Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Thursday, March 8, 2012

Astronom Temukan 11 Tata Surya Baru

Ilustrasi tata surya dan planet hasil temuan terbaru Kepler. Image credit: NASA
Sejumlah 11 tata surya baru yang memiliki jumlah total 26 planet ditemukan. Penemuan dideskripsikan di empat karya tulis berbeda di Astrophysical Journal dan Monthly Notice of the Royal Astronomical Society bulan ini.

Penemuan bisa dilakukan berkat jasa wahana antariksa Kepler. Dengan penemuan ini, Kepler telah mengonfirmasi 61 planet dan menemukan 2.300 kandidat planet. Penemuan sekaligus menegaskan bahwa Bimasakti dipadati tata surya dan planet.

Tata surya yang berhasil ditemukan disebut Kepler 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 33. Tiap-tiap tata surya punya dua sampai lima planet. Jarak planet dengan bintang di tiap tata surya relatif dekat dengan waktu orbit berkisar dari 6-143 hari.

Lima tata surya (Kepler 25, 27, 30, 31, dan 33) punya dua planet. Satu kali revolusi planet terluar sama dengan dua kali revolusi planet terdalam. Empat tata surya lain (Kepler 23, 24, 28, 32) punya dua planet. Planet terluar mengorbit bintang dengan waktu tiga kali lebih lama dari planet terdalam.

Tata surya yang memiliki planet terbanyak adalah Kepler 33. Bintang pada tata surya ini lebih tua dan masif dibandingkan Matahari serta memiliki planet yang jarak orbitnya relatif dekat.

Ukuran planet yang terdapat di 11 tata surya tersebut bervariasi, antara seukuran Bumi hingga lebih besar dari Jupiter. Namun, masih harus diteliti lagi apakah planet tersebut merupakan planet batuan seperti Bumi dan memiliki atmosfer.

Tata surya dan planet ditemukan dengan metode planet transit, yakni melihat kedipan cahaya bintang akibat adanya planet yang lewat di mukanya. Verifikasi planet dilakukan dengan teknik variasi waktu transit.

Sejumlah peneliti yang terlibat penemuan ini adalah Eric Ford dari Universitas Florida, Dan Fabrycky dari Universitas California, Jason Steffen dari Fermilab Center for Particle Astrophysics, dan Jack Lissauer dari NASA.(kompas.com, astronomi.us)

Video: Fakta Paling Aneh Tentang Alam Semesta

Dalam sebuah wawancara yang digelar oleh majalah TIME pada tahun 2008, astrofisika Neil deGrasse Tyson ditanya tentang "Apakah fakta yang paling mengherankan" tentang alam semesta?. Ternyata ia dan teman-teman ilmuwan lainnya memberikan jawaban yang sama. Untuk mengetahuinya silahkan melihat video berikut:

Tuesday, March 6, 2012

Mengapa Bayangan di Bulan Menjadi Sangat Gelap?

Sisi gelap dan terang pada Bulan. Image credit: NASA/GSFC/Arizona State University
Tampak pada gambar di atas sebuah batu tergradasi antara gelap dan terang akibat bayangan sinar matahari, tapi mengapa bayangan di Bulan tampak begitu gelap?

Di Bumi, udara menyebarkan cahaya dan memungkinkan objek yang tidak terkena sinar matahari langsung menjadi masih cukup terang. Ini adalah efek yang disebut hamburan Rayleigh atau Rayleigh scattering, nama diambil dari pemenang Nobel fisika asal Inggris Lord Rayleigh (John William Strutt.) Hamburan Rayleigh adalah alasan mengapa langit berwarna biru, dan (sebagian besar) mengapa kita masih dapat membaca majalah dengan baik saat berada di bawah payung di tepi pantai.

Di Bulan tidak ada udara, tidak ada hamburan Rayleigh. Jadi bayangan yang ada menjadi sangat gelap dan di sisi lain daerah yang terkena sinar matahari menjadi sangat cerah. Daerah gelap secara dramatis keruh, seperti pada gambar LROC atas, namun masih ada beberapa cahaya memantul sekitarnya, ini adalah karena cahaya tersebut dipantulkan dari permukaan bulan itu sendiri.

Astronot di Bulan pada misi Apollo.
Image credit: NASA/Apollo Image Archive
Bulan terdiri dari materi halus, partikel debu yang sangat reflektif. Hal ini cenderung untuk memantulkan cahaya langsung kembali pada sumbernya, dan akan menerangi obyek dalam bayangan, seperti yang terlihat dalam foto-foto misi Apollo. Astronot dalam bayangan dari modul pendaratan masih terlihat, dan pakaian mereka terlihat dengan baik sebab diterangi oleh cahaya yang dipantulkan dari permukaan bulan. Beberapa orang telah menggunakan ini sebagai "bukti" bahwa pendaratan di Bulan sebenarnya difilmkan di panggung suara di bawah lampu buatan, namun pada kenyataannya itu semua karena cahaya yang dipantulkan.

Jadi meskipun udara tidak menghamburan sinar matahari di Bulan, masih ada refleksi cahaya yang cukup untuk menyelinap ke dalam bayangan, tapi tidak banyak. (Adi Saputro/astronomi.us) 

Monday, March 5, 2012

Bulan Planet Saturnus Juga Memiliki Cincin

Bulan milik Saturnus Anthe (atas) dan Methone (bawah)
yang dikelilingi cincin parsial berbentuk
seperti busur panah. Image Credit: NASA
Cincin ternyata tak hanya menghiasi Planet Saturnus saja. Foto-foto terakhir yang dikirimkan wahana ruang angkasa Cassini menunjukkan bahwa cincin parsial juga mengelilingi bulan-bulannya.

Cassini mendeteksi cincin pertama di salah satu bulan yang bernama Anthe. Cincin kedua juga terekam di bulan lainnya bernama Methone. Kedua objek termasuk bulan Saturnus yang berukuran kecil.

Tidak seperti cinin planet Saturnus yang halus, lebar, dan membentuk lingkaran penuh, cincin parsial kasar, renggang, dan hanya membentuk lengkungan seperti busur panah. Cincin parsial tersusun dari serpihan-serpihan batu meteor yang mungkin menabrak permukaan bulan tersebut.

Nick Cooper, salah satu ilmuwan dari Universitas Queen Mary London yang terlibat dalam tim pengolah citra Cassini yakin cincin parsial terbentuk karena pengaruh gravitasi objek lainnya di sekitar kedua bulan tersebut. Sebab, Anthe dan Methone berada dekat Mimas, bulan lainnya yang ukurannya lebih besar.

Ia mengatakan, foto-foto tersebut mmberikan informasi baru. Informasi tersebut akan membantu mengungkap interaksi antara bulan-bulan Saturnus dan cincinnya.(kompas.com, astronomi.us)

Bulan Saturnus, Dione Miliki Oksigen

Dione muncul di balik bulan Saturnus lain, Titan. Image credit: NASA
Wahana antariksa Cassini mendeteksi keberadaan oksigen di atmosfer Dione, salah satu bulan milik planet Saturnus. Oksigen itu hanya terdapat dalam jumlah sedikit di lapisan atmosfer yang juga tipis. Hanya ada 1 ion oksigen di setiap 11 centimeter kubik atmosfer, mirip seperti kondisi atmosfer Bumi pada ketinggian 480 km.

Ada 2 kemungkinan pembentukan oksigen di Dione. Pertama, foton cahaya Matahari menumbuk es di permukaan Dione, membebaskan ion oksigen ke atmosfer. Kedua, oksigen muncul dari aktivitas geologi Dione.

Meskipun bulan ini memiliki oksigen, lingkungannya tak bisa diharapkan untuk mendukung kehidupan. Astronom mengungkapkan, kerapatan atmosfer Dione 5 triliun kali lebih kecil dari dari lapisan atmosfer di dekat permukaan Bumi. Selain itu, tak ada indikasi Dione memiliki air dalam bentuk cair.

Robert Tokar dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, pimpinan penelitian ini, mengatakan bahwa hal terpenting dalam penemuan ini bukan bisa tidaknya Dione mendukung kehidupan.

"Penemuan ini membuktikan bahwa oksigen sebenarnya umum di sistem Saturnus dan menunjukkan bahwa oksigen bisa muncul lewat proses yang tidak melibatkan makhluk hidup," kata Tokar seperti dikutip Space, Jumat (2/2/2012).

Jika Dione tidak bisa mendukung kehidupan karena kondisi atmosfer dan ketiadaan air dalam bentuk cair, maka pasti ada bulan lain di saturnus yang bisa. Astronom bisa melakukan penelitian lebih lanjut di sistem Saturnus.

Penemuan oksigen di Dione dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters bulan ini.

Dione adalah bulan Saturnus dengan lebar 1123 km, mengorbit Saturnus dari jarak 377.400 km dengan periode 2,7 hari.

Sejauh ini, bulan Saturnus yang dianggap paling mendukung kehidupan adalah Titan. Sementara, sebelumnya oksigen juga pernah ditemukan di bulan Saturnus lain, Rhea.(kompas.com, astronomi.us)

Ilmuwan: Letusan Gunung Berapi Bulan Bisa Dilihat dari Bumi

Bulan membara. Image credit: gawkerassets.com
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Geosciences, di masa depan, manusia akan menikmati pemandangan indah, yakni letusan gunung berapi di Bulan yang terlihat dari Bumi.

Menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh seismometer yang dipasang di Bulan saat misi Apollo digelar, diketahui bahwa sekitar 30 persen lapisan yang mengelilingi inti Bulan yang terbuat dari logam merupakan zat cair.

Menurut Renee Weber, peneliti dari Marshall Space Flight Center NASA yang mengetuai studi pemetaan dan pemodelan Bulan, lava cair itu berada di kedalaman 1200 sampai 1350 kilometer di bawah permukaan Bulan.

Lalu, mengapa tidak ada gunung berapi aktif di sana?

Dikutip dari Gizmodo, 21 Februari 2012, permukaan Bulan sama seperti planet mati. Letusan gunung berapi terakhir yang terjadi di Bulan terjadi beberapa miliar tahun yang lalu.

Untuk mengetahui apakah akan ada letusan gunung berapi di bulan, sekelompok peneliti yang diketuai Mirjam van Kan Parker dan Wim van Westernen dari VU University, Amsterdam coba mencari jawabannya.

Berhubung manusia tidak bisa mengakses lava yang ada di Bulan, peneliti menggunakan sampel bebatuan seberat 350 kilogram yang dibawa oleh Apollo dari Bulan. Mereka kemudian menempatkan batu itu di kondisi serupa dengan perut Bulan. Yakni dengan tekanan lebih dari 45.000 bar serta temperatur sekitar 1.500 derajat Celsius.

Setelah menciptakan lava buatan, mereka kemudian menganalisa dan membuat simulasi komputer. Ternyata, diketahui bahwa magma Bulan kaya dengan titanium.

Artinya, lava cair itu terlalu berat untuk dapat mengalir ke permukaan Bulan. Padahal, agar lava bisa meletup di permukaan Bulan, ia perlu lebih ringan.

“Setelah magma terbentuk, mereka terakumulasi di lapisan bawah Bulan. Kira-kira seperti gunung berapi namun terbalik. Saat ini, Bulan sedang berada dalam fase pendinginan, demikian pula dengan bagian dalamnya,” kata Westrenen. “Ini menjawab pertanyaan mengapa tidak ada gunung berapi di Bulan,” ucapnya.

Tetapi, bagaimana dengan di masa depan?

Di masa depan, lava yang lebih dingin itu akan berubah komposisinya. Kemungkinan, ia akan menjadi tidak terlalu padat dibandingkan dengan zat-zat yang ada di sekelilingnya. “Magma yang lebih ringan ini dapat dengan mudah bergerak ke permukaan dan membentuk gunung berapi di Bulan,” kata Westrenen. “Itu akan menjadi pemandangan yang sangat indah,” ucapnya.

Sayangnya, tidak satupun dari kita yang hidup saat ini bisa melihat fenomena letusan gunung berapi di Bulan. Pasalnya, proses tersebut akan membutuhkan waktu jutaan tahun. (vivanews.com, astronomi.us)

NASA: Asteroid 2011 AG5 Ancam Tabrak Bumi pada 2040

Ilustrasi asteroid menabrak Bumi. Image credit: starryskies.com
Belum lagi pasti, apakah Bumi akan selamat dari asteroid Apophis, yang menurut para ilmuwan Rusia bakal menabrak Bumi pada 13 April 2036, ancaman baru muncul.

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengidentifikasi sebuah batu angkasa yang memiliki peluang untuk menyenggol Bumi. Besarnya 460 kaki atau 140 meter. Identifikasi NASA menyebut, asteroid yang dinamai 2011 AG5 berpeluang menabrak Bumi pada 5 Februari 2040.

Seperti dimuat Daily Mail, 28 Februari 2012, keberadaan asteroid ini bahkan menjadi perhatian tim aksi objek dekat Bumi bentukan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), yang mulai membahas bagaimana cara untuk mengalihkan orbit batu raksasa ini agar tak menyenggol Bumi. Agar tak membahayakan umat manusia.

Berdasarkan perhitungan NASA yang disampaikan Donald Yeomans, Kepala Program Observasi Obyek Dekat Bumi di Laboratorium Jet Propulsion, peluang asteroid itu bersenggolan dengan Bumi adalah 1:625, prediksi yang bisa terus berubah, seiring pergerakannya yang terus berubah. "Untungnya, obyek ini akan bisa diamati dari tanah dalam interval 2013-2016," kata dia.

Meski tak akan menyebabkan kiamat dan memusnahkan umat manusia, skrenario terburuknya, jika benda langit itu menabrak sebuah kota, niscaya jutaan nyawa akan melayang.

Sebagai perbandingan, asteroid yang menjadi pemicu musnahnya spesies Dinosaurus 65 juta tahun lalu, sembilan mil lebih lebar dari ukuran 2011 AG5.

Sejauh ini, para ilmuwan masih meraba-raba, mencari tahu sifat pergerakan asteroid itu. Para ahli baru bisa memperkirakan ukurannya, mereka baru bisa mengamati setengah orbitnya.

Baru antara tahun 2013 dan 2016, para astronom akan bisa memonitor 2011 AG5 dari tanah, yang jadi modal untuk membuat penilaian yang lebih rinci.

Pada 2023, asteroid ini akan "lolos dari lubang kunci" ke Bumi -- di area yang melewati orbit, sebelum ia akhirnya menabrak Bumi.

Menurut Laboratorium Jet Propulsion NASA, momentum akan berada dalam 0.02 unit astronomi dari planet kita, atau sekitar 1,86 juta mil.

Apa yang bisa dilakukan untuk menghindari petaka?

NASA mengatakan, di antara opsi penyelamatan Bumi adalah dengan mengirimkan pesawat ke asteroid tersebut yang bisa memberi efek grafitasi, untuk mengarahkan 2011 AG5 menjauh dari bumi, selama jutaan tahun cahaya.

Opsi lain, adalah dengan mengirim satelit dan menabrakkannya ke asteroid tersebut.

Penggunaan senjata nuklir juga didiskusikan. Namun, dikhawatirkan, alih-alih menyelesaikan masalah, nuklir justru menciptakan hujan batu yang mengarah ke Bumi.

Sementara, seperti dimuat SPACE.com, asteroid ini ditemukan pada Januari 2011 oleh observatorium Mount Lemmon Survey di Tucson, Arizona.

"2011 AG5 adalah obyek yang saat ini memiliki kesempatan tertinggi menabrak Bumi, di 2040. Namun, kita hanya mengamatinya selama sekitar setengah orbit, sehingga presisi perhitungan ini masih tidak terlalu tinggi," kata Detlef Koschny dari Divisi Tata Surya Badan Angkasa Eropa (European Space Agency), Belanda. (vivanews.com, astronomi.us)

Sunday, March 4, 2012

Zat Asam di Laut Meningkat Dalam 300 Tahun Terakhir


Penelitian menunjukkan bahwa samudera menghasilkan zat asam (acid) lebih cepat. Menurut sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Science, lautan di dunia mengalami laju pengasaman yang hebat dalam 300 juta tahun terakhir."Catatan Geologi mengungkapkan bahwa pengasaman saat ini berpotensi lebih tinggi setidaknya dalam waktu 300 juta tahun terakhir sejarah planet bumi ini" ujar Andy Ridgwell dari Bristol University.

Selama satu abad terakhir ini, ukuran keasaman (pH) telah menurun 1/10 unit menjadi 8,1, pH tersebut diukur pada skala logaritmik. Namun, diketahui pula bahwa tingkat perubahan keasaman pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) melonjak naik 10 kali lebih cepat pada 56 juta tahun yang lalu. Demikian dilansir Theregister, Jumat (2/3/2012).

"Fenomena ini menimbulkan kemungkinan bahwa kita sedang memasuki wilayah ekosistem lautan yang tidak kita ketahui" terangnya.

Selama PETM itu, dikabarkan terjadi kepunahan massal di ekosistem darat maupun laut. Penyebab peningkatan acid ini belum dipahami dengan baik, diduga serangkaian semburan metana besar dari sedimen laut aktivitas gunung merapi merupakan faktor utama yang meningkatkan pengasaman (acid) ini.

Selain itu, atmosfer zat karbondioksida (CO2) yang kini intensitasnya meningkat sekira 30 persen dibandingkan satu abad yang lalu menjadi pemicu tingkat keasaman laut. Dikabarkan bahwa laut menyerap CO2 dari udara yang bereaksi dengan air laut untuk membetuk asam karbonat.

"Jika emisi karbon dari industri terus meningkat cepat, kita mungkin akan kehilangan organisme terumbu karang, tiram dan ikan salmon" ujar Honisch dari Columia University.

Peningkatan asam laut ini tidak menimbulkan dampak buruk, dikabarkan beberapa organisme pada kenyataannya mendapatkan keuntungan dari lingkungan yang lebih asam, yaitu akan ada spesies baru yang berevolusi dan akan menggantikan organisme lain yang telah mati. (okezone.com, astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto