Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Friday, March 9, 2012

Suhu Permukaan Pluto Capai Minus 220C

Ilustrasi permukaan planet Pluto. Image credit: erabaru.net
Kesan artisktik berdasarkan data Observatorium Eropa Selatan menunjukkan bagaimana cerahnya hari di Planet Pluto.

Pluto berada sekitar 40 kali lebih jauh dari matahari dibandingkan dengan Bumi.

Dari Planet Pluto, matahari terlihat 1000 kali lebih redup dibandingkan penampakannya dari Bumi. Permukaan planet kurcaci ini dilapisi kulit metana beku dengan atmosfir berkabut gas metana.

Pluto yang memiliki ukuran seperlima Bumi, komposisinya terdiri dari bebatuan dan es.

Suhu di permukaan Pluto sekitar -220C. Namun menurut pengukuran yang dilakukan oleh Observatorium Eropa Selatan, atmosfir planet ini jauh lebih hangat.

“Dengan banyaknya kandunagn metana di atmosfir, menjadi jelas mengapa atmosfir Pluto begitu hangat,” ujar Emmanuel Lellouch, penulis utama laporan hasil riset ini. Atmosfir Pluto sekitar 50 derajat lebih hangat dibandingkan dengan permukaannya.

"Hal ini menarik untuk dipikirkan karena dengan CRIRES kita dapat secara tepat mengukur jejak gas pada objek yang besarnya lima kali lebih kecil dari planet kita ini," ujar rekan penulis Hans-Ulrich Käufl.

"Kombinasi CRIRES dan VLT hampir mirip dengan satelit penelitian atmosfer yang mengorbit Pluto." (erabaru.net, astronomi.us)

Ilmuwan: Dahulu Ada Kehidupan di Planet Ini

GJ 1214b, planet yang memiliki atmosfir serupa Bumi. Image credit: NASA
Uap air dalam jumlah besar terdeteksi dari sebuah planet super-Earth berjarak 40 tahun cahaya. Planet bernama GJ1214b itu diduga pernah ditutupi air. Pernah ada kehidupan di planet ini?

Ilmuwan menduga, planet ini pernah masuk dalam kategori Goldilocks Zone atau Zona Habitat. Tapi, planet ini kemudian bergerak terlalu dekat dengan bintang dalam tata suryanya sehingga air pun menguap.

Artinya pula, bisa jadi ada kehidupan asing alias alien di planet ini, jutaan tahun lalu.

Para astronom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA) Amerika menggunakan Teleskop Hubble untuk menyelidiki planet yang ditemukan tahun 2009 ini. Hasilnya, terbukti planet ini mengandung air dan dilapisi atmosfer beruap.

"GJ1214b tidak seperti planet yang kita kenal selama ini," kata astronom Zachory Berta. Menurut dia, beberapa bagian besar dari massa planet ini terdiri dari air.

Para teoritis menduga GJ1214b terbentuk saat jauh dari bintang di mana planet mengandung es yang banyak. Lalu, planet ini 'bermigrasi'. Dalam proses perpindahan ini, planet diduga pernah masuk dalam zona habitat. Untuk berapa lama planet ini berada di zona pas untuk habitat dan makhluk hidup, para astronom tak bisa menjawab.

Dua tahun lalu, CfA menemukan planet GJ1214b yang berukuran 2,7 kali bumi. Dia mengorbit pada bintang kerdil berwarna merah bernama Ophiuchus setiap 38 jam sekali pada jarak 1,3 juta kilometer (km)--70 kali jarak Bumi dengan Matahari. Suhu di Planet ini diperkirakan mencapai 232 derajat Celcius.

Astronom Heather Couper menilai temuan ini penting dalam mencari tanda-tanda kehidupan di luar Bumi. "Ada bukti bahwa ada air di sana. Ini menunjukkan air bisa jadi material umum di alam semesta," kata dia seperti dikutip dari Dailymail.

Thursday, March 8, 2012

Astronom Temukan 11 Tata Surya Baru

Ilustrasi tata surya dan planet hasil temuan terbaru Kepler. Image credit: NASA
Sejumlah 11 tata surya baru yang memiliki jumlah total 26 planet ditemukan. Penemuan dideskripsikan di empat karya tulis berbeda di Astrophysical Journal dan Monthly Notice of the Royal Astronomical Society bulan ini.

Penemuan bisa dilakukan berkat jasa wahana antariksa Kepler. Dengan penemuan ini, Kepler telah mengonfirmasi 61 planet dan menemukan 2.300 kandidat planet. Penemuan sekaligus menegaskan bahwa Bimasakti dipadati tata surya dan planet.

Tata surya yang berhasil ditemukan disebut Kepler 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 33. Tiap-tiap tata surya punya dua sampai lima planet. Jarak planet dengan bintang di tiap tata surya relatif dekat dengan waktu orbit berkisar dari 6-143 hari.

Lima tata surya (Kepler 25, 27, 30, 31, dan 33) punya dua planet. Satu kali revolusi planet terluar sama dengan dua kali revolusi planet terdalam. Empat tata surya lain (Kepler 23, 24, 28, 32) punya dua planet. Planet terluar mengorbit bintang dengan waktu tiga kali lebih lama dari planet terdalam.

Tata surya yang memiliki planet terbanyak adalah Kepler 33. Bintang pada tata surya ini lebih tua dan masif dibandingkan Matahari serta memiliki planet yang jarak orbitnya relatif dekat.

Ukuran planet yang terdapat di 11 tata surya tersebut bervariasi, antara seukuran Bumi hingga lebih besar dari Jupiter. Namun, masih harus diteliti lagi apakah planet tersebut merupakan planet batuan seperti Bumi dan memiliki atmosfer.

Tata surya dan planet ditemukan dengan metode planet transit, yakni melihat kedipan cahaya bintang akibat adanya planet yang lewat di mukanya. Verifikasi planet dilakukan dengan teknik variasi waktu transit.

Sejumlah peneliti yang terlibat penemuan ini adalah Eric Ford dari Universitas Florida, Dan Fabrycky dari Universitas California, Jason Steffen dari Fermilab Center for Particle Astrophysics, dan Jack Lissauer dari NASA.(kompas.com, astronomi.us)

Video: Fakta Paling Aneh Tentang Alam Semesta

Dalam sebuah wawancara yang digelar oleh majalah TIME pada tahun 2008, astrofisika Neil deGrasse Tyson ditanya tentang "Apakah fakta yang paling mengherankan" tentang alam semesta?. Ternyata ia dan teman-teman ilmuwan lainnya memberikan jawaban yang sama. Untuk mengetahuinya silahkan melihat video berikut:

Tuesday, March 6, 2012

Mengapa Bayangan di Bulan Menjadi Sangat Gelap?

Sisi gelap dan terang pada Bulan. Image credit: NASA/GSFC/Arizona State University
Tampak pada gambar di atas sebuah batu tergradasi antara gelap dan terang akibat bayangan sinar matahari, tapi mengapa bayangan di Bulan tampak begitu gelap?

Di Bumi, udara menyebarkan cahaya dan memungkinkan objek yang tidak terkena sinar matahari langsung menjadi masih cukup terang. Ini adalah efek yang disebut hamburan Rayleigh atau Rayleigh scattering, nama diambil dari pemenang Nobel fisika asal Inggris Lord Rayleigh (John William Strutt.) Hamburan Rayleigh adalah alasan mengapa langit berwarna biru, dan (sebagian besar) mengapa kita masih dapat membaca majalah dengan baik saat berada di bawah payung di tepi pantai.

Di Bulan tidak ada udara, tidak ada hamburan Rayleigh. Jadi bayangan yang ada menjadi sangat gelap dan di sisi lain daerah yang terkena sinar matahari menjadi sangat cerah. Daerah gelap secara dramatis keruh, seperti pada gambar LROC atas, namun masih ada beberapa cahaya memantul sekitarnya, ini adalah karena cahaya tersebut dipantulkan dari permukaan bulan itu sendiri.

Astronot di Bulan pada misi Apollo.
Image credit: NASA/Apollo Image Archive
Bulan terdiri dari materi halus, partikel debu yang sangat reflektif. Hal ini cenderung untuk memantulkan cahaya langsung kembali pada sumbernya, dan akan menerangi obyek dalam bayangan, seperti yang terlihat dalam foto-foto misi Apollo. Astronot dalam bayangan dari modul pendaratan masih terlihat, dan pakaian mereka terlihat dengan baik sebab diterangi oleh cahaya yang dipantulkan dari permukaan bulan. Beberapa orang telah menggunakan ini sebagai "bukti" bahwa pendaratan di Bulan sebenarnya difilmkan di panggung suara di bawah lampu buatan, namun pada kenyataannya itu semua karena cahaya yang dipantulkan.

Jadi meskipun udara tidak menghamburan sinar matahari di Bulan, masih ada refleksi cahaya yang cukup untuk menyelinap ke dalam bayangan, tapi tidak banyak. (Adi Saputro/astronomi.us) 

Monday, March 5, 2012

Bulan Planet Saturnus Juga Memiliki Cincin

Bulan milik Saturnus Anthe (atas) dan Methone (bawah)
yang dikelilingi cincin parsial berbentuk
seperti busur panah. Image Credit: NASA
Cincin ternyata tak hanya menghiasi Planet Saturnus saja. Foto-foto terakhir yang dikirimkan wahana ruang angkasa Cassini menunjukkan bahwa cincin parsial juga mengelilingi bulan-bulannya.

Cassini mendeteksi cincin pertama di salah satu bulan yang bernama Anthe. Cincin kedua juga terekam di bulan lainnya bernama Methone. Kedua objek termasuk bulan Saturnus yang berukuran kecil.

Tidak seperti cinin planet Saturnus yang halus, lebar, dan membentuk lingkaran penuh, cincin parsial kasar, renggang, dan hanya membentuk lengkungan seperti busur panah. Cincin parsial tersusun dari serpihan-serpihan batu meteor yang mungkin menabrak permukaan bulan tersebut.

Nick Cooper, salah satu ilmuwan dari Universitas Queen Mary London yang terlibat dalam tim pengolah citra Cassini yakin cincin parsial terbentuk karena pengaruh gravitasi objek lainnya di sekitar kedua bulan tersebut. Sebab, Anthe dan Methone berada dekat Mimas, bulan lainnya yang ukurannya lebih besar.

Ia mengatakan, foto-foto tersebut mmberikan informasi baru. Informasi tersebut akan membantu mengungkap interaksi antara bulan-bulan Saturnus dan cincinnya.(kompas.com, astronomi.us)

Bulan Saturnus, Dione Miliki Oksigen

Dione muncul di balik bulan Saturnus lain, Titan. Image credit: NASA
Wahana antariksa Cassini mendeteksi keberadaan oksigen di atmosfer Dione, salah satu bulan milik planet Saturnus. Oksigen itu hanya terdapat dalam jumlah sedikit di lapisan atmosfer yang juga tipis. Hanya ada 1 ion oksigen di setiap 11 centimeter kubik atmosfer, mirip seperti kondisi atmosfer Bumi pada ketinggian 480 km.

Ada 2 kemungkinan pembentukan oksigen di Dione. Pertama, foton cahaya Matahari menumbuk es di permukaan Dione, membebaskan ion oksigen ke atmosfer. Kedua, oksigen muncul dari aktivitas geologi Dione.

Meskipun bulan ini memiliki oksigen, lingkungannya tak bisa diharapkan untuk mendukung kehidupan. Astronom mengungkapkan, kerapatan atmosfer Dione 5 triliun kali lebih kecil dari dari lapisan atmosfer di dekat permukaan Bumi. Selain itu, tak ada indikasi Dione memiliki air dalam bentuk cair.

Robert Tokar dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, pimpinan penelitian ini, mengatakan bahwa hal terpenting dalam penemuan ini bukan bisa tidaknya Dione mendukung kehidupan.

"Penemuan ini membuktikan bahwa oksigen sebenarnya umum di sistem Saturnus dan menunjukkan bahwa oksigen bisa muncul lewat proses yang tidak melibatkan makhluk hidup," kata Tokar seperti dikutip Space, Jumat (2/2/2012).

Jika Dione tidak bisa mendukung kehidupan karena kondisi atmosfer dan ketiadaan air dalam bentuk cair, maka pasti ada bulan lain di saturnus yang bisa. Astronom bisa melakukan penelitian lebih lanjut di sistem Saturnus.

Penemuan oksigen di Dione dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters bulan ini.

Dione adalah bulan Saturnus dengan lebar 1123 km, mengorbit Saturnus dari jarak 377.400 km dengan periode 2,7 hari.

Sejauh ini, bulan Saturnus yang dianggap paling mendukung kehidupan adalah Titan. Sementara, sebelumnya oksigen juga pernah ditemukan di bulan Saturnus lain, Rhea.(kompas.com, astronomi.us)

Ilmuwan: Letusan Gunung Berapi Bulan Bisa Dilihat dari Bumi

Bulan membara. Image credit: gawkerassets.com
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Geosciences, di masa depan, manusia akan menikmati pemandangan indah, yakni letusan gunung berapi di Bulan yang terlihat dari Bumi.

Menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh seismometer yang dipasang di Bulan saat misi Apollo digelar, diketahui bahwa sekitar 30 persen lapisan yang mengelilingi inti Bulan yang terbuat dari logam merupakan zat cair.

Menurut Renee Weber, peneliti dari Marshall Space Flight Center NASA yang mengetuai studi pemetaan dan pemodelan Bulan, lava cair itu berada di kedalaman 1200 sampai 1350 kilometer di bawah permukaan Bulan.

Lalu, mengapa tidak ada gunung berapi aktif di sana?

Dikutip dari Gizmodo, 21 Februari 2012, permukaan Bulan sama seperti planet mati. Letusan gunung berapi terakhir yang terjadi di Bulan terjadi beberapa miliar tahun yang lalu.

Untuk mengetahui apakah akan ada letusan gunung berapi di bulan, sekelompok peneliti yang diketuai Mirjam van Kan Parker dan Wim van Westernen dari VU University, Amsterdam coba mencari jawabannya.

Berhubung manusia tidak bisa mengakses lava yang ada di Bulan, peneliti menggunakan sampel bebatuan seberat 350 kilogram yang dibawa oleh Apollo dari Bulan. Mereka kemudian menempatkan batu itu di kondisi serupa dengan perut Bulan. Yakni dengan tekanan lebih dari 45.000 bar serta temperatur sekitar 1.500 derajat Celsius.

Setelah menciptakan lava buatan, mereka kemudian menganalisa dan membuat simulasi komputer. Ternyata, diketahui bahwa magma Bulan kaya dengan titanium.

Artinya, lava cair itu terlalu berat untuk dapat mengalir ke permukaan Bulan. Padahal, agar lava bisa meletup di permukaan Bulan, ia perlu lebih ringan.

“Setelah magma terbentuk, mereka terakumulasi di lapisan bawah Bulan. Kira-kira seperti gunung berapi namun terbalik. Saat ini, Bulan sedang berada dalam fase pendinginan, demikian pula dengan bagian dalamnya,” kata Westrenen. “Ini menjawab pertanyaan mengapa tidak ada gunung berapi di Bulan,” ucapnya.

Tetapi, bagaimana dengan di masa depan?

Di masa depan, lava yang lebih dingin itu akan berubah komposisinya. Kemungkinan, ia akan menjadi tidak terlalu padat dibandingkan dengan zat-zat yang ada di sekelilingnya. “Magma yang lebih ringan ini dapat dengan mudah bergerak ke permukaan dan membentuk gunung berapi di Bulan,” kata Westrenen. “Itu akan menjadi pemandangan yang sangat indah,” ucapnya.

Sayangnya, tidak satupun dari kita yang hidup saat ini bisa melihat fenomena letusan gunung berapi di Bulan. Pasalnya, proses tersebut akan membutuhkan waktu jutaan tahun. (vivanews.com, astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto