Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Friday, May 18, 2012

Ilmuwan AS: Belerang Kunci Kehidupan di Bumi

Bumi adalah organisme hidup?. Image credit: NASA
Hipotesis Gaia pertama kali disampaikan oleh James Lovelock dan Lynn Margulis pada 1970. Hipotesis ini menyatakan bahwa fisik bumi dan proses biologi sangat berhubungan untuk membentuk suatu sistem yang hidup dan memiliki aturan sendiri. Hipotesis ini menganggap bumi sebagai suatu organisme tunggal.

Sebuah penemuan baru dari Universitas Maryland, Amerika Serikat dapat memberikan kunci untuk menjawab misteri bumi sebagai organisme hidup raksasa sesuai prediksi hipotesis Gaia.

Kuncinya, belerang yang dapat memungkinkan para ilmuwan untuk membuka interaksi tersembunyi antara organisme laut, atmosfer, maupun daratan. Interaksi tersebut mungkin menyediakan bukti yang mendukung teori terkenal ini.

Salah satu prediksi awal hipotesis ini bahwa harus ada suatu senyawa belerang yang dibuat oleh organisme di lautan yang cukup stabil terhadap oksidasi dalam air. Kondisi ini memungkinkan komponen belerang berpindah ke udara.

Entah senyawa belerang itu sendiri, atau produk oksidasi atmosfer, harus dapat mengembalikan belerang dari laut ke permukaan tanah. Kandidat yang paling mungkin untuk peran ini yakni dimethylsulfide (DMS), yakni cairan yang mudah terbakar dan tidak mudah larut dalam air. Cairan ini mendidih pada suhu 37 derajat celcius.

Publikasi temuan terbaru ini diterbitkan di Universitas Maryland, AS oleh penulis utama, Harry Oduro, bersama dengan ahli geokimia UMD, James Farquhar, dan ahli bilogi kelautan, Kathryn Van Alstyne dari Universitas Western Washington, AS.

Mereka menggunakan alat untuk melacak dan mengukur pergerakan belerang melalui organisme laut, atmosfer, dan daratan. Beberapa cara berguna untuk membuktikan atau menyangkal teori kontroversial Gaia. Studi mereka muncul di jurnal Edisi Online Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).

Menurut Oduro dan rekan-rekannya, karya ini menyajikan pengukuran langsung pertama dari komposisi isotop dimethylsulfide dan pendahulu dimethylsulfoniopropionate. Pengukuran ini mengungkapkan perbedaan rasio isotop dari kedua senyawa belerang yang diproduksi oleh ganggang laut dan fitoplankton. Isotop merupakan unsur yang atomnya mempunyai jumlah proton yang sama, tetapi berbeda jumlah neutron dalam intinya.

Pengukuran ini terkait dengan metabolisme senyawa oleh organisme laut dan membawa implikasi untuk pelacakan emisi dimethylsulfide dari laut ke atmosfer.

Belerang Sebagai Kunci

Belerang, elemen yang paling berlimpah kesepuluh dalam alam semesta, adalah bagian dari banyak senyawa anorganik dan organik. Siklus belerang melalui tanah, atmosfer dan kehidupan, memainkan peran penting dalam iklim dan dalam kesehatan organisme dan ekosistem.

"Emisi Dimethylsulfide memainkan peran dalam pengaturan iklim melalui transformasi untuk aerosol yang dianggap mempengaruhi keseimbangan radiasi bumi," kata Oduro, yang melakukan penelitian sambil menyelesaikan gelar Ph.D. di bidang geologi & sistem bumi ilmu di Maryland dan sekarang menerima beasiswa postdoctoral di Institut Teknologi Massachusetts.

Aerosol merupakan partikel padat dalam udara maupun tetesan air.

"Kami menunjukkan bahwa perbedaan dalam komposisi isotop dimethylsulfide mungkin berbeda dalam cara yang akan membantu kita untuk memperbaiki perkiraan emisi dalam atmosfer dan siklus di lautan," kata Oduro .

Seperti banyak unsur kimia lainnya, belerang terdiri dari isotop yang berbeda. Semua isotop dari elemen ditandai dengan memiliki jumlah elektron dan proton yang sama, tetapi jumlah neutron yang berbeda.

Isotop dari elemen ditandai dengan sifat kimia yang identik, tetapi berbeda sifat massal dan nuklir. Akibatnya, para ilmuwan dapat menggunakan kombinasi unik dari unsur isotop radioaktif agar melampaui tanda isotop dengan senyawa yang unsurnya dapat ditelusuri.

"Apa yang Harry lakukan dalam penelitian ini menemukan cara untuk mengisolasi dan mengukur komposisi isotop belerang dari dua senyawa belerang," kata Farquhar, seorang profesor di Universitas Maryland departemen geologi.

"Saya pikir ini sangat penting untuk menggunakan isotop dalam melacak siklus senyawa ini di permukaan lautan seperti perubahan terus menerus dimethylsulfide ke atmosfer. Kemampuan untuk melakukan hal ini dapat membantu kami menjawab pertanyaan iklim yang penting. Akhirnya, akan lebih baik dalam memprediksi perubahan iklim. Bahkan, dapat membantu kami untuk melacak koneksi-koneksi yang lebih baik antara emisi dimethylsulfide dan aerosol sulfat yang akhirnya menguji penghubung dalam hipotesis Gaia, " kata Farquhar. (vivanews.com, astronomi.us)

Thursday, May 17, 2012

Wallpaper Astronomi Gratis (17/05/2012)

Wallpaper gratis untuk Anda (17/05/2012). Silahkan klik gambar untuk mendownload.



Koleksi wallpaper astronomi.us bisa di lihat di sini.

Wednesday, May 16, 2012

Astronom Lakukan Misi untuk Temukan Lunar Modul Apollo 10

Ilustrasi Lunar Modul Apollo 10 mengorbit Matahari. Image credit: Adrian West http://twitter.com/virtualastro
Misi Apollo 10 diluncurkan pada 18 Mei 1968. Misi Apollo 10 sukses mengorbit Bulan dan melakukan prosedur docking. Lunar modul yang dibawa oleh misi tersebut yang disebut dengan Snoopy, dikirim untuk mengorbit di sekitar matahari.

Setelah 42 tahun, dipercaya bahwa modul tersebut berada pada orbit heliosentrik dan saat ini tim astronom dari Inggris dibantu oleh astronom dari negara lainnya bekerja sama untuk menemukannya.

Inisiatif untuk mencarinya datang dari astronom Inggris Nick Howes. Setelah berkonsultasi dengan NASA's Jet Propulsion Laboratory dan beberapa ahli lainnya, Howes mengumpulkan beberapa tim dari Faulkes telescope, Space Exploration Engineering Corp, astronom dari observatorium Remanzacco di Italia, dan beberapa sekolah di Inggris untuk berkerja sama.

Dikutip dari universetoday.com, Rabu (16/05/2012), Masalah yang dihadapi adalah kurangnya data orbit yang pasti sejak tahun 1969," kata Howes. Kita telah meminta bantuan Space Exploration Engineering Corp untuk membantu kita menemukan koordinatnya. Area pencarian dalam rentang 135 juta km merupakan tantangan besar yang harus dihadapi. "Dalam pencarian ini mungkin juga secara tidak sengaja akan ditemukan komet atau asteroid baru yang belum pernah dilihat, dan ini merupakan satu nilai tambah," tambah Howes. (Adi Saputro/ astronomi.us)

NASA Selesai Lakukan Tes Aerodinamika Pada Dream Chaser Space System

Dream Chaser di atas roket Atlas V. Image credit: spacedaily.com
NASA telah selesai melakukan tes terowongan angin untuk menguji model pesawat luar angkasa Dream Chaser Space System milik Sierra Nevada Corp (SNC) di Louisville, Colorado. Tes ini akan menguji tingkat aerodinamika dan desain baru dari model pesawat luar angkasa mereka.

Selama tes dilakukan di terowongan angin, model pesawat luar angkasa tersebut dipasangkan pada model roket Atlas V. Lebih dari 400 data dikumpulkan pada berbagai kecepatan yaitu subsonik, transonik, dan supersonik untuk mempelajari bagaimana udara bergerak melalui model tersebut. Semua dilakukan secara bertahap, mulai dari kecepatan 304 mil per jam, kemudian sampai 3.800 mil perjam dari berbagai sudut model pesawat tersebut.

Data yang dihasilkan dari tes tersebut digabungkan dengan data dari komputasi dinamika fluida, akan menentukan karakteristik dari aerodinamika dari model pesawat tersebut saat melalui fase peluncuran dengan roket Atlas V. (spacedaily.com, Adi Saputro/ astronomi.us)

Serba-serbi Proses Terbentuknya Bintang

Bayi bintang di pusat galaksi Bima Sakti.
Image credit: sciencedaily.com
Tim Astronom Jerman telah membuktikan pembentukan bintang tergantung lingkungan sekitar bintang saat dilahirkan. Tim tersebut menggunakan seni simulasi komputer untuk membuktikan temuan mereka.

Tim yang berbasis di Universitas Bonn, Jerman, mempublikasikan hasil temuan mereka dalam Pemberitahuan Bulanan Royal Astronomical Society.

Bintang diperkirakan terbentuk dalam ruang antar bintang dari awan gelap gas dan debu. Sifat bintang diharapkan tergantung pada kondisi lingkungan debu mereka. Ini sama halnya pembentukan suhu dan keadaan awan di bumi saat gerimis, hujan besar atau kecil, dan hujan es.

Sebaliknya, sampai sekarang bintang telah terbentuk secara tidak terduga dengan cara yang sama di mana-mana.

"Tempat pembentukan bintang merupakan daerah cuaca buruk di galaksi dan pembentukan bintang-bintang. Dalam analogi yang sangat kasar, seperti hujan pengembunan dari bahan ini," ujar anggota tim, Prof. Dr. Pavel Kroupa.

Kelompok ilmuwan kini memiliki bukti bahwa distribusi massa bintang memang tergantung pada lingkungan di mana bintang terbentuk.

"Anehnya, bukti ini tidak datang kepada kita dari daerah pembentukan bintang muda. Tapi, muncul dari kelas bintang yang sangat tua, yang disebut gugus bintang bulat," ujar Dr Michael Marks selaku penulis utama dari makalah ini.

"Jumlah bintang yang kurang besar dari matahari kita di gugus bulat, bertentangan dengan struktur mereka," tambahnya.

Gugus bulat adalah kelompok ribuan bintang di sekitar galaksi kita, Bima Sakti. Pembentukan bintang dalam gugus ini berhenti miliaran tahun yang lalu.

"Namun demikian, dengan simulasi ini, kami menemukan bahwa hubungan antara pembentukan bintang dan lingkungan kelahiran dapat dipahami. Terjadi saat kekuatan proses yang sangat awal dalam kehidupan gugus manapun, yang disebut pengeluaran sisa gas," lanjut Marks seperti dilansir dari Sciencedaily.com.

Setelah bintang selesai terbentuk, bintang itu mulai bersinar. Radiasi yang berasal dari sekelompok bintang baru menetas. Secara cepat radiasi ini menghilangkan gas yang membentuk bintang tersebut. Wilayah kelahiran bintang kemudian hancur, meninggalkan bintang dari massa yang berbeda. (vivanews.com, astronomi.us)

Tuesday, May 15, 2012

Sejarah Dimulainya Program / Misi Apollo Amerika

Logo misi Apollo. Image credit: wikipedia.org
Program Apollo adalah serangkaian misi luar angkasa berawak yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat (NASA) menggunakan pesawat antariksa Apollo dan roket Saturn, dilaksanakan selama tahun 1961-1975. Program ini didedikasikan untuk cita-cita (dari perkataan terkenal Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy) "mendaratkan seorang manusia di Bulan dan mengembalikannya dengan selamat ke Bumi" selama dekade 1960-an. Cita-cita ini dicapai oleh misi Apollo 11 pada Juli 1969.

Program diteruskan hingga awal 1970-an untuk melakukan eksplorasi ilmiah di Bulan, dengan total enam pendaratan sukses. Hingga 2006, tidak ada lagi misi luar angkasa berawak yang melebihi orbit bumi rendah. Program Skylab yang dibuat kemudian, dan Proyek Percobaan Apollo-Soyuz menggunakan perlengkapan yang awalnya diproduksi untuk Apollo dan sering dianggap sebagai bagian dari program Apollo.

Lokasi di Bulan yang pernah di darati oleh misi Apollo. Image credit: wikipedia.org

Di luar keberhasilan tersebut, terdapat beberapa kegagalan besar; salah satu di antaranya mengakibatkan tewasnya tiga astronot, Virgil Grissom, Ed White dan Roger Chaffee dalam peristiwa kebakaran landasan peluncuran Apollo 1. Ada juga ledakan pada misi Apollo 13 yang hampir menewaskan tiga astronotnya. Pelepasan gas beracun selama masuk kembali ke atmosfer Bumi dalam pesawat Proyek Percobaan Apollo-Soyuz hampir juga menewaskan tiga astronot lagi.

Program Apollo dinamai berdasarkan dewa matahari Yunani kuno.

Latar Belakang

Program Apollo semula disusun terlambat pada masa pemerintahan Presiden Dwight D. Eisenhower sebagai program lanjutan dari Program Mercury dalam melakukan misi mengorbit Bumi berawak yang lebih maju. Faktanya Apollo menjadi program ketiga setelah Program Gemini. Program Apollo secara dramatis diorientasikan kembali menjadi sebuah cita-cita agresif pendaratan manusia di Bulan oleh Presiden Kennedy dengan pengumumannya di sesi gabungan istimewa sidang Kongres AS pada 25 Mei 1961:
"..Saya percaya bahwa bangsa ini sebaiknya melibatkan diri dalam mencapai cita-cita, sebelum dasawarsa ini berakhir, mendaratkan seorang manusia di Bulan dan mengembalikannya dengan selamat ke Bumi. Tak ada satu pun proyek luar angkasa pada periode ini yang akan lebih mengesankan bagi umat manusia, atau lebih penting lagi pada eksplorasi luar angkasa jangka panjang; dan tak ada satu pun yang akan begitu sulit atau mahal untuk menyelesaikan.."

(wikipedia.org, astronomi.us)

Vesta, Asteroid Mirip Planet

Salah satu kawah di astereoid Vesta. Image credit: NASA
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa asteroid Vesta, objek terbesar kedua di antara orbit Mars dan Jupiter, sejatinya merupakan protoplanet (embrio planet). Sayangnya, embrio planet ini mengalami kegagalan berkembang atau keguguran.

Astronom dari Jet Propulsion Laboratory, NASA, di California baru-baru ini menggali data hasil tangkapan wahana antariksa Dawn untuk memperoleh hasil tersebut.

"Kami sekarang mengetahui bahwa Vesta adalah satu-satunya bangunan protoplanet yang utuh berasal dari masa-masa awal sejarah Tata Surya," ungkap Carol Raymond, pimpinan investigasi misi Dawn seperti dikutip Scientific American, Jumat (11/5/2012).

Menurut astronom, objek lain seumuran Vesta mungkin saja bergabung dengan planet atau sudah hancur akibat tumbukan miliaran tahun lalu.

Astronom menguraikan, ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa Vesta adalah sebuah protoplanet. Pertama, Vesta memiliki inti besi selebar 220 km. Inti besi tersebut sanggup menghasilkan medan magnet serupa yang dimiliki Bumi.

Sebelumnya, astronom menduga Vesta adalah adalah induk dari howardite-eucrite-diogenite (HED) meteorit (terdiri dari batuan magmatik yang terbentuk di temperatur tinggi). Riset menunjukkan bahwa Vesta memang induk dari jenis meteorit ini.

Bukti ketiga, permukaan asteroid Vesta menunjukkan kompleksitas yang tinggi, yang lebih menyerupai planet batuan daripada sebuah asteroid. Ini menegaskan bahwa Vesta adalah sebuah obbjek angkasa yang spesial.

Lalu, apa yang menyebabkan Vesta gagal menjadi planet? Astronom memperkirakan, penyebabnya adalah, Vesta berada di tempat yang tidak tepat.

Merkurius, Venus, Bumi dan Mars berada di orbit dalam Tata Surya, relatif tidak terpengaruh oleh gravitasi benda lain. Dengan demikian, protoplanet bisa membentuk planet dengan lebih mudah. Sementara, Vesta berada di antara orbit Mars dan Jupiter, dimana gravitasi Jupiter sangat mempengaruhi.

"Di sabuk asteroid, Jupiter memberi pengaruh sangat besar sehingga protoplanet-protoplanet tidak bisa berakresi (bergabung) satu sama lain," ungkap David O'Brien, peneliti di misi Dawn, seperti dikutip Space, kamis (10/5/2012).

Di wilayah sabuk asteroid, benda-benda juga bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga berpotensi untuk bertabrakan satu sama lain. Kecepatan tinggi inilah yang diduga menghancurkan banyak objek seperti Vesta.

Vesta yang memiliki lebar 530 km sendiri mengalami tumbukan. kawah di kutub selatan selebar 505 km dan kawah lain selebar 400 km menjadi buktinya.

Menurut ilmuwan, Vesta sendiri sudah beruntung dapat bertahan hidup di tengah berbagai tumbukan selama 4,5 miliar tahun. Ilmuwan mensyukuri hal ini sebab dapat menggunakan Vesta sebagai alat mempelajari Tata Surya.

"Vesta istimewa karena bisa selamat dari tumbukan keras di lingkungan sabuk asteroid selama miliaran tahun, memungkinkan kita untuk menginterogasi saksi kunci peristiwa pada masa-masa awal Tata Surya," kata Raymond.

Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Science, Kamis (10/5/2012) lalu. (kompas.com, astronomi.us)

Tiga Astronot Diluncurkan dari Baikonur, Kazakhstan

Roket Soyuz pembawa ketiga astronot.
Image credit: spacedaily.com
Dua astronot Rusia Gennady Padalka dan Sergei Revin, beserta astronot Amerika Joseph Acaba, berhasil meluncur dengan baik ke luar angkasa dengan menggunakan roket Soyuz FG untuk kemudian bergabung dengan ISS. Kapsul TMA-04M yang membawa mereka sukses memasuki orbit sesuai dengan rencana dan semuanya dalam keadaan baik, ucap pengendali misi. Mereka dijadwalkan tiba di ISS pada hari Kamis.

Dikutip dari spacedaily.com, Selasa (15/05/2012), Saat ini Rusia menjadi satu-satunya negara yang mampu mengirim manusia ke luar angkasa setelah pesawat ulang alik Amerika dipensiunkan, dan peluncuran kali ini merupakan yang pertama kali sejak 21 Desember 2011 lalu. (Adi Saputro/ astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto