Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Saturday, October 1, 2011

Pengertian Rasi Bintang, Gugus Bintang, dan Konstelasi

Rasi bintang Orion. Credit: wikipedia.org
Suatu rasi bintang, gugus bintang atau konstelasi adalah sekelompok bintang yang tampak berhubungan membentuk suatu konfigurasi khusus. Dalam ruang tiga dimensi, kebanyakan bintang yang kita amati tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, tetapi dapat terlihat seperti berkelompok pada bola langit malam. Manusia memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mengenali pola dan sepanjang sejarah telah mengelompokkan bintang-bintang yang tampak berdekatan menjadi rasi-rasi bintang. Susunan rasi bintang yang tidak resmi, yaitu yang dikenal luas oleh masyarakat tapi tidak diakui oleh para ahli astronomi atau Himpunan Astronomi Internasional, juga disebut asterisma. Bintang-bintang pada rasi bintang atau asterisma jarang yang mempunyai hubungan astrofisika; mereka hanya kebetulan saja tampak berdekatan di langit yang tampak dari Bumi dan biasanya terpisah sangat jauh.

Pengelompokan bintang-bintang menjadi rasi bintang sebenarnya cukup acak, dan kebudayaan yang berbeda akan memiliki rasi bintang yang berbeda pula, sekalipun beberapa yang sangat mudah dikenali biasanya seringkali ditemukan, misalnya Orion atau Scorpius.

Himpunan Astronomi Internasional telah membagi langit menjadi 88 rasi bintang resmi dengan batas-batas yang jelas, sehingga setiap arah hanya dimiliki oleh satu rasi bintang saja. Pada belahan bumi (hemisfer) utara, kebanyakan rasi bintangnya didasarkan pada tradisi Yunani, yang diwariskan melalui Abad Pertengahan, dan mengandung simbol-simbol Zodiak.

Beragam pola-pola lainnya yang tidak resmi telah ada bersama-sama dengan rasi bintang dan disebut asterisma, seperti Bajak (juga dikenal di Amerika Serikat sebagai Big Dipper) dan Little Dipper.

Macam-macam rasi bintang tersebut adalah sebagai berikut:

Constellation
Genitive
Abbr.
Area
(square
degs.)
Area
of sky
(%)
Order
of
size
Visibility range
(full)*
Visibility range
(partial)*
Number
of stars
≤ 6.5*
Origin*
Andromeda
Andromedae
And
722.3
1.751
19
90°N – 37°S
37°S – 68°S
152
1
Antlia
Antliae
Ant
238.9
0.579
62
49°N – 90°S
49°N – 65°N
42
6
Apus
Apodis
Aps
206.3
0.500
67
7°N – 90°S
7°N – 22°N
39
3
Aquarius
Aquarii
Aqr
979.9
2.375
10
65°N – 86°S
90°N – 65°N
172
1
Aquila
Aquilae
Aql
652.5
1.582
22
78°N – 71°S
90°N – 78°N,
71°S – 90°S
124
1
Ara
Arae
Ara
237.1
0.575
63
22°N – 90°S
44°N – 22°N
71
1
Aries
Arietis
Ari
441.4
1.070
39
90°N – 58°S
58°S – 79°S
86
1
Auriga
Aurigae
Aur
657.4
1.594
21
90°N – 34°S
34°S – 62°S
152
1
Boötes
Boötis
Boo
906.8
2.198
13
90°N – 35°S
35°S – 82°S
144
1
Caelum
Caeli
Cae
124.9
0.303
81
41°N – 90°S
62°N – 41°N
20
6
Camelopardalis
Camelopardalis
Cam
756.8
1.835
18
90°N – 3°S
3°S – 37°S
152
4
Cancer
Cancri
Cnc
505.9
1.226
31
90°N – 57°S
57°S – 83°S
104
1
Canes Venatici
Canum Venaticorum
CVn
465.2
1.128
38
90°N – 37°S
37°S – 62°S
59
5
Canis Major
Canis Majoris
CMa
380.1
0.921
43
56°N – 90°S
78°N – 56°N
147
1
Canis Minor
Canis Minoris
CMi
183.4
0.444
71
89°N – 77°S
77°S – 90°S
47
1
Capricornus
Capricorni
Cap
413.9
1.003
40
62°N – 90°S
78°N – 62°N
81
1
Carina
Carinae
Car
494.2
1.198
34
14°N – 90°S
39°N – 14°N
225
7
Cassiopeia
Cassiopeiae
Cas
598.4
1.451
25
90°N – 12°S
12°S – 43°S
157
1
Centaurus
Centauri
Cen
1060.4
2.571
9
25°N – 90°S
59°N – 25°N
281
1
Cepheus
Cephei
Cep
587.8
1.425
27
90°N – 1°S
1°S – 36°S
152
1
Cetus
Ceti
Cet
1231.4
2.985
4
65°N – 79°S
90°N – 65°N,
79°S – 90°S
189
1
Chamaeleon
Chamaeleontis
Cha
131.6
0.319
79
7°N – 90°S
14°N – 7°N
31
3
Circinus
Circini
Cir
93.4
0.226
85
19°N – 90°S
34°N – 19°N
39
6
Columba
Columbae
Col
270.2
0.655
54
46°N – 90°S
62°N – 46°N
68
4
Coma Berenices
Comae Berenices
Com
386.5
0.937
42
90°N – 56°S
56°S – 77°S
66
2
Corona Australis
Coronae Australis
CrA
127.7
0.310
80
44°N – 90°S
53°N – 44°N
46
1
Corona Borealis
Coronae Borealis
CrB
178.7
0.433
73
90°N – 50°S
50°S – 64°S
37
1
Corvus
Corvi
Crv
183.8
0.446
70
65°N – 90°S
78°N – 65°N
29
1
Crater
Crateris
Crt
282.4
0.685
53
65°N – 90°S
83°N – 65°N
33
1
Crux
Crucis
Cru
68.4
0.166
88
25°N – 90°S
34°N – 25°N
49
4
Cygnus
Cygni
Cyg
804.0
1.949
16
90°N – 28°S
28°S – 62°S
262
1
Delphinus
Delphini
Del
188.5
0.457
69
90°N – 69°S
69°S – 87°S
44
1
Dorado
Doradus
Dor
179.2
0.434
72
90°S – 20°N
41°N – 20°N
29
3
Draco
Draconis
Dra
1083.0
2.625
8
90°N – 4°S
4°S – 42°S
211
1
Equuleus
Equulei
Equ
71.6
0.174
87
90°N – 77°S
77°S – 87°S
16
1
Eridanus
Eridani
Eri
1137.9
2.758
6
32°N – 89°S
90°N – 32°N
194
1
Fornax
Fornacis
For
397.5
0.964
41
50°N – 90°S
66°N – 50°N
59
6
Gemini
Geminorum
Gem
513.8
1.245
30
90°N – 55°S
55°S – 80°S
119
1
Grus
Gruis
Gru
365.5
0.886
45
33°N – 90°S
53°N – 33°N
55
3
Hercules
Herculis
Her
1225.1
2.970
5
90°N – 38°S
38°S – 86°S
245
1
Horologium
Horologii
Hor
248.9
0.603
58
23°N – 90°S
50°N – 23°N
30
6
Hydra
Hydrae
Hya
1302.8
3.158
1
54°N – 83°S
90°N – 54°N
238
1
Hydrus
Hydri
Hyi
243.0
0.589
61
8°N – 90°S
32°N – 8°N
33
3
Indus
Indi
Ind
294.0
0.713
49
15°N – 90°S
43°N – 15°N
42
3

(Sumber: wikipedia.org, ianridpath.com)

Mengenal Astrolab, Instrumen Astronomi Pada Era Klasik

Astrolab pada abad ke-16. Credit: wikipedia.org
Astrolab adalah instrumen astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh astronom, navigator, dan astrolog pada era klasik. Astrolab banyak digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang; menentukan waktu lokal dengan diketahui letak bujur dan letak lintang; survei; serta triangulasi.

Pada era Islam abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, salat, serta menentukan arah kiblat. Astrolog dari Eropa menggunakan astrolab untuk horoskop. (Sumber: wikipedia.org)

Astrometri, Cabang Astronomi yang Mempelajari Posisi dan Pergerakan Bintang


Bintang. Credit: science.nationalgeographic.com


Astrometri adalah cabang dari astronomi yang memusatkan perhatian pada posisi bintang dan benda langit lainnya, jarak dan pergerakan mereka. Sebagian astrometri melibatkan pembuatan tangga jarak kosmik.

Astrometri adalah salah satu sub-bidang ilmu yang paling tua, kembali ke zaman Hipparchus, yang menyusun katalog bintang yang pertama. Hipparchus juga menciptakan skala kecerahan yang masih dipergunakan sampai sekarang. Astrometri modern dirintis oleh Friedrich Bessel dengan 'Fundamenta astronomiae'nya, yang menghitung posisi rata-rata sebanyak 3222 bintang yang diteliti antara 1750 dan 1762 oleh James Bradley.

Selain fungsi pokok menyediakan astronom dengan bingkai referensi untuk melaporkan pengamatan mereka, astrometri juga penting bagi bidang seperti mekanika langit, dinamika bintang dan astronomi galaksi. Astrometri juga merupakan alat mendasar dalam menentukan waktu, yaitu bahwa UTC, yang pada dasarnya adalah waktu atomik, disinkronkan dengan rotasi Bumi yang ditentukan dari pengamatan yang sangat teliti.

Perkembangan-perkembangan dalam astrometri :
  • Sundial efektif dalam mengukur waktu.
  • Astrolabe diciptakan untuk mengukur sudut di langit.
  • Penerapan Astrometri menyebabkan berkembangnya ilmu geometri bola.
  • Pengukuran secara teliti dari gerakan planet oleh Tycho Brahe membuktikan asas Copernican, bahwa Bumi mengelilingi Matahari.
  • Sextant secara dramatis memperbaiki pengukuran sudut-sudut di langit.
Astronom mulai meningkatkan ketepatan setting lingkaran di teleskop mereka, yang mengizinkan mereka untuk melakukan metode paralaks secara lebih teliti lagi dalam menentukan jarak ke bintang dekat. Ini adalah astrometri tradisional.

Hal lainnya adalah penggunaan bintang variabel Cepheid untuk mengukur jarak ke galaksi lain. Dengan mengukur variabilitas kecemerlangan Cepheids di galaksi, Edwin Hubble dapat menentukan jarak mereka.

Hubble memakai Cepheid untuk mengetahui dan menyesuaikan jarak dengan pergeseran merah yang diperlihatkan oleh galaksi-galaksi jauh.

Dari 1989 sampai 1993, Badan Antariksa Eropa (ESA) menggunakan satelit Hipparcos dalam melakukan pengukuran astrometrik yang menghasilkan katalog posisi lebih dari satu juta bintang hingga ketepatan 20-30 milidetik busur. (Sumber: wikipedia.org)

Roket Bekas Mampu Bantu Kolonisasi Mars

Roket Falcon 9 buatan SpaceX. Credit: regmedia.co.uk
Washington - Sebuah agensi luar angkasa swasta asal Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa roket bekas mungkin bisa membantu manusia untuk mengkolonisasi planet Mars.

Seperti yang dikutip dari AFP, Sabtu (1/10/2011), perusahaan agnesi luar angkasa swasta bernama SpaceX, sedang membangun sebuah roket yang dapat digunakan kembali (re-usable), untuk peluncuran dan kembali ke Bumi.

"Roket jenis ini diharapkan suatu saat nanti bisa membantu manusia mengkolonisasi planet Mars," ujar Elon Musk, pendiri dari SpaceX.

Roket tersebut nantinya merupakan versi re-usable dari roket Falcon 9, yang tahun lalu digunakan oleh SpaceX untuk menaruh kapsul angkasa mereka di orbit rendah Bumi, pada rangkaian misi tahun lalu.

Pendiri SpaceX tersebut mengatakan bahwa dengan membangun sebuah roket yang re-usable akan dapat menghemat uang jutaan dollar, juga memperbesar kemungkinan manusia untuk mendiami planet Mars.

"Sebuah sistem re-usable rocket sangat dibutuhkan, yang bisa dipakai pulang pergi. Hal tersebut bisa memperbesar kemungkinan manusia untuk mengkolonisasi planet Mars," pungkas Musk. (Sumber: okezone.com)

VIDEO: Tes Mesin Roket J-2X NASA

Tes mesin roket J-2X di NASA's John C. Stennis Space Center. Credit: NASA
NASA melakukan uji coba mesin roket J-2X selama 40 detik pada 28 September 2011 lalu. Tes ini merupakan yang pertama dari serangkaian tes yang akan dilakukan guna memastikan kehandalan dari roket yang akan digunakan sebagai bagian dari Launch System Architecture yang akan membawa manusia terbang lebih jauh ke luar angkasa.

Dikutip dari spacedaily.com, Sabtu (01/10/2011), tes ini dilakukan pada tingkat daya 99 persen untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, mulai dari roket itu menyala sampai sistem shutdown harus berjalan sesuai dengan rencana, pada tes ini mesin roket telah mengalami modifikasi setelah beberapa minggu yang lalu menjalani tes penyalaan (firing).

Tes di NASA's John C. Stennis Space Center di selatan Mississippi tersebut berlangsung setelah dua minggu lembaga itu mengumumkan rencana untuk membuat SLS (Space Launch System) baru yang akan didukung oleh mesin roket J-2X.

Bahan bakar Hidrogen cair / oksigen cair untuk J-2X saat ini sedang dikembangkan oleh Pratt and Whitney Rockerdyne.

Berikut ini videonya:

(Adi Saputro/Astronomi.us)

Ekstrimnya Efek Angin Surya di Planet Merkurius

Gambar planet Merkurius diambil oleh pesawat MESSENGER pada 2008. Credit: NASA
Mengacu pada data dari Fast Imaging Plasma Spectometer (FIPS) pada pesawat luar angkasa MESSENGER, angin surya dari Matahari membakar dan meledakkan partikel di permukaan kutub planet Merkurius.

Temuan yang didasarkan pada makalah dari misi MESSENGER yang dipublikasikan pada 30 September pada edisi Sciense, cara partikel sodium dan oksigen bermuatan di Merkurius, mirip pada Aurora Borealis di Bumi. Bagaimana universitas Michigan meneliti dan mendeteksi fenomena ini?

Dengan menggunakan FIPS, ilmuwan di universitas Michigan melakukan pengukuran pada eksosfer dan magnetosfer Merkurius. Data yang dikumpulkan kemudian dikembangkan oleh peneliti dengan pengertian dan interaksi yang lebih baik diantara Matahari dan Merkurius. Data FIPS juga juga menegaskan teori tentang komposisi dan sumber partikel dalam lingkungan ruang Merkurius.

"Kami sebelumnya telah mengamati natrium netral dari pengamatan tanah, tapi dari jarak dekat kami telah menemukan bahwa partikel natrium bermuatan terkonsentrasi di dekat daerah kutub Merkurius mana mereka akan dibebaskan oleh percikan ion angin matahari , efektif untuk mengetuk atom natrium dari permukaan Merkurius," kata pemimpin proyek FIPS, Thomas Zurbuchen (Universitas Michigan).
Fast Imaging Plasma Spectometer (FIPS) pada pesawat luar angkasa MESSENGER telah menemukan bahwa angin matahari di atas Merkurius mampu mledakan partikel dari permukaan di kutub planet ke atmosfer tipisnya.
Credit: Shannon Kohlitz, Media Academica, LLC

Dalam siaran pers UM, Zurbuchen menambahkan, "Kami mampu mengamati proses pembentukan ion ini, dan itu mirip dengan cara dengan terjadinya aurora yang dihasilkan di atmosfer bumi di dekat daerah kutub."

Mengingat bahwa Bumi dan Merkurius adalah planet memiliki dua medan magnet, angin surya dibelokkan di sekitarnya. Badai matahari akhir-akhir ini membuat aurora mudah terlihat, aurora yang disebabkan oleh interaksi partikel bermuatan dari Matahari dan magnetosfer Bumi yang relatif kuat. Sementara Merkurius memang memiliki magnetosfer, tapi dibandingkan dengan Bumi masih jauh lebih lemah. Mengingat magnetosfer Merkurius yang lemah dan lebih dekat dengan Matahari, efek dari angin matahari memiliki efek yang lebih dahsyat.

"Hasil penelitian kami menunjukkan kepada kita bahwa magnetosfer lemah Merkurius hanya sedikit memberikan perlindungan planet tersebut dari angin matahari (Angin surya)," kata Zurbuchen.

Jim Raines, insinyur operasional FIPS (Universitas Michigan) menambahkan, "Kami mencoba memahami bagaimana matahari, berinteraksi dengan planet. Magnetosfer bumi membuat atmosfer kita tidak hilang. Dan yang membuatnya penting untuk keberadaan kehidupan di planet kita."

Friday, September 30, 2011

Karakteristik Fisik Asteroid Vesta

Asteroid Vesta. Credit: Ben Zellner (Georgia Southern University) / Peter Thomas (Cornell University) / NASA
Vesta merupakan asteroid terbesar kedua di sabuk asteroid diantara planet Mars dan Jupiter. Asteroid ini unik karena pada permukaannya terdapat bagian yang terang dan gelap seperti di Bulan. Berdasarkan pengamatan, Vesta memiliki daerah basaltik yang berarti bahwa lava pernah mengalir di permukaannya. Asteroid Vesta tampak terang di langit malam dan terkadang bisa dilihat dengan mata telanjang. Berikut ini adalah karakteristik asteroid Vesta seperti yang dikutip dari space.com, Jum'at (30/09/2011):
  • Diameter: 530 km 
  • Mass: 2.67 x 10^20 kg 
  • Temperature: 85-255 K 
  • Albedo: 0.4322 
  • Rotation period: 5.342 hours 
  • Orbital period: 3.63 years 
  • Eccentricity: .0886 
  • Aphelion: 2.57 AU 
  • Perihelion: 2.15 AU 
  • Closest approach to Earth: 1.14 AU 
Saat Vesta berada dekat melintasi Bumi pada tahun 1996, Teleskop Hubble memetakan topografi dari permukaan asteroid dan disini terungkap kawah besar pada kutub selatan asteroid. Lubang kawah tersebut berdiameter 460 km dan yang perlu diketahui, Vesta sendiri memiliki diameter hanya 530 km. Kemungkinan kawah tersebut terbentuk tabrakan pada awal terbentuknya asteroid tersebut. Materi yang keluar dari tabrakan ini menjadi vestoid, asteroid yang mengorbit dengan galaksi asal, serta sebagian menjadi meteorit yang jatuh ke Bumi.

Tidak seperti asteroid lainnya, bagian dalam Vesta sangat berbeda. Seperti planet, asteroid mempunyai kerak dari lava yang dingin membungkus mantel dan inti besi dan nikel. Sehingga Vesta lebih mirip protoplanet daripada asteroid. Sejarah penemuan asteroid Vesta ini bisa Anda baca disini. (AdiSaputro/Astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto