Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Tuesday, August 30, 2011

Alam Semesta Memuai Dengan Kecepatan yang Terus Bertambah

Alam semesta. Credit: google
Alam semesta akan terus memuai dengan kecepatan yang terus bertambah. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan “energi gelap” menggunakan teleskop Chandra. Telah dikonfirmasi bahwa teori ledakan memicu pada implikasi dasar bagi masa depan alam semesta.“Alam Semesta benar-benar sedang dipercepat. Pemberitahuan ini memberi implikasi penting bagi masa depan di Alam Semesta kita", kata Steve Allen, seorang astrofisik dari Institut Astronomi Cambridge, ketua penelitian ini. "Energi gelap mendorong Alam Semesta ke luar dan mempercepat pemuaiannya", tambahnya. Para peneliti tidak menyadari komposisi energi ini. Namun mereka memperkirakan bahwa densitasnya menentukan pemuaian Alam Semesta.

"Pemuaian Alam Semesta dipercepat, sekarang pertanyaan untuk dimengerti adalah mengapa", Paul Hertz, seorang peneliti NASA berkomentar. "Sampai kami mengerti perihal energi gelap, mungkin ada hipotesa berbeda mengenai masa depan Alam Semesta", tambahnya.

Skenario sementara

Ada tiga skenario berlaku, tergantung densitas energi gelap. Apabila densitas tetap konstan, akselerasi pemuaian akan berlanjut dan "dalam waktu hanya 100 milliar tahun, walaupun langit berpopulasi milliaran yang tampak melalui teleskop galaksi akan menunjukkan tidak lebih dari beberapa ratus, menjadi tempat yang terpencil", Mr. Hertz memperkirakan.

Dengan kata lain, apabila densitas menurun, "pemuaian akan diperlambat ke titik di mana Alam Semesta akan runtuh sekali lagi sebelum pembasmian keseluruhan", atau kemungkinan, sebelum Big Bang baru.

Pilihan ke tiga adalah meningkatkan densitas energi gelap, yang akan memicu pada "kerusakan atom yang tersusun dari seluruh zat", lanjutnya.

Ketidakpastian dan Faktor-faktor yang tidak diketahui

"Energi gelap mendominasi Alam Semesta dan akan mendominasi Alam Semesta di masa depan", tegas Profesor Allen. Baginya, teori formula dari Albert “Einstein mengenai densitas konstan energi gelap muncul dalam bentuk yang bagus” bagi para peneliti. Namun” selama kita tidak memiliki pengetahuan mengenai kecepatan kosmik dan sifat asli energi gelap, kita tidak akan dapat memprediksikan densitas Alam Semesta”, singkat Michel Turner, seorang peneliti independen dari Universitas Chicago dan seorang anggota lokal American Foundation of Science.

Para peneliti memperkirakan bahwa alam semesta terkomposisi dari 75% energi gelap, 21% zat gelap dan hanya 4% zat normal yang dikenal sebagai bumi.

Para ilmuwan mempelajari 26 kelompok galaksi yang berjarak satu hingga delapan milliard tahun cahaya jauhnya, dari waktu perlambatan gerak Alam Semesta setelah Big Bang hingga awal percepatan Alam Semesta dikarenakan dampak energi gelap.

Haruskah diubah ?

Beberapa peneliti mengusulkan untuk mengubah contoh agar dapat memahami lebih baik pemuaian Alam Semesta ini. Dengan demikian, Israeli Mordehai Milgrom memperkirakan bahwa zat gelap adalah sebuah gagasan yang tak masuk akal dan bahwa dapat bekerja tanpanya hanya dengan mengubah hukum gravitasi Newton.

Ilmuwan lainnya, Georgi Dvali, ahli ilmu fisika Universitas New York, berpikir bahwa percepatan pemuaian Alam Semesta bukan hasil dari dampak energi gelap, namun dikarenakan pelepasan gaya berat Alam Semesta, dan menuju dimensi lain.

Yang lain memaksa bahwa hal ini mungkin dapat dipecahkan apabila bentuk Alam Semesta tunggal diabaikan dan menyokong gagasan berbagai tingkat Alam Semesta, dimana termasuk semua kemungkinan dari keberadaan realitas. (Sumber: theepochtimes.com)

Mengungkap Misteri Perubahan Suhu Saturnus

Pijar misterius yang berada
di angkasa daerah kutub Saturnus.
Credit: erabaru.net
Allan Irewonder dari institut perguruan tinggi London, Inggris dan sejawatnya telah melakukan pengamatan jangka panjang terhadap Saturnus. Dari hasil pengamatan tersebut mereka mendapati, bahwa pijar misterius di daerah kutub Saturnus mungkin dapat menyingkap misteri perubahan suhu Saturnus.

Menurut laporan Space.com Rusia, selama bertahun-tahun, suhu di permukaan Saturnus terus membuat para ilmuwan bingung ; suhu aktual fase gas planet raksasa ini jauh lebih tinggi dari nilai perhitungan teori, artinya, energi panas yang dimilikinya seolah-olah jauh lebih tinggi dari energi pancaran yang diperoleh dari matahari. Demi untuk menyingkap misteri ini, Allan Irewonder dari institut perguruan tinggi London, Inggris dan sejawatnya telah melakukan pengamatan jangka panjang terhadap Saturnus. Dari hasil pengamatan tersebut, mereka mendapati bahwa tingat kerumitan yang diperlihatkan Saturnus jauh melampaui bayangan orang-orang sebelumnya.

Selama ini, para ilmuwan terus berusaha mencarai sumber energi “lebih” di permukaan Saturnus. Menurut mereka, bahwa pijar miserius di angkasa kutub Saturnus secara terus menerus memanaskan lapisan atas udara Saturnus, kemudian gas–gas yang telah dipanaskan ini lalu dibawa ke daerah khatulistiwa Saturnus mengikuti suatu proses perputaran yang belum diketahui, sehingga menyebabkan naiknya segenap suhu di permukaan Saturnus.

Namun, sebagaimana yang ditemukan Allan dan rekan, bahwa jika proses gerakan atmosfer di atas itu benar-benar eksis, maka efek yang dihasilkannya kebetulan berlawanan, yaitu : secara perlahan mendinginkan udara khatulistiwa Saturnus. Jika kesimpulan para ilmuwan itu benar, di mana ketika suhu di daerah khatulistiwa Saturnus mencapai 200K, maka daerah kutub tersebut semestinya mencapai 400K.

Allan menuturkan, bahwa masalah sulit yang hadapi saat ini bukan pada suhu yang ada di lapisan bawah udara Saturnus itu lebih rendah dari nilai teori, melainkan energi panas yang dimiliki daerah kutub tersebut “terlalu banyak”.

Sayangnya, para ilmuwan saat ini belum mengembangkan simulasi komputer yang dapat mencerminkan karakter udara di Saturnus. Ada peneliti yang menyebutkan, bahwa jika hendak mengurai misteri ketidakwajaran suhu udara di Saturnus, mungkin terlebih dahulu harus merevisi terhadap teori tentang atmosfer planet yang ada saat ini. (Sumber Wang-yi Exporer-net-tom tek)

Sumber: erabaru.net

Monday, August 29, 2011

VIDEO: Galaksi Swift J1644+57 Memakan Bintang

Ilustrasi aktifnya kembali Lubang Hitam yang dinamai Swift J1644 57. Credit: universetoday.com

Pada tulisan sebelumnya Lubang Hitam yang Lama Tidur Kini Bangkit Kembali, telah disebutkan bahwa lubang hitam Swift J1644 57 telah aktif kembali dengan memakan bintang yang berada di dekatnya. Nah ingin tahu seperti apa ilustrasi galaksi tersebut memakan bintang, berikut ini videonya

Astronom Temukan Galaksi "Jet" Baru

Galaksi Speca. Credit: Hota et al., SDSS, NCRA-TIFR, NRAO/AUI/NSF.

Sebuah galaksi baru ditemukan oleh astronomi. Galaksi tersebut diberi nama Speca. Speca merupakan galaksi unik karena merupakan galaksi spiral dan mampu menghasilkan "jet" yaitu suatu aliran partikel subatomik yang dipancarkan dari inti.

Seperti yang sudah diketahui bahwa jet galaksi terbentuk di pusat dimana aktifitas lubang hitam supermasif terjadi.  Dilansir dari universetoday, Senin (29 Agustus 2011), Galaksi speca berjarak 1,7 miliar tahun cahaya, Speca merupakan singkatan dari Spiral-host Episodic radio galaxy tracing Cluster Accretion yang keberadaannya diketahui pertama kali berdasarkan gambar yang digabungkan dengan data dari Sloan Dgital Sky Survey dan Teleskop National Science Fundation's Very Large (VLA). (Adi Saputro/Astronomi.us)

Sunday, August 28, 2011

Ilmuwan Temukan Kristal Langka di Meteorit

Peneliti Jepang menemukan kristal seperti opal di sebuah meteor jatuh di Kanada pada 2000. Temuan ini menjadi temuan kristal tak biasa pertama dari benda luar angkasa.

Ilmuwan dari Tohoku University mengatakan, kristal ini terbentuk di awan debu yang dihasilkan matahari dan planet di tata surya ini pada 4,6 miliar tahun silam. Kristal tak biasa ini memiliki potensi penggunaan yang luar biasa.

"Kristal Koloidal seperti opal yang terbentuk dari rangkaian partikel tua ini memiliki potensi luar biasa untuk digunakan dalam elektronik baru dan perangkat optik," ungkap peneliti Karsuo Tsukamoto seperti dikutip UPI.

Formasi kristal di meteorit Tagish Lake ini memiliki beberapa kondisi signifikan hingga bisa terbentuk.

"Pertama, jumlah solusi air harus pada meteorit untuk membubarkan partikel koloidal,” ujarnya.

Solusi air harus ditaruh di ruang hampa kecil untuk tempat kristal terbentuk, lanjutnya.

"Kondisi ini menyatakan, kristal tersebut terbentuk 4,6 miliar tahun silam,” tutupnya seperti dikutip UPI.

Temuan ini diterbitkan di Journal of the American Chemical Society. (Sumber: inilah.com)

Saturday, August 27, 2011

FOTO: Hyperion, Bulan Saturnus Mirip "Spons"

Foto Hyperion yang diambil oleh Cassini pada 25 Agustus 2011. Credit: NASA/JPL-Caltech/Space Science Institute
Jika kita lihat lebih dekat, bulan milik Saturnus yg bernama Hyperion tampak seperti spons raksasa. Seperti pada foto-foto di bawah yang diambil oleh pesawat luar angkasa Cassini pada 25 Agustus 2011 yang berada sangat dekat dengan Hyperion yaitu sekitar 24 ribu km sehingga didapatkan gambar yang begitu jelas.

Salah satu sisi dari Hyperion. Credit: NASA/JPL-Caltech/Space Science Institute
Foto Hyperion. Credit: NASA/JPL-Caltech/Space Science Institute
Foto Hyperion. Credit: NASA/JPL-Caltech/Space Science Institute

Dikutip dari universetoday.com, Sabtu (27/08/2011), "Hyperion sendiri adalah bulan Saturnus yang sangat kecil yang memiliki diameter hanya 270 km yang mengorbit diantara Titan dan Lapetus", kata Carolyn Porco, pimpinan dari Cassini imaging. (Adi Saputro/Astronomi.us)

Foto Pertama Bumi yang Diambil dari Luar Angkasa

Foto pertama Bumi dari orbit Bulan pada tanggal 23 Agustus 1966 yang diambil Oleh NASA's Lunar Orbiter I. Credit: NASA
Tahukah Anda seperti apa foto pertama Bumi yang diambil dari luar angkasa? Foto Bumi yang pertama di ambil dari luar angkasa yaitu pada tanggal 23 Agustus 1966 oleh NASA's Lunar Orbiter, sebuah pesawat pengintai tanpai awak yang mengambil gambar Bumi dari orbit Bulan. Tapi jangan bayangkan foto itu sebagus fiti Bumi saat ini, karena memang teknologi yang digunakan belum seperti kamera jaman sekarang.

Foto Bumi lainnya yang juga diambil oleh Lunar Orbiter I. Credit: NASA
Sebelumnya skitar tahun 40, 50, dan 60-an, gambar Bumi juga sudah pernah diambil dari luar angkasa, tapi saat itu gambar yang diambil bukan Bumi dalam bentuk utuh (bola) melainkan hanya salah satu permukaan bagiannya saja.

Kamera yang dipasang di Lunar Orbiter I untuk mengambil gambar Bumi. Credit: Courtesy of George Eastman House, International Museum of Photography and Film
Dikutip dari sciencedaily.com, Sabtu (27/08/2011), Lunar Orbiter sendiri awalnya digunakan untuk memetakan keadaan bulan untuk mencari tempat yang tepat untuk mendaratkan astronot di bulan pada misi Apollo. Kamera yang digunakan utnuk mengambil foto bumi yaitu sebuah kamera onboard yang memiliki dua lensa kembar yang dapat mengambil foto secara simultan. Kamera ini didesain oleh Eastman Kodak dan dipergunakan untuk Departemen Pertahanan Amerika. (Adi Saputro/Astronomi.us)

NASA Temukan Bintang Kerdil dengan Suhu Terdingin

Bintang kerdil terdingin. Credit: NASA/JPL-Caltech/UCLA
Bintang kerdil coklat dengan temperatur terdingin telah ditemukan oleh NASA. Temperaturnya mirip dengan temperatur ruangan, 25 derajat Celcius.

Si kerdil itu ditemukan teleskop Wide-field Infrared Survey Explorer (WISE) pada jarak bintang yang berjarak 9 hingga 40 tahun cahaya. "Bintang kerdil yang kami temukan sebelumnya memiliki temperatur seperti oven," ungkap anggota WISE, Davy Kirkpatrick. "Sekarang kami telah menemukan bagian dingin dari sebuah rumah," tambahnya.

Michael Cushing yang juga anggota dari WISE mengatakan, "Hal ini membuktikan bahwa masih banyak tetangga Bumi yang belum terjelajah menggunakan WISE."

Dengan menggunakan huruf para astronom mengklasifikasikan bintang sesuai dengan tingkat panasnya, O, B, A, F, G, K, M, L, T, dan Y. O adalah yang terpanas dan Y bintang yang paling dingin. Matahari terletak di posisi G dan untuk bintang kerdil coklat yang baru saja ditemukan terklasifikasi sebagai bintang Y.

Bintang kerdil sebenarnya adalah bintang yang gagal. Namun, dalam prosesnya mereka tidak mempunyai massa yang cukup untuk membakar thermonuclear, sehingga mereka akhirnya meredup dan menjadi dingin. (Sumber: NASA)

Sumber: nationalgeographic.co.id


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto