Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Wednesday, August 21, 2013

Bulan November Nanti, NASA Akan Kirim Wahana MAVEN ke Mars

Ilustrasi MAVEN (Mars Atmosphere and Volatile EvolutioN) sedang mengorbit planet Mars. Image credit:  NASA/Goddard Space Flight Center
Dalam beberapa bulan ke depan, NASA akan kembali mengirimkan wahana pengorbit menuju planet Mars. MAVEN yang merupakan kepanjangan dari Mars Atmosphere and Volatile EvolutioN merupakan sebuah wahana tanpa awak NASA yang akan dikirim ke planet Mars dengan tujuan untuk meneliti seluk beluk dari atmosfer planet Mars.

Wahana yang dibuat oleh Lockheed Martin dan menghabiskan dana $ 500 juta tersebut dilengkapi dengan berbagai instrumen penelitian terbaru dan tercanggih seperti Ion Mass Spectrometer, alat dan sistem penginderaan jarak jauh, beberapa paket analisis data dan sebagainya. Nantinya MAVEN akan meneliti perubahan atmosfer Mars dari waktu ke waktu hingga hampir hilangnya atmosfer planet tersebut, apa dampak angin matahari terhadap atmosfer Mars dan juga untuk mengkonfirmasi sumber dari anomali metana yang ditemukan oleh wahana Mars Global Surveyor pada tahun 1999-2004.

Teknisi dan enginer Lockheed Martin sedang menyelesaikan pembuatan MAVEN tahap akhir. Image credit: Lockheed Martin

Pembuatan MAVEN didasarkan terilhami dari desain wahana Mars Odyssey dan Mars Reconnaissance Orbiter. Nantinya MAVEn akan dikirim ke Kennedy Space Center pada awal bulan September untuk persiapan peluncuran di Cape Canaveral Air Force Station pada 18 November 2013 mendatang dan menurut perkiraan MAVEN akan tiba di orbit Mars pada 22 September 2014.

Nantinya MAVEN akan bergabung dengan wahana lain yang sudah lebih dulu "bertugas" di Mars seperti Mars Reconnaissance Orbiter, Mars Express, dan Mars Odyssey. MAVEN akan mengorbit planet Mars pada ketinggian 6.200 km di atas permukaan Mars. (UT, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Astronom Swedia, Planet Bisa Terbentuk Tanpa Bintang

Ilustrasi planet pengembara CFBDSIR J214947.2-040.308,9 atau CFBDSIR2149. Image credit: ESO/L. Calçada/P. Delorme/Nick Risinger/R. Saito/VVV Consortium
Astronom dari Chalmers University of Technology dan Universitas Stockholm, Swedia, baru-baru ini mengungkapkan bahwa planet bisa terbentuk tanpa bintang induknya. Kesimpulan itu didapat setelah mereka berhasil menemukan awan / nebula gelap dingin yang memungkinkan hal seperti itu bisa terjadi. Berdasarkan hasil survey terbaru yang dilakukan astronom, setidaknya ada 200 miliar planet di galaksi Bima Sakti yang merupakan planet pengembara / planet bebas yang tidak memiliki bintang. Selain karena dibentuk oleh awan / nebula gelap tadi, diantara planet pengembara tersebut juga ada yang terlempar ke luar dari sistem tata surya asli mereka.

Astronom Swedia dengan menggunakan beberapa teleskop canggih mengamati nebula Rosette yang merupakan nebula berbentuk mirip seperti mawar dan berjarak 4600 tahun cahaya dari Bumi. Beberapa awan hitam gelap nampak di skeitar nebula Rosette. "Nebula Rosette adalah rumah bagi lebih dari 100 nebula kecil yang disebut globulettes," ungkap pemimpin penelitian Gosta Gahm dari Universitas Stockholm. "Mereka sangat kecil dan masing-masing diameternya kurang dari 50 kali jarak Matahari - Neptunus," tambahnya.

Para astronom akan melakukan penelitian mengenai massa dan kepadatan dari globulettes tersebut. "kami menemukan bahwa globulettes sangat padat dan menyatu, dan banyak dari globulettes itu yang mempunyai inti padat," ucap Carina Persson astronom dari Chalmers University of Technology. "Hal itu menyebabkan bahwa sangat dimungkinkan globulettes tersebut akan runtuh karena gravitasi mereka dan membentuk planet mengambang bebas yang disebut panet nakal / planet pengembara," tambahnya lagi.

Dalam sejarahnya, galaksi Bima Sakti memiliki jutaan nebula seperti nebula Rosette yang telah berkembang dan memudar dan banyak globulettes yang terbentuk dan dari situlah didapatkan petunjuk dari mana planet-planet pengembara itu berasal. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Monday, August 19, 2013

NASA Gagal Perbaiki Teleskop Kepler

Teleskop Kepler. Image credit: usyd.edu.au
NASA akhirnya menyerah untuk mencoba memperbaiki teleskop Kepler yang rusak secara remote dari Bumi. Hal itu diungkapkan melalui juru bicara NASA, Paul Hertz. Teleskop yang digunakan untuk mencari keberadaan planet mirip Bumi tersebut tidak dapat berfungsi secara normal diakibatkan oleh rusaknya dua dari empat roda reaksi yang berfungsi untuk membidik target dengan presisi tinggi dan memfokuskan teleskop.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh NASA untuk memperbaiki namun tidak membuahkan hasil. Saat ini NASA sedang mencoba apakah dengan hanya dengan dua roda reaksi normal yang tersisa, teleskop Kepler masih dapat digunakan atau tidak. Hal itu akan diketahui dalam beberapa bulan ke depan. Teleskop Kepler tidak mungkin untuk diperbaiki secara langsung seperti teleskop Hubble, sebab jarak teleskop Kepler saat ini yang sangat jauh dari Bumi yakni 64 juta km. Sejauh ini teleskop Kepler berhasil menemukan 3.500 kandidat planet mirip dan 135 diantaranya yang telah dikonfirmasi.

NASA telah menganggarkan $ 18 juta di tahun 2013 ini untuk misi teleskop Kepler sehingga total biaya yang dikeluarkan NASA untuk teleskop tersebut sekitar $ 600 juta. Semoga kedepannya NASA bisa membuat teleskop yang lebih bisa diandalkan untuk misi-misi penting selanjutnya. (SD, Adi Saputro/www.astronomi.us)

Sunday, August 18, 2013

Ilmuwan Gunakan Pulsar Bintang Mati untuk Navigasi Pesawat Luar Angkasa Masa Depan

Penggunaan pulsar bintang mati sangat cocok untuk mengendalikan wahana atau pesawat luar angkasa yang jaraknya sangat jauh dari Bumi seperti Voyager 1 yang berjarak lebih dari 18 miliar kilometer dari Bumi. Image credit: NASA
Ilmuwan dari National Physical Laboratory (NPL) dan University of Leicester telah ditugaskan oleh Badan Antariksa Eropa (ESA) untuk mempelajari kemungkinan penggunaan radiasi sinar X bintang mati untuk menjadi bagian dari sistem navigasi pesawat luar angkasa di masa depan. Jika hal ini terwujud maka ini akan merubah sejarah dan membawa teknologi antariksa menjadi lebih canggih khususnya bagi kegiatan eksplorasi luar angkasa.

Navigasi pesawat luar angkasa yang ada saat ini masih bergantung pada transmisi radio antara pesawat dengan stasiun kontrol misi di Bumi. Oleh sebab itu untuk memberikan perintah atau instruksi dari Bumi akan ada jeda waktu yang agak lama agar pesan yang disampaikan bisa diterima oleh pesawat luar angkasa disebabkan oleh jauhnya jarak yang ditempuh oleh gelombang radio tersebut. Sinyal radio yang dipancarkan baru bisa diterima selama beberapa jam, hari atau bahkan lebih lama lagi. Hal itu cukup menyulitkan dan tidak efektif terlebih jika pesawat sangat membutuhkan panduan yang bersifat darurat. Penggunaan transmisi radio sebagai pengendali navigasi diterapkan pada dua satelit terkenal Amerika, Voyager 1 dan 2.

Ilmuwan mempelajari penggunaan pancaran sinar X dari bintang mati (dead stars) yang disebut pulsar untuk digunakan oleh pesawat luar luar angkasa agar dapat bernavigasi secara mandiri dan otomatis. Pulsar sangat cepat memancarkan radiasi elektromagnetik secara intens dan teratur. Dengan begitu ia dapat dijadikan sumber navigasi layaknya teknologi GPS di Bumi.

"Dengan menggunakan detektor sinar X yang terpasang pada pesawat luar angkasa, maka kita bisa mengetahui posisi dan gerakan pesawat itu. Ilmuwan University of Leicester dan NPL bekerja sama membuat sistem baik hardware maupun software untuk menggunakan teknik baru ini. "Dana riset dari ESA akan digunakan untuk membiayai proyek tersebut sehingga layak untuk diterapkan dalam pesawat luar angkasa terbaru," ungkap Setnam Shemar selaku pemimpin proyek dari NPL.

Keuntungan dari penggunaan pulsar dari bintang mati tadi selain cepat adalah dalam satu waktu, tim pengendali misi di Bumi dapat dengan cepet dan akurat mengontrol beberapa pesawat luar angkasa sekaligus. Hal ini berbeda dengan sistem navigasi konvensional melalui transmisi radio dimana transmisi hanya bisa dilakukan satu persatu.

Jika teknologi navigasi baru ini dapat segera diterapkan maka akan mampu mengurangi biaya operasional. Metode ini menggunakan "GPS alam" dan dapat digunakan di daerah lain di luar tata surya kita. (PHS, Adi Saputro, www.astronomi.us)

Monday, July 29, 2013

Boeing Perkenalkan Kapsul CST-100 untuk Bawa Astronot NASA ke ISS

Kapsul CST-100 rancangan Boeing. Image credit: Robert Z. Pearlman
Boeing secara yakin telah memperkenalkan kepada publik prototipe dari kapsul luar angkasa yang nantinya mampu memenuhi kebutuhan NASA untuk mengirim astronotnya ke orbit. Kapsul atau modul itu diberi nama CST-100 yang diklaim mampu menampung hingga 7 orang.

Astronot senior Randy Bresnik dan Serena Aunon mengatakan bahkwa mereka cukup puas dengan prototipe kapsul buatan Boeing ini. Menurut mereka Boeing sebelumnya telah berpengalaman merancang modul perintah untuk program Apollo NASA sehingga prototipe kapsul Boeing ini tidak perlu diragukan lagi.
Bagian interior dari kapsul CST-100. Image credit: Robert Z. Pearlman
Boeing adalah salah satu dari tiga perusahaan lain yang berpartisipasi dalam program NASA selain Space Exploration Technologies (SpaceX), dan Sierra Nevada. Ketiga perusahaan tersebut bersaing untuk dapat membawa astronot Amerika menuju ke orbit rendah Bumi termasuk ke ISS sembari menunggu NASA menyelesaikan desain roket dan modul SLS (Space Launch System) selesai dibuat.

Sampai saat ini NASA telah memberikan dana sebesar $ 570 juta kepada Boeing untuk membuat dan mengembangkan CST-100. Kapsul berukuran 4,5 meter itu akan menjalani penerbangan pertamanya pada tahun 2016 mendatang. Roket Atlas V digunakan untuk membawa CST-100 menuju ke orbit rendah Bumi untuk merapat dengan ISS (International Space Station). (SP, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Friday, July 26, 2013

Peneliti NASA Mulai Buat Mesin Warp yang Lebih Cepat dari Kecepatan Cahaya

Ilustrasi pesawat bergerak dalam kecepatan warp. Image credit: ddmcdn
Para peneliti NASA di Johnson Space Center, Texas, saat ini sedang berusaha membuat mesin canggih yang mampu bergerak melebihi kecepatan cahaya yang sering disebut dengan kecepatan warp. Layaknya pesawat Enterprise dalam film Star Trek, dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, maka kita akan dimungkinkan untuk melakukan perjalanan dari planet satu ke planet lain, atau menuju ke daerah lain di alam semesta dengan sangat cepat.

Insinyur dan fisikawan NASA, Dr Harold G. White percaya bahwa sangat mungkin untuk melanggar teori yang dibuat oleh Albert Einstein ketika ia mengungkapkan bahwa tidak ada yang mampu melebihi kecepatan cahaya.

Riset yang dilakukan peneliti NASA ini didasarkan pada teori fisika yang diungkap oleh fisikawan asal Meksiko, Miguel Alcubierre pada tahun 1994 yang mengatakan bahwa adalah mungkin untuk bergerak melebihi kecepatan cahaya jika ilmuan menemukan cara untuk memanfaatkan ekspansi dan kontraksi ruang.

Dengan menciptakan "gelembung warp" yang mampu memperluas ruang untuk kemudian terhubung dengan ruang lainnya, pesawat akan didorong menjauh dari Bumi dan tertarik ke arah bintang jauh oleh ruang waktu itu sendiri, ungkap Dr Alcubierre dalam hipotesisnya. Tampaknya hal ini akan sangat rumit, namun bukan berarti mustahil.

Dr White dan tim saat ini sedang melakukan penelitian di laboratorium  khusus dimana lintasan foton melengkung dibuat untuk akselerasi apakah foton dapat didorong untuk bergerak lebih cepat dari cahaya atau tidak. Lebih lanjut Dr White mengatakan bahwa meskipun untuk membuat pesawat atau teknologi seperti pada pesawat Enterprise Star Trek adalah suatu impian di masa depan, saat ini merupakan awal yang sangat baik.

Dengan menggunakan kecepatan warp, untuk menuju ke tata surya lain yang sebelumnya diperlukan waktu puluhan ribu tahun, akan bisa ditempuh hanya dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Dan itu akan membuat kita sangat mungkin mempelajari dan mengeksplorasi tata surya lain. Berharap hal ini akan dapat terwujud di masa depan. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)

Thursday, July 25, 2013

Serunya Trailer Film "Gravity", Pertaruhan Nyawa Astronot Saat ISS Dihantam Benda Luar Angkasa

Cuplikan trailer film "Gravity"
Bagaimana rasanya menjadi astronot jika ISS (International Space Station) yang menjadi "rumah" mereka di luar angkasa harus hancur akibat bertabrakan dengan benda luar angkasa?? belum lagi persediaan oksigen yang menipis membuat harapan hidup menjadi semakin sempit sedangkan astronot tersebut terombang-ambing di orbit. Bagaimana menemukan cara untuk kembali ke Bumi padahal sistem komunikasi terputus ?? (wah gawat banget ya kelihatannya :-D)

Dikisahkan ISS dihantam oleh benda yang diduga adalah sampah luar angkasa (space debris). Seketika itu juga dua astronot Dr. Ryan Stone dan Matt Kowalsky mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun apa mau dikata, Dr. Ryan Stone justru tersangkut sehingga tidak bisa menghidar dari tabrakan tersebut. Bagaimana cara mereka bertahan hidup dan menyelamatkan diri?? Hal itulah yang ingin digambarkan oleh film fiksi ilmiah yang berjudul "Gravity" yang disutradarai oleh Alfonso Cuaron. Aktor senior George Clooney berperan sebagai astronot Matt Kowalsky dan Sandra Bullock berperan sebagai Dr. Ryan Stone membuat adegan film menjadi semakin menegangkan.

Situsasi yang kacau dan pertaruhan hidup dan mati yang dihadapi oleh ke dua astronot tersebut tampaknya sangat seru dan menarik untuk disaksikan. Tapi nampaknya kita harus bersabar karena film ini baru akan ditayangkan di bioskop bulan Oktober mendatang. Tapi bagi yang penasaran berikut ini trailer filmnya..





(Adi Saputro/ www.astronomi.us)



Wednesday, July 24, 2013

Ajaib !!! Walau Punya Sungai dan Laut, Titan Tidak Punya Gelombang

Fitur daratan dan danau di Titan yang diambil oleh wahana Cassini. Image credit: NASA
Satu-satunya objek di tata surya kita yang paling mirip dengan Bumi adalah bulan planet Saturnus, Titan. Titan mempunyai danau, laut, sungai, pulau, awan, hujan, bahkan pelangi, sama seperti Bumi. Bedanya zat cair di sana bukanlah air seperti Bumi tapi metana, etana, hidrokarbon dan zat cair yang sulit beku lainnya. Air berwujud cair tidak dimungkinkan untuk ada di Titan sebab di sana suhu terlalu dingin. Hal itu di dapat dari pengamatan yang dilakukan oleh wahana Cassini yang mengorbit di sekitar planet Saturnus.

Namun ada sebuah teka-teki yang membuat para astronom dan ilmuwan bingung yaitu jika Titan punya sungai, danau, dan laut, kenapa di sana tidak ada gelombang atau riak, padahal bulan planet Saturnus tersebut terdapat angin yang seharusnya bisa membuat gelombang di permukaan sungai, danau, dan laut tersebut. Permukaan danau dan lautnya begitu tenang dan diam. Hal itu didapat dari pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan radar wahana Cassini.

"Kita tahu bahwa ada angin di Titan, hal itu dibuktikan dengan adanya bukit pasir di daratannya," ungkap Alex Hayes, ilmuwan planet dari Cornell University.
Para ilmuwan memiliki beberapa pendapat tentang hal ini. Diantaranya adalah dimungkinkan zat cair di laut Titan membeku. Namun hal ini diragukan oleh Alex Hayes. Menurutnya tidak mungkin, sebab di sana juga terjadi hujan dan suhu permukaannya juga jauh di atas titik leleh metana. Menurutnya mungkin laut Titan memiliki zat tertentu di permukaannya yang mampu meredam getaran gelombang Namun hal itu juga belum pasti.

Untuk memahami lebih jauh tentang fenomena ini, ilmuwan mempelajari kepadatan atmosfer, kecepatan angin, viskositas rendah dari hidrokarbon cair di Titan dan sebagainya. Setidaknya dibutuhkan angin dengan kecepatan 2 mil per jam agar bisa menggerakkan zat cair Titan dan membuat gelombang.

Berdasarkan model iklim yang telah dibuat ilmuwan, tahun 2017 mendatang angin yang lebih besar akan terjadi di Titan. Dan jika ada gelombang, wahana Cassini akan dapat menangkap refleksi dari permukaan laut yang bergelombang. Dengan begitu akan diketahui viskositas fluida dan komposisi kimianya serta berapa kecepatan angin yang dibutuhkan untuk terjadinya gelombang. Selanjutnya itu akan sangat membantu untuk menggambarkan model iklim Titan dengan lebih sempurna.

Ini menunjukkan bahwa Titan memang benar-benar amazing. (SD, Adi Saputro/ www.astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto