nasional Rusia, Roscosmos. Selanjutnya, kedua lembaga itu ingin lebih serius bekerja sama berdasarkan perjanjian China-Russia Space Cooperation Outline 2010–2012.

China akan mengembangkan sistem satelit navigasi, serta bergabung dalam riset dan penjelajahan bulan dan angkasa Rusia.

"China dan Rusia punya kesempatan untuk kerja sama lebih jauh. Kita bersama-sama melakukan proyek luar angkasa untuk tujuan ilmu pengetahuan dan perdamaian," ujar Yin seperti dikutip dari MSN.

Diberitakan China Daily,negara itu tengah berencana meluncurkan stasiun luar angkasa sendiri tahun 2020.

Source: http://teknologi.inilah.com/read/detail/1767601/china-rusia-kembangkan-teknologi-luar-angkasa

Rencana Imuwan China Selamatkan Bumi dari Hantaman Asteroid Apophis

Ilustrasi tabrakan asteroid
Ilmuwan China merancang rencana menyelamatkan bumi dari hantaman asteroid tahun 2036.

Sekelompok ahli astronomi China yang dipimpin Shengping Gong dari Universitas Tsinghua, Beijing, menyiapkan rencana untuk menghindari hantaman asteroid Apophis pada bumi. Tabrakan ini diperkirakan akan terjadi pada 2036.

Ilmuwan lain mengatakan, kemungkinan kecil peristiwa tabrakan ini tidak akan terjadi karena asteroid tersebut akan tergerus menjadi serpihan. Walau begitu, diberitakan The Hindu, Gong tetap berrencana membuat dan memasang sebuah pesawat luar angkasa untuk mengubah haluan gerak asteroid itu.

Pesawat ini akan berkecepatan 90 km/detik, yang jika berhasil diciptakan, akan mampu mencegah Apophis kembali ke bumi.

Walau idenya bagus, tapi kemungkinan besar akan sulit terrealisasi karena bisa jadi pesawat ini malah akan rusak akibat terkena badai matahari.

Ilmuwan memperkirakan asteroid Apophis berdiameter 270 meter ini, akan berada pada posisi 37.000—38.000 km dari bumi pada 2029. Asteroid berbobot 46 juta ton itu diperkirakan dapat menghancurkan satu negara di Eropa. Peristiwa tabrakannya diprediksi terjadi pada 13 April 2036.

sumber

Mengurangi Emisi Bisa Menyelamatkan Bumi Dari Alien

Reduksi emisi gas rumah kaca bisa memberi dampak di luar dugaan. Selain menyelamatkan manusia dan makhluk hidup lain dari dampak jangka panjang berupa bencana dan kepunahan, pengurangan emisi juga bisa menghindarkan populasi Bumi dari serangan alien.

Bagaimana bisa? Ilmuwan NASA dan Pennsylvania State University menuturkan, emisi gas rumah kaca menyebabkan perubahan atmosfer Bumi yang bisa dideteksi dari luar angkasa. Alien bisa mengobservasi dan berpikir, ada peradaban yang telah tumbuh di luar batas di Bumi. Hasil observasi akan kondisi atmosfer Bumi itu bisa menuntun alien untuk datang ke Bumi.

Jika kedatangan itu bisa dipastikan tak merugikan, pasti tak masalah. Tapi bagaimana bila makhluk cerdas itu bermaksud menyerang, jijik pada manusia karena telah menghancurkan Bumi?

Sejauh ini, ilmuwan dari dua lembaga tersebut baru menyusun beberapa kemungkinan jika alien datang ke Bumi. Skenario paling bagus, si alien tak melancarkan serangan. Manusia justru bisa belajar dari alien tentang cara mengatasi kelaparan dan melawan penyakit. "Dalam skenario ini, manusia tidak hanya memperoleh kemenangan moral karena mengalahkan alien, tapi punya kesempatan untuk mendayagunakan kecerdasan yang dimiliki makhluk ekstra terestrial itu," tulis ilmuwan dalam papernya, seperti dikutip Daily Mail, Jumat (19/8/2011).

Skenario kedua adalah skenario netral. Dalam hal ini, manusia tak bisa merasakan perbedaan karena adanya alien sebab hambatan komunikasi. Ada kemungkinan alien menjadi terlalu birokratis dan akhirnya malah menggangu manusia.

Sementara, skenario terburuk, alien menyerang manusia. Manusia diperbudak oleh alien sementara mereka meningkatkan kapasitas untuk ekspansi. Dampak akhirnya, kehancuran secara global dan bisa menghapus seluruh populasi manusia.

Hingga kini, belum ada kepastian, skenario mana yang akan terjadi. Tak heran, sebab kepastian tentang adanya makhluk cerdas di luar angkasa juga belum ada hingga detik ini. Namun, ilmuwan mengungkapkan, sebaiknya manusia melakukan langkah preventif.

Dalam laporannya, ilmuwan menulis, "Manusia kini memasuki periode dimana ekspansi peradaban bisa terdeteksi alien, sebab ekspansi kita mengubah kompisisi atmosfer lewat emisi gas rumah kaca. Skenario ini memacu kita membatasi pertumbuhan dan mengurangi dampak ekosistem global."

Lebih lanjut, ilmuwan memberikan saran, "Akan menjadi penting bagi kita untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebab perubahan atmosfer bisa terdeteksi dari planet lain."

Intinya, sebisa mungkin selamatkan Bumi dari serangan alien dengan mengurangi emisi. Terlihat seperti fiksi ilmiah? Mungkin saja. Tapi, reduksi emisi gas rumah kaca memang harus dikurangi. Tim ilmuwan yang mengembangkan skenario invasi alien ini dipimpin oleh Shawn Domagal-Goldman dari NASA. Laporannya juga dipublikasikan di NASA.

sumber

Fosil Mikro Petunjuk Kehidupan di Mars

Rekonstruksi 3D terhadap mikrofosil berusia 3.4 milyar tahun yang berdiameter sekitar 10 micrometer dari Australia Barat. Credit: kompas.com
Ilmuwan University of Western Australia (UWA) dan Oxford University menemukan fosil bakteri di batuan purba berusia 3,4 miliar tahun, di situs Strelley Pool, Pilbara, Australia Barat. Fosil ini menarik sebab bisa menunjukkan bahwa bakteri sudah ada sejak Bumi belum beroksigen sehingga membuka kemungkinan adanya kehidupan di planet lain, seperti Mars.

Penemuan ini bukan pertama kalinya. Pada tahun 2002, tim ilmuwan lain mengklaim telah menemukan fosil serupa di wilayah yang jaraknya cuma 35 dari lokasi penemuan saat ini. Namun, klaim itu akhirnya patah setelah analisa menunjukkan, objek yang ditemukan bukan fosil mikroba, melainkan hanya hasil mineralisasi batuan.

Tim peneliti UWA dan Oxford melakukan analisa dengan mikroskop elektron dan teknik spektroskopi untuk menguatkan pendapatnya. Hasil menunjukkan, fosil mulanya merupakan bakteri belerang yang berukuran sepersejuta meter. Bakteri memiliki kristal pyrite, senyawa besi belerang yang merupakan by product metabolisme belerang dan sulfat.

"Akhirnya kita memiliki bukti kuat adanya kehidupan pada 3,4 miliar tahun yang lalu. Ini mengkonfirmasi bahwa memang ada bakteri pada masa itu dan mereka hidup tanpa oksigen," kata Martin Braiser, professor Oxford yang terlibat penelitian, seperti dikutip Physorg, Minggu (21/8/2011).

Braiser mengatakan, bakteri yang mengandalkan belerang atau sulfat sebagai sumber energi masih umum hingga kini. Mereka tersebar dari wilayah selokan yang berbau, tanah, sumber air panas hingga wilayah ekstrim temperatur seperti di kawah gunung berapi, ventilasi termal air laut.

Ditanya apakah hasil penemuan bisa menjadi petunjuk adanya kehidupan di Mars, Braiser mengatakan, "Ini baru saja dibayangkan." Mungkin, seiring dengan misi pengiriman robot dan astronot ke Mars nantinya, bisa dicari tempat yang serupa dengan Pilbara untuk bisa menemukan makhluk hidup serupa.

sumber

Misteri Pola Padang Pasir di Bulan Milik Saturnus, Titan

Pola padang pasir di Titan yang mirip dengan padang pasir di Bumi
Jawaban atas misteri pola yang terbentuk pada padang pasir di Titan ternyata bukanlah tiupan angin seperti yang telah dikira selama ini oleh para ilmuwan.

Pada umumnya bertiup dari timur ke barat di sekitar sabuk equatorial Titan. Namun ketika satelit penjelajah Cassini milik NASA mengambil foto pertama padang pasir Titan pada 2005 lalu, pola yang terlihat pada pasang pasir jelas-jelas menunjukkan bahwa angin bergerak dari arah sebaliknya, dari barat ke timur.

Untuk menjawab paradox ini, Tetsuya Tokano menerbitkan jurnal terbarunya Aeolian Research. Dalam jurnal ini, Tetsuya menjelaskan bahwa terjadinya perubahan musim tampaknya mengubah pola angin di permukaan Titan selama beberapa periode. Tiupan angin kencang ini, yang hanya muncul sesekali setidaknya selama dua tahun, menyapu dari barat ke timur dan cukup kuat untuk memindahkan pasir daripada angin yang biasanya bertiup dari timur ke barat. Nah, angin yang bertiup dari timur ke barat rupanya tidak cukup kuat untuk memindahkan pasir dalam jumlah yang cukup signifikan.

Pada 2009, sebuah artikel mengenai pemetaan padang pasir Titan yang memiliki perspektif sama terhadap pemikiran Tokano juga telah dipublikasikan dalam jurnal Science oleh Ralph Lorenz, ilmuwan radar Cassini.

“Sukar dipercaya bahwa bisa jadi adanya angin yang bertiup secara terus-menerus dari barat ke timur seperti yang tampak pada pola permukaan pasir di permukaan Titan,” kata Tokano, dari Universitas of Cologne, Jerman.

Tokano menambahkan bahwa adanya pembalikan angin musiman yang cukup dramatis rupanya menjadi kunci untuk menjawab paradoks ini.

Lintasan bukit pasir ini melewati lautan pasir Titan yang luas hanya di sekitar garis lintang 30 derajat dari ekuator. Dengan lebar sekitar satu kilometer dan puluhan hingga ratusan kilometer panjangnya, angin bisa mencapai ketinggian 100 meter lebih. Pasir yang mengisi padang pasir Titan tampaknya terbuat dari material organik, partikel hidrokarbon. Punggung bukit pasir umumnya menghadap barat ke timur, seperti halnya angin di sini menumpahkan pasir di sepanjang garis yang sejajar dengan ekuator.

Para ilmuwan memperkirakan angin yang berhembus dari garis lintang terendah di sekitar ekuator Titan akan bertiup dari arah timur ke barat. Hal ini disebabkan karena pada garis lintang yang lebih tinggi, rata-rata angin akan berhembus dari timur ke barat. Kekuatan angin pada akhirnya akan mencapai titik keseimbangan, sesuai dengan prinsip dasar mengenai perputaran atmosfer.

Tokano melakukan analisa ulang terhadap model sirkulasi global berbasis komputer untuk Titan yang ia satukan pada 2008. Model yang digunakan di Titan telah diadaptasi dengan model yang sama yang telah dikembangkan untuk Bumi dan Mars. Tokano menambahkan input data mengenai topografi, data gravitasi, dan bentuk dasar Titan yang didapat lewat radar yang diusung oleh Cassini.

Dalam analisis terbarunya, ia lebih memperhatikan variasi hembusan angin pada beberapa titik yang berbeda dalam beberapa waktu daripada hanya memperhatikan rata-rata hembusan angin saja. Hasilnya adalah adanya periode equinox (Equinox: terjadi ketika kemiringan sumbu rotasi planet baik itu mengarah atau menjauhi matahari, sehingga titik pusat matahari akan berada tepat pada garis ekuator. Kejadian ini akan menyebabkan matahari tepat berada di atas kepala, serta panjangnya hari siang dan malam persis sama).

Sama seperti halnya di Bumi, equinox di Titan juga muncul setahun 2 kali (1 tahun di Titan = 29 tahun di Bumi). Selama periode ini, matahari akan mengarahkan sinarnya secara langsung ke ekuator, memanaskannya sehingga akan menciptakan aliran udara ke atas atmosfer. Adanya turbulensi yang terjadi menyebabkan angin berhembus ke arah sebaliknya dalam kecepatan yang semakin bertambah. Di Bumi, pembalikan angin yang bisa dibilang langka ini biasa terjadi di atas Lautan Hindia pada masa-masa transisi antara perubahan musim.

Pembalikan secara episodik hembusan angin di Titan tampaknya berkecepatan sekitar 1 sampai 1.8 meter per detik. Sedangkan kecepatan ambang batas pergerakan pasir tercatat sekitar 1 meter per detik, batas kecepatan yang tidak akan pernah dilebihi oleh angin yang berhembus dari timur ke barat. Pola padang pasir seperti tampak pada foto dipahat oleh angin kuat namun tidak terlalu lama yang sangat mirip dengan pola angin yang bertiup di atas padang pasir Namibia, Afrika.

“Hal ini merupakan hasil dari penyelidikan yang sangat cermat – hanya dengan mempelajari statistik angin pada model saja sudah cukup jelas untuk memecahkan masalah paradoks ini,” kata Ralph Lorenz, ilmuwan radar Cassini yang bermarkas di Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory di Laurel, Md.

“Penelitian ini sekaligus menjadi bahan persiapan untuk penelitian mengenai Titan ke depannya, di mana kita bisa lebih percaya diri untuk memprediksi angin yang akan berakibat pada tingkat akurasi pendaratan satelit-satelit penjelajah ke atas permukaan Titan serta penerbangan balon-balon penelitian di langit Titan,” ia menambahkan.

Misi Cassini-Huygens merupakan misi kerja sama yang diselenggarakan NASA, European Space Agency (ESA), serta Italian Space Agency (ISA). JPL (Jet Propulsion Laboratory) yang bertanggung jawab dalam mengoperasikan misi Cassini-Huygens untuk NASA’s Science Mission Directorate. Informasi tambahan mengenai Cassini dapat diakses di: http://www.nasa.gov/cassini dan http://saturn.jpl.nasa.gov. (Science Daily/den)

Phobos, Bulan Planet Mars yang Terbentuk Dari Ledakan Dahsyat

Para ilmuwan mengatakan mereka telah menemukan bukti kuat bahwa Phobos, bulan Mars terbesar ini terbentuk dari bebatuan yang diletupkan permukaan Mars saat bencana ledakan dahsyat terjadi.

Asal muasal dari dua satelit Mars, Phobos dan Deimos merupakan teka-teki lama.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kedua bulan tersebut kemungkinan adalah asteroid-asteroid yang terbentuk dalam sabuk utama asteroid yang kemudian ditarik oleh gravitasi Mars.

Bukti terbaru ini telah dipresentasikan pada sebuah konferensi besar di Roma.

Temuan baru ini mendukung beberapa skenario lainnya. Meluncurnya material permukaan Mars akibat tabrakan bebatauan antariksa, kemudian menyatu membentuk bulan Phobos.

Pendapat lain ada pula yang mengatakan bahwa, Phobos kemungkinan terbentuk dari sisa-sisa bulan sebelumnya yang hancur akibat gravitasi Mars. Bagaimanapun juga, bulan ini kemungkinan berasal dari sejumlah material yang terlempar ke orbit dari permukaan Mars.

Observasi Phobos yang sebelumnya menggunakan panjang gelombang infra-merah, telah menimbulkan dugaan adanya kondrit karbon, material-material meteorit yang ditemukan jatuh ke Bumi.

Phobos terletak lebih dekat dan lebih besar dibandingkan kedua bulan Mars yang lain. Credit: astronomia.zcu.cz
Material ini, kaya akan karbon, sisa dari pembentukan tata surya, yang berasal dari sabuk utama asteroid antara Mars dan Yupiter.

Observasi terbaru lewat termal wavelengts infra-merah dengan menggunakan Instrumen Planetary Fourier Spectrometer (PFS) pada Mars Express menunjukkan bahwa adanya perpadanan antara batu-batu karang Phobos dengan beberapa golongan kondrit meteorit dikenal dari Bumi.

Hal ini tampaknya akan mendukung pola-pola ‘penambahan-kembali terbentuknya Phobos, di mana bebatuan dari Planet Merah tersebut diledakkan ke dalam orbit Mars yang nantinya membentuk Phobos.

“Kami untuk pertama kalinya mendeteksi jenis mineral yang disebut sebagai phyllosilicates pada permukaan Phobos, khususnya di wilayah timur laut Stickney, tempat terbentuknya kawah yang paling besar,” ujar Dr. Marco Giuranna, dari Lembaga Nasional Astrofisika Italia di Roma.

Batu phyllosilicate ini diperkirakan terbentuk dalam hadirat air yang sebelumnya telah ditemukan di Mars.

“Hal ini sangat menarik karena menyiratkan interaksi sejumlah material silikat dengan air sebelum menyatu ke dalam Phobos,” ujar Dr. Giuranna, seperti dilansir BBC News.

“Atau, phyllosilikat kemungkinan telah terbentuk di situ, namun kemungkinan Phobos memerlukan pemanasan internal yang cukup untuk menjaga kestabilan air.”

Bongkahan Bebatuan

Beberapa observasi lain dari Phobos tampaknya sesuai dengan jenis-jenis mineral yang teridentifikasi pada permukaan Mars. Sehingga Phobos lebih mendekati Mars dibandingkan asteroid sabuk utama, ujar para peneliti.

Selain itu, Pascal Rosenblatt dari Royal Observatorium of Belgium, mengatakan, “skenario pembekukan asteroid juga memiliki kesulitan dalam menjelaskan sirkuler arus dan ekuatorial orbit dari kedua bulan Mars (Phobos dan Deimos).”

Para peneliti juga menggunakan Mars Express untuk memperoleh pengukuran yang paling akurat tentang kepadatan Phobos.

“Jumlah ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan densitas material meteor terkait asteroid. Hal ini juga menyiratkan adanya struktur karang dengan rongga yang membentuk interior Phobos antara 25%-45%,” ujar Dr. Rosenblatt.

Misi Robot Rusia ke Phobos, Phobos-Grunt (Grunt=tanah atau bumi, dalam bahasa Rusia), yang akan diluncurkan tahun ini, untuk meneliti komposisi bulan secara lebih detail.

Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Planetary and Space Science yang dipresentasikan pada European Planetary Science Congress 2010 di Roma.

Beberapa Foto Terbaik Pada Sistem Tata Surya Kita

Bulan Dione dalam bayang-bayang cincin Saturnus. Dione berdiameter sekitar 1,123 km dengan orbit sekitar 337.000 km dari planet raksasa ini. (Barcroft Media)
Gambar-gambar menakhjubkan dan inspiratif ini mengungkap sejumlah rahasia dari sistem tata surya kita yang seluruhnya diambil oleh pesawat antariksa NASA dan Badan Antariksa Eropa dalam lima tahun terakhir.

Semua ini dirilis oleh Royal Observatory di London, untuk memicu beberapa masukan bagi Fotografer Astronomi dalam Kompetisi Tahun 2011.

Gambar Bulan Saturnus, Mimas, di ambil oleh pesawat antariksa Cassini. Pesawat antariksa Cassini-Huygens diluncurkan pada 1997 untuk menyelidiki Saturnus, termasuk Cincin dan Bulannya. (Barcroft Media)
Mata badai: Jupiter’s Great Red Spot ini diabadikan oleh pesawat antariksa Voyager 2. Great Red Spot adalah badai seukuran Bumi yang mengamuk selama berabad-abad dan tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. (Barcroft Media)
Matahari di Planet Merah yang diambil oleh kendaraan antariksa NASA, Spirit, pada 2005 ini merupakan salah satu dari serangkaian gambar menakhjubkan yang dirilis Royal Observatory. (Barcroft Media)
Di antara gambar itu yang nampak luar biasa adalah Sunset Mars. Diambil tahun 2005 silam oleh kendaraan eksplorasi keliling atau yang dikenal dengan Spirit from Gusev Crater.

Dalam foto tersebut nampak cahaya berwarna biru di langit sekitar matahari terbenam yang kadang-kadang dapat tetap terlihat selama dua jam setelah itu, lenyap dari pandangan.

Cahaya ini disebabkan oleh elevasi tinggi debu yang berhamburan di sekitar sinar matahari ke sisi gelap planet tersebut.

Langit kemerahan yang masih tersisa akibat tingginya volume debu dalam atmosfir.

Gambar ini memberi cita rasa apa yang para astronot bisa harapkan untuk dilihat jika mereka senantiasa melangkahkan kaki di Planet Merah. Gambar ini juga menunjukkan betapa matahari menjadi jauh lebih kecil dibandingkan bila dilihat dari bumi.

Foto lain menunjukkan adanya kawah raksasa Stickney di Phobos, bulan terbesar diantara dua Bulan Mars lainnya.


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto