Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Wednesday, April 18, 2012

Pesawat Ulang Alik Discovery Dimuseumkan

Pesawat ulang alik Discovery dibawa oleh pesawat Boeing 747.
Image credit: REUTERS/Robert Markowitz/NASA/Handout
Sejak kali pertama diterbangkan ke luar angkasa 30 Agustus 1984, pesawat ulang alik Discovery telah merampungkan 39 misi antariksa, 5.830 kali mengorbit Bumi, dan menempuh jarak total 238.539.663 kilometer.

Pada Selasa 17 April 2012 waktu setempat, ia harus menempuh sekali lagi perjalanan, dari Kennedy Space Centre di Florida ke Washington DC, 'digendong' di punggung Boeing 747, sebelum akhirnya paripurna. Discovery akan diistirahatkan di Museum Udara dan Antariksa Nasional Smithsonian.

Seperti dimuat situs Voice of America (VOA), pada tanggal 19 April, Discovery akan diresmikan sebagai bagian dari koleksi di pusat Museum Udvar-Hazy, tepat di luar ibukota AS.

Beberapa mantan astronot yang pernah menumpang Discovery ke luar angkasa akan hadir. Termasuk astronot John Glenn, yang pada tahun 1962 adalah astronot Amerika pertama yang mengorbit bumi. Ia bahkan kembali lagi ke ruang angkasa bersama Discovery pada tahun 1998.

Astronot NASA, Dan Burbank, yang juga pernah terbang dengan Discovery mengatakan, pesawat ulang-alik yang telah bekerja hampir selama 30 tahun itu layak untuk "menikmati" masa pensiunnya.

"Discovery melakukan sejumlah observasi luar angkasa dan beberapa satelit dengan spektakuler, dan telah membantu membangun hampir 1.000.000 pound (hampir 453.600 kg) laboratorium kelas dunia yaitu, Stasiun Luar Angkasa Internasional," kata Burbank. (vivanews.com, astronomi.us)

Ilmuwan: Kawah Meteor Mars Mungkin Terdapat Organisme

Kawah meteor Mars. Image credit: marsdaily.com
Para peneliti di University of Edinburgh mengetakan bahwa organisme telah ditemukan hidup di bawah sebuah tempat di Chesapeake Bay di Amerika Serikat di mana dahulu 35 juta tahun lalu sebuah asteroid jatuh menghantam tempat tersebut.

Berdasar dari hal tersebut, dikutip dari marsdaily.com (18/04/2012), ilmuwan Skotlandia mengatakan kemungkinan kawah meteor di planet Mars juga menyimpan organisme tersebut. Panas dari dampak seperti itu akan menyebabkan musnahnya segala sesuatu yang ada di permukaan planet tapi memungkinkan sisa air dan nutrisi mengalir dan mendukung kehidupan.

"Daerah retakan disekitar kawah merupakan tempat yang aman di mana mikroba dapat berkembang untuk jangka waktu yang lama," kata peneliti Charles Cockrell kepada BBC. Kawah dapat memberikan perlindungan bagi mikroba, melindungi mereka dari dampak perubahan musim dan peristiwa bencana seperti pemanasan global atau zaman es, katanya.

"Temuan kami menunjukkan bahwa bawah permukaan kawah di Mars mungkin tempat yang menjanjikan untuk mencari bukti kehidupan," tambahnya. (Adi Saputro/astronomi.us)

Gurun Lut, Tempat Paling Panas di Bumi

Gurun Lut di Iran, tempat paling panas di dunia. Image credit: upi.com
Awalnya, El Aziza di Libya diklaim menjadi tempat paling panas di dunia. Namun, peneliti Amerika Serikat (AS) menemukan tempat terpanas di Bumi. Ingin tahu?

El Aziza dinyatakan menjadi tempat terpanas pada 13 September 1922 dengan suhu tercatat mencapai 57,78C. Namun, menggunakan data dari US Geological Survey (USGS), tim dari University of Montana menemukan tempat terpanas di Bumi.

Gurun Lut di Iran tercatat memiliki suhu 70,72C pada 2005. Lalu, mengapa tempat ini tak dinyatakan sebagai tempat terpanas di dunia sejak awal? “Gurun panas Bumi secara iklim sangat keras dan sulit diakses untuk pengukuran rutin,” kata peneliti David Mildrexler.

Titik terpanas di Bumi biasanya tak diukur langsung menggunakan instrument berbasis daratan, lanjutnya seperti dikutip UPI. Diakuinya, Lut memiliki semua kondisi untuk suhu ekstrem, yakni kering, berbatu dan tanah berwarna gelap. (inilah.com, astronomi.us)

Monday, April 16, 2012

Bima Sakti Banyak Miliki Planet Kesepian

Ilustrasi planet kesepian. Image credit: Discovery
Galaksi Bimasakti memiliki lebih dari 100.000 planet yatim piatu atau planet nomad, alias planet yang tidak mengorbit bintang induk tertentu. Hal tersebut diketahui dari ekstrapolasi hasil observasi planet yang dilakukan dengan metode gravitational microlensing, melihat pengaruh gravitasi planet pada cahaya bintang.

Louis Strigari, ilmuwan dari Kavli Institute di Stanford University dan rekannya mendeteksi objek yang terdapat di Bimasakti, mulai dari yang sebesar Jupiter hingga sekecil Pluto. Berdasarkan hasil studi, ilmuwan menemukan bahwa tak ada cukup tata surya yang mempu menaungi seluruh planet yang ada, sehingga planet yatim piat umum.

Ada teori yang meyatakan bahwa planet yatim piatu semula berasal dari tata surya tertentu dan kemudian terlempar keluar. Hasil riset menunjukkan bahwa teori itu tak sepenuhnya berlaku. Lebih lanjut, hasil studi juga membuka pertanyaan baru tentang proses pembentukan planet serta pandangan baru tentang zona layak huni di luar Bumi.

"Jika ada planet nomad yang cukup besar dan memiliki atmosfer tebal, mereka bisa menjebak panas, memungkinkan bakteri untuk hidup," kata Strigari seperti dikutip Discovery, Jumat (24/2/2012).

Hasil penelitian Strigari telah dikirim ke jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society. Penelitian lebih lanjut bisa dilakukan dengan Wide-Field Infrared Survey Telescope (WFIRST) milik NASA dan Large Synooptic Telescope yang akan diluncurkan pada tahun 2020.(kompas.com, astronomi.us)

Planet Merkurius Miliki Es?

Planet Merkurius. Image credit: NASA
Merkurius memang planet terdekat dengan Matahari dengan temperatur mencapai 400 derajat Celsius. Tapi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa Merkurius mungkin memiliki air dalam bentuk es.

Sebelumnya, pengamatan dengan gelombang radio yang dilakukan di observatorium Arecibo di Puerto Rico menunjukkan adanya area kutub Merkurius memiliki warna terang.

Kini, pengamatan dengan kamera Mercury Dual Imaging System (MDIS) di wahana antaraiksa MESSENGER memperlihatkan bahwa warna terang itu ada di area bayangan permanen di kutub.

"Citra MDIS menunjukkan bahwa fitur terang radar di dekat kutub selatan Merkurius ada di area bayangan permanen. dan, di kutub utaranya juga terdapat hanya di area bayangan. Hasil ini mendukung hipotesis adanya es," kata Nancy Chabot, ilmuwan dari Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory, Senin (26/3/2012).

Dugaan ini tentu masih perlu diuji. Ada kemungkinan juga bahwa fitur terang yang didapatkan merupakan senyawa lain. Penelitian masih harus dilakukan.

Meski demikian, temuan ini sangat menarik. Bagaimana bisa planet yang terdekat dengan matahari memiliki es?

Kalau terbukti, maka akan makin banyak benda di tata surya yang memiliki air dalam bentuk es. Telah diketahui, Bulan dan mars juga punya air dalam bentuk es.

Chabot mempresentasikan hasil penelitiannya di Lunar and Planetary Science Conference ke-43 di Woodlands, Texas.(kompas.com, astronomi.us)

Duluan Mana, Planet atau Molekul Kehidupan?

Piringan protoplanet di sekitar bintang Fomalhaut (HD 216956). Image credit: NASA
Astronom berpandangan bahwa planet terbentuk ketika debu yang ada di piringan protoplanet (terdiri atas gas dan debu) membentuk bongkahan batu dan secara bertahap membangun bola lebih besar hingga menjadi planet.

Bumi dan planet lain di Tata Surya terbentuk dengan proses yang sama. Diperkirakan, waktu terbentuknya Bumi dan planet lain ialah 4,5 miliar tahun yang lalu.

Sebelumnya, astronom berpikir bahwa molekul kehidupan terbentuk setelah ada planet. Namun, pemodelan terbaru menunjukkan bahwa molekul kehidupan bisa saja terbentuk sebelum ada planet.

Geologi Fred Ciesla dari University of Chicago dan Scott Sandford dari Ames Research Center NASA di California adalah ilmuwan yang melakukan pemodelan komputer tersebut.

Berdasarkan pemodelan, keduanya mengatakan bahwa debu di piringan protoplanet bisa terpapar oleh sinar ultraviolet sehingga membentuk senyawa organik.

Senyawa organik adalah senyawa yang terdapat pada makhluk hidup. Senyawa ini meliputi asam amino, protein, karbohidrat, basa nukleus dan juga asam nukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA).

Sebelumnya, Sandford mnelakukan eksperimen dengan melakukan pemaparan UV ke butir debu yang tertutupi es. Ia menemukan, UV bisa memutus ikatan pada material dan memungkinkan pembentukan molekul kompleks.

Permasalahan saat itu, Sandford tak yakin mekanisme yang sama bisa bekerja pada debu di piringan protoplanet sehingga memungkinkan pembentukan molekul organik.

Pemodelan yang dilakukan membuktikan bahwa mekanisme itu bisa terjadi. Piringan protoplanet cukup dinamis sehingga debu bisa terbawa ke tepian piringan dan terpapar UV dari bintang.

"Hasil ini mengagumkan karena begitu natural. Kami tak harus membuat kondisi spesial dalam pemodelan kami. Kami menemukan semua yang kami harapkan bekerja dengan sempurna," ungkap Ciesla seperti dikutip Space, Kamis (29/3/2012).

Menurut Ciesla, dinamika dan proses itu tak cuma terjadi di Tata Surya, tetapi juga sistem keplanetan yang lain secara umum.

Meski demikian, hasil pemodelan belum mampu menjawab bagaimana senyawa organbik bisa sampai ke Bumi. Pandangan terbaru mengatakan bahwa senyawa organik dibawa oleh asteroid.(kompas.com, astronomi.us)

Galaksi NGC 2683, Galaksi Unik Berbentuk "UFO"

Galaksi NGC 2683 / galaksi UFO. Image credit: NASA
Teleskop antariksa Hubble berhasil menangkap citra galaksi spiral NGC 2683. Bentuk galaksi tersebut menyerupai pesawat alien yang kerap digambarkan dalam film fiksi ilmiah sehingga astronom di Astronaut Memorial Planetarium and Observatory menjulukinya "Galaksi UFO".

Citra yang ditangkap Hubble menunjukkan rupa galaksi jika dilihat dari samping. Sudut pandang ini memberi kesempatan bagi astronom untuk melihat detail debu di tepian dan siluet warna keemasan di tengah galaksi.

Citra ini dirilis NASA, Jumat (30/3/2012) lalu. Dalam citra galaksi ini, astronom juga bisa melihat bahwa NGC 2683 ini kaya akan bintang muda dan panas yang ditunjukkan dengan warna biru.

NGC 2683 ditemukan pada 5 Februari 1788 oleh astronom ternama, William Herschel. Galaksi ini mendiami rasi Lynx, rasi yang terlihat begitu redup sehingga membutuhkan mata sensitif untuk mengobservasi benda langit yang ada di areanya.

Instrumen Advanced Camera for Surveys yang ada pada teleskop antariksa Hubble menangkap citra galaksi ini dalam gelombang sinar tampak dan inframerah.(kompas.com, astronomi.us)

Ilmuwan Ungkap Teori Baru Material Pembentuk Bumi

Bumi. Image credit: NASA
Ian Campbell dan Hugh O'Neill dari Australia National University (ANU) mengemukakan bahwa Bumi terbentuk dari mekanisme yang berbeda dari yang dipercaya saat ini.

Hasil penelitian mereka menantang teori bahwa Bumi terbentuk dari material yang sama dengan Matahari. Dengan demikian, Bumi punya komposisi chondrit.

Chondrit adalah meteorit yang terbentuk di nebula yang mengelilingi Matahari 4,6 miliar tahun lalu. Meteorit ini berharga karena punya hubungan langsung dengan material awal Tata Surya.

"Selama puluhan tahun, diasumsikan bahwa Bumi memiliki komposisi yang sama dengan Matahari, selama elemen paling volatil seperti hidrogen dikecualikan," ungkap O'Neill.

Teori itu didasarkan pada pandangan bahwa semua benda di Tata Surya memiliki komposisi yang sama. Karena Matahari menyusun 99 Tata Surya, maka penyusun benda di Tata Surya pada dasarnya material Matahari.

Menurut Campbell dan O'Neill, Bumi terbentuk dari tumbukan benda serupa planet yang berukuran lebih besar. Benda angkasa tersebut sudah cukup masif dan memiliki lapisan luar.

Pandangan tersebut didukung oleh hasil penelitian Campbell selama 20 tahun di kolom batuan panas yang muncul dari lapisan dalam Bumi, disebut pluma mantel.

Berdasarkan penelitiannya, Campbell tak menemukan unsur seperti Uranium dan Thorium yang diduga memberi petunjuk bahwa Bumi tercipta dari material chondrit.

"Pluma mantel tidak melepaskan panas yang cukup yang mendukung adanya reservoir ini. Konsekuensinya, Bumi tidak memiliki komposisi yang sama dengan chondrit atau Matahari," ungkap Campbell.

Lapisan luar Bumi purba, kata Campbell seperti dikutip Universe Today, Jumat (30/3/2012), memiliki unsur yang menghasilkan panas yang berasal dari tumbukan dengan planet lain.

"Ini menghasilkan Bumi yang memiliki lebih sedikit unsur yang menghasilkan panas dibandingkan meteorit chondrit, yang menerangkan mengapa Bumi tak memiliki komposisi yang sama," jelas O'Neill.

Hasil penelitian Campbell dan O'Neill dipublikasikan di jurnal Nature, Kamis (29/3/2012). (kompas.com, astronomi.us)


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto