Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Thursday, August 18, 2011

Seperti Inilah Rancangan Stasiun Luar Angkasa China

Kini China terbukti tak cuma jago membuat ponsel atau mobil yang menyerupai ponsel atau kendaraan besutan industri negara barat.

Rencana negara tirai bambu itu untuk mewujudkan stasiun luar angkasa sendiri, merupakan fase penting pencapaian China sebagai salah satu negara kuat yang tak bisa dipandang remeh.

Bukti-Bukti Kehidupan Awal Bumi Ada di Bulan


Mengetahui bagaimana kehidupan dimulai di planet Bumi adalah salah satu target utama ilmu pengetahuan. Sejumlah peneliti asal Inggris memiliki teori baru. Mereka yakin kunci untuk mengetahui misteri bentuk kehidupan awal di Bumi justru berada di bulan.

Peneliti menyebutkan, batu-batuan yang berasal dari planet Bumi terlempar ke bulan saat asteroid membombardir Bumi dan inner planet (planet paling dekat dengan Matahari) lainnya.

Sebagai informasi, sekitar 4 miliar tahun lalu, terjadi fenomena hujan meteor yang disebut sebagai Late Heavy Bombardment. Ketika itu, planet Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dihujani oleh ribuan asteroid dan meteorit yang menghantam permukaan planet.

Fenomena sangat mengerikan yang berlangsung selama 300 juta tahun itu memiliki efek beragam pada planet-planet yang ketika itu masih muda, salah satunya adalah pelontaran miliaran ton material dari permukaan planet ke luar angkasa.

Pada kasus Bumi, sebagian material itu kemungkinan berhasil tiba di Bulan. Hipotesis ini sangat masuk akal, mengingat di kutub selatan Bumi pernah dijumpai meteorit yang terbukti berasal dari planet Mars.

Untuk itu, sangatlah mungkin berasumsi bahwa planet-planet terdalam saling bertukar material saat Late Heavy Bombardment. Demikian pula dengan Bumi dan Bulan yang juga saling bertukaran material.

Menurut sejumlah pakar dari University of London Birkbeck College School of Earth Sciences, material milik Bumi itu telah mendarat di Bulan dengan mulus sehingga memungkinkan tanda-tanda biologis tetap tersimpan dengan baik.

Dikutip dari Softpedia, 5 Mei 2011, tim peneliti yang diketuai oleh Ian Crawford dan Emily Baldwin menyebutkan, tanda-tanda biologi itu justru tidak akan mampu bertahan di Bumi karena besarnya dampak tumbukan meteor, erosi akibat angin dan hujan, aktivitas volkanik, gempa bumi, dan penguasaan habitat oleh spesies makhluk hidup lain.

Dalam sejumlah simulasi komputer, tim peneliti menunjukkan sebongkah material yang terpental ke arah Bulan akibat tumbukan asteroid pada bumi akan mendarat di permukaan Bulan dengan kecepatan 2,5 kilometer per detik atau kurang. Dengan temperatur yang ada di Bulan, tidak ada bagian dari material itu yang mendekati tekanan puncak yang mengakibatkan material itu meleleh.

Sayangnya, teori baru ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah sampai manusia kembali pergi ke Bulan, mengumpulkan sampel bebatuan dari sejumlah lokasi, dan membawa pulang ke Bumi untuk dianalisa secara mendalam. Namun, melakukan penelitian seperti itu akan memberikan kita pengetahuan yang luar biasa akan sejarah kehidupan di planet Bumi.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218536-bukti-bukti-kehidupan-awal-bumi-ada-di-bulan

NASA Buktikan Teori Relativitas Einstein

Alat pengukur gravitasi milik Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, berhasil membuktikan dua asumsi kunci yang dicetuskan Albert Einstein dalam teori relativitas. Teori ini dicetuskan oleh Einstein pada 52 tahun yang lalu.

Misi The Gravity Probe-B (GP-B) diluncurkan pada tahun 2004 untuk mempelajari dua asumsi Einstein. Pertama, mengenai efek geodesi, atau adanya lengkungan ruang dan waktu di sekitar gravitasi.
Kedua, asumsi mengenai frame-dragging, yang menjelaskan jumlah struktur ruang-waktu yang terpilin akibat rotasi suatu massa.

"Bayangkan bumi seakan-akan terbenam di benda seperti madu," kata Francis Everitt, peneliti Stanford University yang juga peneliti utama GP-B. "Ketika bumi berotasi, madu di sekitarnya akan membentuk pusaran yang mengikuti (swirl), begitu pula dengan ruang dan waktu," demikian analogi Everitt.

Gravity Probe-B menggunakan empat gyroscope (pengukur orientasi) dengan tingkat ketepatan ultra tinggi untuk mengukur dua hipotesa gravitasi ini. Alat ini kemudian mengkonfirmasi kedua efek gravitasi dengan mengarahkan alat ini ke bintang yang disebut IM Pegasi, untuk menciptakan presisi yang netral.

Jika gravitasi tidak berdampak terhadap ruang dan waktu, maka gyroscope GP-B akan menunjuk ke arah yang sama saat probe itu berada di kutub orbit sekitar bumi. Bagaimana pun, gyroscopes memiliki perubahan kecil tapi terukur terhadap arah putaran daya tarik bumi.

"Hasil misi ini akan memiliki dampak jangka panjang terhadap teori yang dimiliki ahli fisika," kata Bill Danchi, ahli antrofisika dan pengamat di Markas Nasa di Washington.

"Setiap teori yang meragukan teori Einstein dalam hal relativitas umum akan mencoba untuk mencari hasil pengukuran yang tepat dari yang telah dilakukan GP-B," lanjut Danchi.

Hasil ini menjadi proyek terpanjang yang dilakukan NASA, yang telah terlibat dalam penelitian gyroscope untuk relativitas sejak 1963.

Penelitian dan percobaan yang dilakukan selama berpuluh tahun ini telah merintis teknologi untuk mengendalikan gangguan yang bisa mempengaruhi pesawat ulang-alik, seperti daya tarik aerodinamis, medan magnet, dan variasi hawa panas. Lebih jauh, misi pelacak bintang dan gyroscope NASA merupakan alat dengan presisi tertinggi yang pernah didesain dan diproduksi.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218838-nasa-buktikan-teori-relativitas-einstein

Titan, Bulan Terbesar Saturnus Miliki Samudera di Bawah Tanah ?

Mungkinkah bulan terbesar milik Saturnus, Titan, memiliki samudera raksasa di bawah permukaannya? Setidaknya demikianlah pendapat para peneliti dari Royal Observatory of Belgium di Brussel.

Tim peneliti menggunakan radar dari pesawat ulang-alik Cassini milik NASA untuk 'mengintip' ke balik atmosfer tipis Titan. Mereka menemukan bahwa, setelah beberapa waktu, beberapa bagian permukaan Titan bergeser hingga 19 mil (30,57 kilometer). Menurut mereka, pergeseran ini dikarenakan permukaan Titan berada di atas cairan berupa air dan ammonia.

Ilustrasi samudera raksasa di bawah permukaan Titan

Selain Bumi, Titan memang diketahui memiliki cairan pada permukaannya. Jika dugaan 'samudera bawah tanah' itu terbukti benar, hal ini akan meningkatkan peluang bulan tersebut memiliki kehidupan.

Bukan hanya itu, berdasarkan data yang ditransmisikan oleh Cassini, sumbu rotasi Titan juga mengalami pergeseran hingga 0,3 derajat. Menurut tim peneliti, terjadinya pergeseran sumbu rotasi ini menjadi bukti bahwa Titan tidak sepenuhnya terbuat dari material keras atau solid.

Titan justru disinyalir memiliki tempurung es yang berada di atas air laut, selubung es serta pusat planet yang beku dan berbatu. Demikian seperti dilansir Daily Mail, Sabtu (7/5/2011).

Salah satu peneliti, Rose-Marie Baland, mengatakan, "Penemuan ini berbalik dari apa yang kami ketahui tentang planet dan satelit lain serta proses formasi planet."

Kendati demikian, peneliti juga mempertimbangkan kemungkinan lain jika Titan tertabrak komet atau asteroid baru-baru ini, sehingga menyebabkan sumbu rotasinya bergeser.

Namun tampaknya mereka tetap berkeras untuk membuktikan bahwa Titan memang menyembunyikan samudera raksasa di bawah permukaannya. Mereka mensinyalir lautan itu memiliki kedalaman 3 hingga 265 mil (4-426 kilometer).

"Analisa kami memperkuat kemungkinan bahwa Titan menyimpan samudera di bawah permukaannya. Tapi hal itu belum bisa dipastikan. Jadi masih banyaak pekerjaan yang harus kami lakukan," tambah Baland.

Penemuan ini akan dipublikasikan di jurnal Astronomy & Astrophysics edisi mendatang.

Ukuran Alam Semesta 250 Kali Lipat Lebih Luas Dari Perkiraan Sebelumnya

Apakah alam semesta memiliki ukuran pasti atau tak terbatas? Berhubung ukuran alam semesta yang dapat dilihat semakin meluas, benda berjarak terjauh yang bisa dilihat menjadi jauh lebih tua dibanding yang diperkirakan yakni sekitar 14 miliar tahun.

Diketahui, photon pada latar belakang gelombang mikro kosmik telah menempuh waktu 45 miliar tahun untuk tiba di Bumi. Itu berarti, alam semesta yang terlihat oleh mata setidaknya memiliki ukuran seluas 90 miliar tahun cahaya.

Namun demikian, ternyata alam semesta jauh lebih luas lagi. Ini bisa diketahui berkat analisis statistik yang dibuat oleh Mihran Vardanyan dan rekan-rekannya, peneliti dari University of Oxford.

Menurut Vardanyan, seperti dikutip dari Daily Galaxy, Rabu 4 Mei 2011, kunci dari mengetahui ukuran sebenarnya dari alam semesta adalah dengan mengukur lengkungannya.

Sebelumnya, astronom memiliki beberapa metode untuk mengukur lengkungan tersebut. Salah satunya, menurut Technology Review dari Massachusetts Institute of Technology, adalah menggunakan objek yang berada di jarak jauh yang sudah diketahui ukurannya dan membandingkan dengan seberapa besar ia terlihat.

Jika objek itu tampak lebih besar dibanding seharusnya, alam semesta tertutup. Jika ukurannya tampak sama seperti seharusnya, alam semesta berbentuk datar. Namun, jika lebih kecil, berarti alam semesta terbuka (tak terhingga).

Masalahnya, saat ilmuwan mengamati berbagai data dari bermacam model, mereka mendapatkan jawaban yang berbeda-beda untuk mengetahui jawaban pasti seputar lengkungan dan ukuran alam semesta. Lalu, mana yang paling akurat di antaranya?

Terobosan yang diambil Vardanyan dan timnya disebut dengan nama Bayesian model averaging. Teknik ini lebih cerdas dibandingkan dengan menggunakan pengukuran lengkungan yang umum digunakan ilmuwan untuk menjelaskan data yang mereka miliki.

Menurut permodelan yang dibuat Vardanyan, lengkungan alam semesta sangat dekat dengan 0. Dengan kata lain, kemungkinan besar, alam semesta berukuran datar.

Sebuah alam semesta yang berbentuk datar juga bisa tak terbatas. Dan kalkulasi yang dibuat oleh Vardanyan juga konsisten dengan hal ini. Dari perhitungan, alam semesta memiliki ukuran setidaknya 250 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Hubber volume yang berukuran 13,8 miliar tahun cahaya.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218293-ukuran-alam-semesta-250-kali-lipat-lebih-luas

Maffei 2, Galaksi yang Tersembunyi di Balik Debu Bima Sakti

Maffei 2 merupakan sebuah galaksi yang memancarkan sinar infra merah. Sayangnya, galaksi ini nyaris tidak bisa dilihat dengan teleskop optik biasa. Pasalnya, awan debu tebal yang ada di galaksi Bima Sakti menghalangi pandangan kita hingga 99,5 persen untuk melihat galaksi itu.

Namun demikian, Spitzer Space Telescope milik NASA berhasil menembus awan debu Bima Sakti untuk menampilkan penampakan keindahan galaksi tersebut.

Maffei 2, galaksi yang tersembunyi
di balik awan debu galaksi Bima Sakti.
Adalah Paolo Maffei, astronom pertama yang mendapati keberadaan galaksi Maffei dan Maffei 2 saat menemukan titik misterius pada plat fotografi infra merah tahun 1968 lalu. Baru empat bulan kemudian ia mengidentifikasi objek aneh itu sebagai sebuah galaksi, yang kini menggunakan namanya.

Akan tetapi, galaksi itu ditemukan Maffei saat astronomi dengan infra merah masih sangat muda. Astronom membutuhkan banyak inovasi teknologi yang baru ditemukan selama beberapa dekade kemudian untuk memungkinkan mereka mempelajari objek yang tidak jelas seperti ini secara mendetail.

Sebagai informasi, sebagian besar galaksi lain yang memiliki ukuran seperti Maffei 2 sendiri sudah berhasil dikenali selama lebih dari satu abad terakhir. Tetapi berhubung galaksi yang satu ini tersembunyi rapat-rapat di balik debu yang ada di galaksi kita sendiri, ia tidak masuk ke dalam katalog benda langit terkenal yang dikompilasikan oleh Charles Messier pada abad 18 lalu.

Adapun foto yang berhasil diambil oleh Spitzer juga berhasil menunjukkan bahwa Maffei 2 memiliki struktur yang tidak lazim. Contohnya adalah adanya garis tebal di bagian tengah dan lengan spiral asimetris yang menjelaskan mengapa galaksi itu memiliki “ledakan bintang” di bagian intinya.

Seperti diketahui, ledakan dramatis dari pembentukan bintang ini terjadi ketika sejumlah besar debu dan gas didorong ke tengah galaksi. Umumnya oleh interaksi subyek gravitasi yang membentuk struk spiral memalang.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218098-teleskop-spitzer-ungkap-galaksi-tersembunyi

Video: Perbandingan Danau Ontario di Bumi dan Danau Ontario di Titan

Meski memiliki nama dan ukuran yang kurang lebih sama, danau Ontario di kawasan benua Amerika Utara, planet Bumi memiliki perbedaan dengan danau Ontario Lacus di Titan, bulan milik planet Jupiter. Jika Ontario menampung air, Ontario Lacus yang ukurannya sebesar 15 ribu kilometer persegi - sedikit lebih kecil dibanding danau Ontario - menampung methana, ethana, dan propana.

Danau Ontario juga mengundang banyak wisatawan yang ingin berjemur menikmati sinar matahari yang hangat, sedangkan danau Ontario Lacus, berhubung jaraknya sekitar 10 kali lebih jauh dari Matahari, memiliki suhu yang sangat dingin, yakni sekitar minus 143 derajat Celcius.

Yang menarik, baik Ontario Lacus dan Ontario memiliki kesamaan meski kedua danau terpisah dengan jarak sekitar 1,2 miliar kilometer. Persamaan itu adalah ketinggian permukaan cairan di kedua danau berubah sejalan dengan pergantian musim.

Dari pantauan satelit Cassini, dalam kurun waktu antara Juni 2005 hingga Juli 2009, garis pantai Ontario Lacus telah surut hingga 9,6 kilometer. Diperkirakan, kedalaman danau ini juga telah berkurang hingga 1 meter per tahun. Berikut ini video danau ontario di Titan



Meteorit Berusia 4,5 Miliar Tahun Ungkap Mineral Pembentuk Tata Surya

Meteorit berusia 4,5 miliar tahun yang ditemukan di barat laut Afrika berisi jenis mineral baru pembentuk tata surya yang belum pernah ditemukan sebelumnya.

Krotite adalah jenis mineral yang belum pernah ditemukan sebelumnya, menurut Anthony Kampf, kurator dari Ilmu Mineral dari Natural History Museum di Los Angeles County. Demikian seperti yang dikutip dari Pravda, Rabu (11/5/2011).

"Mineral ini belum diketahui sebelumnya sampai akhirnya kita temukan. Hal ini cukup dramatis," ujar Kampf

Meteorit yang membawa mineral Krotite adalah NWA 1934 CV3 carbonaceous chondrite. Meteorit ini adalah bekas dari elemen awal yang membentuk planet-planet.

Mineral ini terbentuk atas kalsium, alumunium dan oksigen. Untuk membentuk mineral tersebut dibutuhkan suhu 1500 derajat celsius. Hal inilah yang memunculkan dugaan kalau mineral ini terbentuk pada awal lahirnya tata surya, ketika kabut nebula dan planet mulai terbentuk.


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto