Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Friday, July 26, 2013

Peneliti NASA Mulai Buat Mesin Warp yang Lebih Cepat dari Kecepatan Cahaya

Ilustrasi pesawat bergerak dalam kecepatan warp. Image credit: ddmcdn
Para peneliti NASA di Johnson Space Center, Texas, saat ini sedang berusaha membuat mesin canggih yang mampu bergerak melebihi kecepatan cahaya yang sering disebut dengan kecepatan warp. Layaknya pesawat Enterprise dalam film Star Trek, dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, maka kita akan dimungkinkan untuk melakukan perjalanan dari planet satu ke planet lain, atau menuju ke daerah lain di alam semesta dengan sangat cepat.

Insinyur dan fisikawan NASA, Dr Harold G. White percaya bahwa sangat mungkin untuk melanggar teori yang dibuat oleh Albert Einstein ketika ia mengungkapkan bahwa tidak ada yang mampu melebihi kecepatan cahaya.

Riset yang dilakukan peneliti NASA ini didasarkan pada teori fisika yang diungkap oleh fisikawan asal Meksiko, Miguel Alcubierre pada tahun 1994 yang mengatakan bahwa adalah mungkin untuk bergerak melebihi kecepatan cahaya jika ilmuan menemukan cara untuk memanfaatkan ekspansi dan kontraksi ruang.

Dengan menciptakan "gelembung warp" yang mampu memperluas ruang untuk kemudian terhubung dengan ruang lainnya, pesawat akan didorong menjauh dari Bumi dan tertarik ke arah bintang jauh oleh ruang waktu itu sendiri, ungkap Dr Alcubierre dalam hipotesisnya. Tampaknya hal ini akan sangat rumit, namun bukan berarti mustahil.

Dr White dan tim saat ini sedang melakukan penelitian di laboratorium  khusus dimana lintasan foton melengkung dibuat untuk akselerasi apakah foton dapat didorong untuk bergerak lebih cepat dari cahaya atau tidak. Lebih lanjut Dr White mengatakan bahwa meskipun untuk membuat pesawat atau teknologi seperti pada pesawat Enterprise Star Trek adalah suatu impian di masa depan, saat ini merupakan awal yang sangat baik.

Dengan menggunakan kecepatan warp, untuk menuju ke tata surya lain yang sebelumnya diperlukan waktu puluhan ribu tahun, akan bisa ditempuh hanya dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Dan itu akan membuat kita sangat mungkin mempelajari dan mengeksplorasi tata surya lain. Berharap hal ini akan dapat terwujud di masa depan. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Thursday, July 25, 2013

Serunya Trailer Film "Gravity", Pertaruhan Nyawa Astronot Saat ISS Dihantam Benda Luar Angkasa

Cuplikan trailer film "Gravity"
Bagaimana rasanya menjadi astronot jika ISS (International Space Station) yang menjadi "rumah" mereka di luar angkasa harus hancur akibat bertabrakan dengan benda luar angkasa?? belum lagi persediaan oksigen yang menipis membuat harapan hidup menjadi semakin sempit sedangkan astronot tersebut terombang-ambing di orbit. Bagaimana menemukan cara untuk kembali ke Bumi padahal sistem komunikasi terputus ?? (wah gawat banget ya kelihatannya :-D)

Dikisahkan ISS dihantam oleh benda yang diduga adalah sampah luar angkasa (space debris). Seketika itu juga dua astronot Dr. Ryan Stone dan Matt Kowalsky mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun apa mau dikata, Dr. Ryan Stone justru tersangkut sehingga tidak bisa menghidar dari tabrakan tersebut. Bagaimana cara mereka bertahan hidup dan menyelamatkan diri?? Hal itulah yang ingin digambarkan oleh film fiksi ilmiah yang berjudul "Gravity" yang disutradarai oleh Alfonso Cuaron. Aktor senior George Clooney berperan sebagai astronot Matt Kowalsky dan Sandra Bullock berperan sebagai Dr. Ryan Stone membuat adegan film menjadi semakin menegangkan.

Situsasi yang kacau dan pertaruhan hidup dan mati yang dihadapi oleh ke dua astronot tersebut tampaknya sangat seru dan menarik untuk disaksikan. Tapi nampaknya kita harus bersabar karena film ini baru akan ditayangkan di bioskop bulan Oktober mendatang. Tapi bagi yang penasaran berikut ini trailer filmnya..





(Adi Saputro/ www.astronomi.us)



Wednesday, July 24, 2013

Ajaib !!! Walau Punya Sungai dan Laut, Titan Tidak Punya Gelombang

Fitur daratan dan danau di Titan yang diambil oleh wahana Cassini. Image credit: NASA
Satu-satunya objek di tata surya kita yang paling mirip dengan Bumi adalah bulan planet Saturnus, Titan. Titan mempunyai danau, laut, sungai, pulau, awan, hujan, bahkan pelangi, sama seperti Bumi. Bedanya zat cair di sana bukanlah air seperti Bumi tapi metana, etana, hidrokarbon dan zat cair yang sulit beku lainnya. Air berwujud cair tidak dimungkinkan untuk ada di Titan sebab di sana suhu terlalu dingin. Hal itu di dapat dari pengamatan yang dilakukan oleh wahana Cassini yang mengorbit di sekitar planet Saturnus.

Namun ada sebuah teka-teki yang membuat para astronom dan ilmuwan bingung yaitu jika Titan punya sungai, danau, dan laut, kenapa di sana tidak ada gelombang atau riak, padahal bulan planet Saturnus tersebut terdapat angin yang seharusnya bisa membuat gelombang di permukaan sungai, danau, dan laut tersebut. Permukaan danau dan lautnya begitu tenang dan diam. Hal itu didapat dari pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan radar wahana Cassini.

"Kita tahu bahwa ada angin di Titan, hal itu dibuktikan dengan adanya bukit pasir di daratannya," ungkap Alex Hayes, ilmuwan planet dari Cornell University.
Para ilmuwan memiliki beberapa pendapat tentang hal ini. Diantaranya adalah dimungkinkan zat cair di laut Titan membeku. Namun hal ini diragukan oleh Alex Hayes. Menurutnya tidak mungkin, sebab di sana juga terjadi hujan dan suhu permukaannya juga jauh di atas titik leleh metana. Menurutnya mungkin laut Titan memiliki zat tertentu di permukaannya yang mampu meredam getaran gelombang Namun hal itu juga belum pasti.

Untuk memahami lebih jauh tentang fenomena ini, ilmuwan mempelajari kepadatan atmosfer, kecepatan angin, viskositas rendah dari hidrokarbon cair di Titan dan sebagainya. Setidaknya dibutuhkan angin dengan kecepatan 2 mil per jam agar bisa menggerakkan zat cair Titan dan membuat gelombang.

Berdasarkan model iklim yang telah dibuat ilmuwan, tahun 2017 mendatang angin yang lebih besar akan terjadi di Titan. Dan jika ada gelombang, wahana Cassini akan dapat menangkap refleksi dari permukaan laut yang bergelombang. Dengan begitu akan diketahui viskositas fluida dan komposisi kimianya serta berapa kecepatan angin yang dibutuhkan untuk terjadinya gelombang. Selanjutnya itu akan sangat membantu untuk menggambarkan model iklim Titan dengan lebih sempurna.

Ini menunjukkan bahwa Titan memang benar-benar amazing. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Tuesday, July 23, 2013

Wahana Cassini Berhasil Ambil Foto Bumi dari Orbit Saturnus

Foto Bumi yang diambil oleh Cassini dari sekitar orbit planet Saturnus. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA/JPL-Caltech/Space Science Institute
Pingin tahu seperti apa planet kita kalau dilihat dari planet Saturnus??. Nah baru-baru ini tepatnya tanggal 19 Juli 2013 lalu wahana Cassini milik NASA yang mengorbit di sekitar planet Saturnus berhasil mengambil foto Bumi. Cassini mengambil foto Bumi dari jarak 898 juta mil (1,44 miliar kilometer) dari planet Bumi tempat kita tinggal ini.

Dalam foto yang diambil Cassini tersebut, tampak sebagian dari planet Saturnus dan cincinnya. Dari kejauhan tampak planet Bumi yang hanya seperti sebuah titik bercahaya dalam kegelapan. Bumi tampak berwarna Biru pucat. Dan ternyata tidak hanya Bumi, Bulan sebagai satelit alami Bumi pun tampak pada foto itu. Bulan terlihat berwarna putih. Foto ini sendiri adalah hasil penggabungan dari 323 foto.

"Foto yang diambil Cassini itu mengingatkan kepada kita betapa kecilnya planet rumah kita ini dalam luasnya alam semesta," ungkap ilmuwan NASA, Linda Spilker.

Cassini mengambil foto Bumi saat Matahari sedang berada di belakang dari planet Saturnus. Sebab jika saatnya tidak tepat, cahaya matahari bisa merusak detektor sensitif yang terdapat pada kamera Cassini dan itu hampir sama dengan cahaya matahari dapat merusak retina mata manusia jika memandangnya secara langsung.

Sebelum foto ini, foto Bumi yang lain juga berhasil diambil oleh wahana MESSENGER pada jarak 61 juta mil (98 juta kilometer) dari Bumi. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Sunday, July 7, 2013

Medan Magnet Bintang Katai Merah Bisa Menghancurkan Atmosfer Planet di Sekitarnya

Ilustrasi bagaimana Mars kehilangan sebagian atmosfernya setelah planet itu kehilangan sebagian besar medan magnetnya. Planet di sekitar bintang katai merah juga bisa mengalami nasib yang serupa. Image credit: NASA
Red Dwarf stars (Bintang Katai/ Kerdil Merah) merupakan jenis bintang yang paling banyak dijumpai di galaksi Bima Sakti. Bintang tersebut mencapai 75 % dari total bintang di galaksi kita. Jika ada planet di sekitar bintang katai merah, maka ada kemungkinan kehidupan bisa terjadi di sana. Tetapi menurut tim astronom yang dipimpin oleh Dr Aline Vidotto dari University of St Andrews hal seperti itu tidak sepenuhnya benar. Mereka meyakini bahwa medan magnet dari bintang katai merah dapat menghantam planet di sekitarnya dan menyebabkan planet banyak terkena terpaan radiasi dari luar angkasa. Dr Vidotto menyampaikan hal ini dalam pertemuan astronomi nasional di St Andrews pada 2 Juli 2013 lalu.

Setiap planet kecil yang mengorbit bintang katai merah, akan melindungi diri dari gravitasi bintang tersebut. Massa yang rendah dari bintang ini membuat tarikan gravitasi seperti gravitasi planet seukuran Bumi mampu membuat bintang itu bergerak sebagaimana planet yang mengorbitnya. Gerakan ini menyebabkan adanya pergeseran garis pada spektrum bintang yang bisa kita deteksi dengan menggunakan teleskop.

Bintang katai merah memiliki suhu yang lebih dingin dari Matahari sehingga keberadaan zona layak huni (Goldilocks) bisa ada dan berkembang. Planet yang berada pada zona ini sangat mungkin untuk memiliki air dalam wujud cair di permukaannya. Hal ini membuat planet yang ada dekat bintang katai merah menjadi target dalam pencarian planet mirip Bumi di galaksi Bima Sakti. Namun ada faktor lain yang membuat planet tersebut menjadi planet layak huni yaitu ketebalan atmosfer yang dimilikinya.

Dalam miliaran tahun, dampak partikel bermuatan di luar angkasa dapat mengikis atmosfer suatu planet. Planet dengan medan magnet yang relatif kuat seperti Bumi mampu membelokkan partikel-partikel bermuatan seperti ini. Hal itu berlangsung di Magnetosfer. Sebagian besar partikel bermuatan tersebut berasal dari angin surya yang dihembuskan oleh bintang induk (Matahari). Tekanan dari partikel-partikel ini menekan perisai magnetosfer planet sehingga setiap terjadi angin surya yang kuat, tekanan tinggi terjadi di magnetosfer. Pada Bumi magnetosfer biasanya melebar hingga 70.000 km.
Ilustrasi magnetosfer Bumi yang mengahalangi partikel bermuatan yang berasal dari angin surya (angin Matahari). Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: simpleisperfect
Astronom menemukan fakta bahwa pada bintang katai merah yang berusia relatif muda, akan memiliki medan magnet yang lebih kuat sehingga sangat berdampak pada planet yang mengorbit di sekitarnya. Tekanan yang ekstrim dari medan magnet ini akan mengikis atmosfer planet dari waktu ke waktu.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa jika Bumi berada pada bagian tepi dari zona Goldilocks dari bintang katai merah berusia muda, seperti pada Bumi yang mengorbit Matahari, maka magnetosfer akan melebar tidak lebih dari 35.000 km bahkan magnetosfer tersebut bisa hancur. Agar bisa bertahan, Bumi membutuhkan medan magnet yang lebih kuat atau berjarak lebih jauh dari bintangnya namun hal ini bisa menyebabkan kondisi yang tidak memungkinkan untuk adanya air berwujud cair disebabkan oleh suhu yang terlalu dingin.

Seiring dengan usia bintang yang bertambah, medan magnet akan melemah dan membuat atmosfer planet yang mengorbit bintang tersebut mampu bertahan. "Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa bintang katai merah dengan periode rotasi yang lebih lama sekitar satu sampai beberapa bulan akan memiliki medan magnet yang lebih kuat dan mampu menekan magnetosfer planet dalam zona Goldilocks," ungkap  Dr Aline Vidotto. Hal ini harus kita pertimbangkan dalam pencarian planet layak huni sebab ternyata mencari planet mirip Bumi lebih sulit dari yang kita duga sebelumnya. (PHS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Saturday, July 6, 2013

Galaksi PGC 9074 dan PGC 9071, Dua Galaksi Kembar yang Bersiap Menjadi Satu

Galaksi PGC 9074 (kiri) dan galaksi PGC 9071 (kanan). Image credit: ESA, Hubble, NASA
Di konstelasi Triangulum (Segitiga) ada sepasang galaksi yang bisa dikatakan sebagai galaksi kembar karena keduanya sangat mirip yaitu galaksi PGC 9074 dan galaksi PGC 9071. Keduanya secara pelan tapi pasti saling mempengaruhi dalam hal gravitasi meskipun belum ada tanda-tandanya secara signifikan. Namun astronom meyakini bahwa ini merupakan awal dari interaksi garvitasi diantaranya keduanya.

Dua galaksi tersebut merupakan galaksi spiral yang memiliki bentuk berbeda. Di sebalah kiri gambar terlihat galaksi PGC 9074 dengan fitur cerah dan dua lengan spiral di sekitar inti. Di sebelah kanan tampak galaksi PGC 9071 tampak lebih langsing dengan debu yang lebih sedikit.

Debu yang ada pada lengan kedua galaksi menutupi cahaya dari bintang-bintang muda yang baru lahir yang sinarnya tampak berwarna biru. Dan bintang yang telah berumur terlihat berada di dekat pusat galaksi berwarna kekuningan. Ada fitur halo redup di bagian luar galaksi yang berasal dari cahaya bintang tua dari galaksi.

Secara bertahap kedua galaksi akan saling tarik menarik satu sama lain dan akibatnya proses pembentukkan bintang akan meningkat dan akhirnya setelah ratusan juta tahun ke depan, kedua galaksi itu akan bergabung menjadi satu galaksi yang lebih besar. (PHS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Supernova 1987A, Supernova Dingin Penghasil Debu Antariksa

Foto Supernova 1987A yang diambil oleh teleskop Hubble. Image credit: NASA
Dengan menggunakan teleskop Herschel, astronom megamati sisa-sisa ledakan supernova 1987A dan hasilnya mereka menemukan bahwa di sana banyak terdapat molekul gas dan debu dengan suhu yang sangat dingin. Hal ini akan dapat menjelaskan mengapa luar angkasa penuh dengan debu dan molekul gas. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Mikako Matsuura dalam pertemuan astronomi nasional di St Andrews Jum'at 5 Juli 2013 lalu.

Diketahui bahwa pada tahun 1987, sebuah bintang masif di galaksi Large Magellanic Cloud yang berjarak 170 ribu tahun cahaya dari Bumi meledak dan menimbulkan ledakan Supernova dahsyat. Energi  yang dipancarkan oleh supernova itu diyakini sebesar seribu juta kali lebih besar dari energi yang dikeluarkan oleh Matahari kita selama satu tahun. Setelah 25 tahun berselang, astronom mengamatinya dengan teleskop Herschel dan teleskop ALMA. Mereka menemukan banyak sekali molekul dingin dan debu.
Foto komposit dari Supernova 1987A yang diambil oleh teleskop ALMA. Warna merah menandakan bahwa di sana banyak terdapat molekul gas. Image credit: Kamenetzky et al, Astrophysical Journal Letters
"Ledakan supernova kuat pada 1987 membentuk plasma yang sangat panas. Kemudian gas menjadi dingin hingga mencapai suhu -250 sampai -170 derajat Celcius. Itu sangat dingin seperti es dipermukaan Pluto. Gas itu kemudian berubah menjadi molekul dan beberapa diantaranya bahkan berubah menjadi butiran debu yang padat. Supernova kini telah menjadi dingin seperti freezer," ungkap Dr. Matsuura.

Hasil pengamatan dengan teleskop Herschel menyimpulkan bahwa supernova tersebut menghasilkan debu dan bahan padat yang setara dengan 250.000 kali massa Bumi atau tiga perempat massa Matahari kita. Sebagian besar debu kemudian tersebar dan kembali membentuk bintang dan planet.

Kami sangat terkejut dengan molekul gas dan debu dalam jumlah yang sangat banyak yang dihasilkan oleh Supernova 1987A. Selain itu supernova tersebut juga menghasilkan molekul karbon monoksida yang setara dengan sepersepuluh dari massa Matahari. (PHS, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, June 28, 2013

Astronom Berhasil Temukan Tiga Planet Mirip Bumi di Sekitar Bintang Gliese 667C

Ilustrasi keadaan di salah satu planet yang mengorbit bintang Gliese 667C yakni Gliese 667Cd. Tampak juga 2 bintang lainnya yang terlihat lebih redup. Klik gambar untuk memperbesar Image credit: ESO/M. Kornmesser
Astronom berhasil menemukan 3 planet mirip Bumi yang berada pada satu sistem tata surya. Ketiga planet tersebut menginduk sebuah bintang bernama Gliese 667C yang memiliki massa sepertiga dari massa Matahari kita. Bintang Gliese 667C sendiri sebenarnya merupakan bagian dari sistem tiga bintang (triple star system) yang disebut Gliese 667 (GJ 667). Bintang Gliese 667C berjarak 22 tahun cahaya dari Bumi yakni di konstelasi Scorpio (The Scorpion).

Pada pengamatan sebelumnya, astronom mengungkapkan bahwa bintang tersebut memiliki 3 planet (eso0930) dengan salah satu diantaranya berada pada zona layak huni. Namun hasil pengamatan terbaru yang dilakukan oleh astronom Guillem Anglada-Escude dari University of Gottingen dan Mikko Tuomi dari University of Hertfordshire berhasil menemukan hal baru.

Dari data yang diperoleh dari instrumen HARPS, Very Large Telescope (VLT), WM Keck Observatory dan teleskop Magellan, mereka menemukan ada 7 planet yang mengorbit bintang Gliese 667C.

Jika diilustrasikan, maka salah satu planet diantaranya akan memiliki 3 matahari dengan satu matahari terang dan dua lainnya redup. 2 bintang redup itu akan nampak seperti 2 bulan jika malam hari. Uniknya 3 planet tersebut berada pada zona layak huni.

"Kami tahu bahwa ada 3 planet yang berada pada zona layak huni di sekitar bintang itu, dan kami ingin tahu apakah masih ada lagi," ungkap Mikko Tuomi. 3 planet yang ditemukan itu disebut sebagai Super Earth sebab ukurannya yang lebih besar dari Bumi dan berada pada zona layak huni. Sangat dimungkinkan air dalam wujud cair bisa berada di permukaannya. "Jumlah planet layak huni di galaksi kita jauh lebih banyak dapat ditemukan pada bintang dengan massa yang rendah," kata Rory Barnes dari University of Washington.

Sistem tata surya seperti tata surya kita banyak ditemukan di galaksi Bima Sakti, namun rata-rata tidak memungkinkan untuk ditinggali karena kondisinya yang terlalu panas. Bintang redup bermassa rendah seperti Gliese 667C sangat cocok untuk menjadi induk dari planet mirip Bumi. Jarak antara bintang Gliese dengan planet Super Earthnya lebih kurang seperti jarak Merkurius dengan bintangnya. Bedanya bintang Gliese 667C tidak sepanas Matahari kita. Siapa tahu dimasa yang akan datang planet-planet tersebut bisa menjadi pengganti Bumi kita yang sudah tua ini. (SP, Adi Spautro/ www.astronomi.us)

 


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto