Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Wednesday, August 24, 2011

Astronom Amatir Temukan Planet Baru Tanpa Teleskop

Gilderm/stock.xchng
Astronom amatir menemukan empat planet di luar tata surya tanpa bantuan teleskop. Astronom berusia 45 tahun bernama Peter Jalowiczor hanya menganalisis data astronomi

Empat planet yang ditemukannya adalah HD 31253b yang berjarak 172 tahun cahaya dari Bumi, HD218566b yang berjarak 98 tahun cahaya, HD177830c yang berjarak 190 tahun cahaya, dan HD99492c yang berjarak 58 tahun cahaya.

Jalowiczor menemukan keempat planet tersebut hanya dengan mengandalkan data astronomi tahun 2005, milik para ilmuwan di universitas di Santa Cruz. Mulai tahun 2007, Jalowiczor menganalisis data tersebut, membuat gambar dan grafik untuk mendeteksi planet.

Ia menggunakan teknik yang disebut Spektroskopi Doppler. "Saya melihat perubahan perilaku pada bintang yang hanya bisa disebabkan oleh planet. Sekali saya mendapatkannya, saya langsung mengirimkan data ke Santa Cruz," paparnya. Ia memaparkan, "Jika ada planet yang mengorbit bintang, maka akan tampak goyangan kecil pada gerakan bintang itu. Goyangan tersebut menunjukkan keberadaan planet itu sendiri dalam sistem bintang."

Berkat temuannya, nama Jalowiczor bisa tertulis sebagai salah satu penulis dalam publikasi ilmiah tentang planet ini di Astrophysical Journal. Namanya berjajar dengan tim peneliti dari Universitas California.

Jalowiczor, yang juga anggota South Yorkshire's Mexborough and Swinton Astronomical Society, sangat tersanjung dan terhormat ketika namanya dicantumkan. Ia berkata, "Semoga hasil kerja saya bisa memotivasi yang lain."

Berkaitan dengan penemuannya, Jalowiczor sendiri merasa terkejut. "Saya suka astronomi sejak kecil, tapi menjadi salah satu penemunya, oh... saya kehilangan kata-kata," ungkapnya.

Publikasi data astronomi oleh Universitas Santa Cruz sendiri memang punya tujuan tertentu. Para ahli berharap, data itu bisa memacu munculnya temuan dari astronom amatir. Adanya temuan oleh Jalowiczor menunjukkan bahwa tujuan tercapai. (Yunanto Wiji Utomo)

Sumber: kompas.com

Lima Fakta Aneh Tentang Pluto

Ilustrasi Pluto. Credit: ESO
Tidak banyak hal yang sudah diketahui ilmuwan mengenai Pluto. "Segala hal yang kami ketahui tentang Pluto dapat ditulis di kertas berukuran 3x5 inci," tulis Space.com.

Meskipun demikian, pesawat NASA New Horizons diharapkan tiba di planet kerdil tersebut pada 2015. New Horizons diharapkan mengungkap lebih banyak informasi mengenai Pluto. Saat ini, ada lima fakta paling aneh mengenai Pluto. Ini dia.


Mantan Raksasa
Ketika pertama kali ditemukan tahun 1930, Pluto diyakini lebih besar daripada Merkurius, dan bahkan mungkin lebih besar daripada Bumi. Saat ini, Pluto berdiameter 1.352 kilometer, 20 persen lebih kecil dari pada Bumi.

Orbit Tak Biasa
Orbit Pluto tidak seperti delapan planet lain. Orbitnya sangat elips dan berjarak sekitar 5,87 miliar kilometer dari matahari. Ada masanya ketika Pluto berada pada posisi lebih dekat ke Bumi dibandingkan Neptunus, planet kedelapan. Orbit keduanya memang bersinggungan, tapi keduanya tidak akan bertabrakan.


Dingin Ekstrem
Pluto merupakan salah satu tempat terdingin di tata surya. Temperatur permukaannya sekitar minus 225 derajat Celcius. Ilmuwan memperkirakan Pluto terdiri dari 70 persen batu dan 30 persen es--permukaannya didominasi oleh es nitrogen.

Pluto juga diperkirakan memiliki lautan di bawah permukaan. Keberadaan laut itu ditunjukkan dengan ciri geologi atau kimiawi permukaan Pluto.


Bulan-Bulan Pluto
Pluto punya empat bulan: Charon, Nix, Hydra, dan P4. Bulan yang terakhir disebut belum lama ini ditemukan. Nama resminya nanti kemungkinan adalah "Cerberus".

Nix, Hydra, dan P4 berukuran kecil, sementara Charon memiliki ukuran sekitar separuh Pluto. Karena ukurannya yang cukup besar itu, beberapa astronom memasangkan Pluto dan Charon sebagai bintang kerdil ganda.


Atmosfer
Ada atmosfer di pluto, meskipun tipis, 3.000 kilometer tebalnya. Komposisi atmosfer tersebut adalah nitrogen, metana, dan karbon monoksida. (Sumber: Life's Little Mysteries)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Di Bulan Banyak Ditemukan Perak dan Merkuri

Ilustrasi pengamatan bulan oleh pesawat NASA. Credit: NASA
Pesawat NASA yang jatuh di salah satu kawah di bulan mendapati perak dan merkuri dalam jumlah yang lebih besar ketimbang temuan yang dulu. Konsentrasi perak dan merkuri itu didapati di tempat reruntuhan pesawat, di kutub selatan bulan yang dikenal dengan nama Cabeus. Menurut astronom, temuan ini memberi petunjuk bagaimana air bisa ada di bulan dan berkumpul di bagian kutub.

Bulan bisa tertabrak oleh benda-benda angkasa lain. Ketika terjadi, metal diuapkan dengan mudah. Uap itu, atom demi atom, bergerak menuju ke daerah kutub yang dingin. Ketika tiba di tempat yang lebih dingin, uap berubah bentuk menjadi cairan.

Peter Schultz, pemimpin studi dari Brown University, Rhode Island, Amerika Serikat, menyebutkan kalau perak seperti pelacak. "Perak memberikan informasi kalau air di bulan berasal dari komet dan asteroid yang menabrak bulan," kata Schultz.

Pesawat NASA yang jatuh itu merupakan bagian dari misi LCROSS. NASA mengirim pesawat yang membawa roket Centaur untuk menghantam kawah di bagian selatan yang selalu gelap. Kapal pembawa roket itu lalu merekam kejadian tabrakan sebelum menabrakan diri ke bulan.

Roket tersebut menghasilkan kawah baru selebar 30 meter dan mengirimkan 6.000 kilogram debu, uap, dan puing ke angkasa. Para penyidik yang terlibat dalam misi LCROSS mendapati 155 kilogram air dan es dikeluarkan pada saat tabrakan. Mereka memercayai masih ada 5 hingga 8 persen dari sisa material di kawah merupakan es dari air.

Hasil studi Schultz yang terpisah dari misi LCROSS mendapati perak dan merkuri berikut senyawa lain yang mudah menguap, seperti hidrokarbon, molekul yang membawa sulfur, dan karbondioksida.

Studi lebih lanjut mengenai senyawa-senyawa dan jumlahnya di bulan ini bisa jadi informasi baru tentang sejarah tata surya, demikian menurut Schultz. "Kita mencari petunjuk mengenai perubahan iklim dengan mengambil contoh atmosfer masa lalu di Antartika. Es pada bulan bukan hanya memberi kita petunjuk tentang sejarah di Bumi, melainkan memberi tahu kita tentang sejarah tata surya," ujar Schultz.

Sumber: nationalgeographic.co.id

Angin surya bisa jadi sumber listrik untuk Bumi

Ilustrasi. Credit: JAXA
Angin surya (solar wind) bisa jadi sumber listrik bagi peralatan luar angkasa. Itu berita lama. Akan tetapi, ketika para ilmuwan di Washington State University ingin mencoba menggunakannya sebagai sumber listrik untuk kehidupan di Bumi, itu berita baru.Sebuah layar berukuran sangat besar dikirim ke angkasa luar untuk memanen energi dari angin surya yang terjadi di luar angkasa. Listrik yang didapat bisa mencapai miliaran gigawatt. Yang jadi masalah adalah cara mengirimkan listrik itu ke Bumi.

Layar tersebut memiliki kabel tembaga berdiameter 4 inci dan diarahkan ke matahari. Kabel yang panjangnya antara 980 kaki hingga setengah mil itu menghasilkan medan magnet untuk menangkap elektron yang dihasilkan oleh angin surya.Partikel itu kemudian disalurkan ke sebuah penerima yang akan menghasilkan arus listrik.

Sejumlah listrik yang berhasil ditangkap dipakai untuk menenagai layar. Sejumlah lainnya digunakan untuk menghasilkan laser inframerah yang diarahkan ke stasiun luar angkasa atau sumber listrik di Bumi.

Masalahnya, layar tersebut berlokasi puluhan juta mil dari Bumi, melewati kemampuan jangkauan sinar laser. Bahkan sinar laser yang paling kuat pun akan tercerai berai pada jarak seperti itu. "Laser akan terburai dengan lebar ribuan mil," menurut John Mankins, Presiden Artemis Innovation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang tenaga surya. Seperti dikutip New Scientist, Mankins mengatakan kalau lensa yang sangat besar dibutuhkan. "Mungkin 10 hingga 100 kilometer panjangnya," kata Mankins.

Tim peneliti pun mengaku mereka harus membuat laser yang lebih fokus sebelum satelit dengan layar itu dapat digunakan. Tapi, ide penelitian ini sangat penting untuk digali lebih dalam.

Sumber: nationalgeographic.co.id

Kehabisan Gas, Alam Semesta Mulai Meredup

Alam semesta. Credit: prikitiuws.blogspot.com
Alam semesta sekarang lebih gelap dibandingkan dulu. Hal ini dikarenakan alam semesta menghasilkan bintang lebih sedikit akibat galaksi mulai kehabisan gas. Demikian penelitian oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO).

Robert Braun dari CSIRO meneliti beberapa galaksi jauh dan membandingkannya dengan galaksi-galaksi terdekat. Peneliti menemukan galaksi saat masa pembentukan dulu memiliki molekul hidrogen lebih banyak dibandingkan dengan galaksi masa kini. Karena bintang terbentuk dari hidrogen, jika semakin sedikit hidrogen yang ada, maka semakin sedikit bintang yang terbentuk. "Penelitian ini memberikan kita informasi mengapa alam semesta mulai redup dan kehilangan cahayanya," ungkap Braun.

Masalah utamanya adalah bagaimana galaksi dapat mendapat gas dari luar. "Gas masuk ke galaksi melalui ruang antargalaksi. dua pertiganya masih ditemukan di ruang tersebut, hanya sepertiga yang membentuk galaksi," ungkap astronom. Dua per tiga gas yang ada di ruang antargalaksi menciptakan planet, planet kerdil, dan bintang neutron.

Tersendatnya gas di dalam ruang antargalaksi tercipta saat Energi Gelap (Dark Energy) mulai menjajah alam semesta. "Kecepatan Energi Gelap itu akan membuat galaksi semakin sulit menciptakan bintang," papar Braun. "Jadi, molekul gas yang digunakan mengalami penurunan yang cukup cepat. Selama interval waktu yang kami pelajari, penurunan itu semakin cepat," tambahnya. (Sumber: Physorg)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Kesulitan Anggaran, Proyek Teleskop NASA Terancam Batal

Konsep teleskop JWST di luar angkasa. Credit: NASA

Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa saat ini NASA tengah mengembangkan telekop James Webb (JWST / James Webb Space Telescope). Anggaran yang dibutuhkan untuk membuat teleskop tersebut ternyata membengkak menjadi $ 8,7 miliar dari yang sebelumnya $ 6,5 miliar. Hal itu cukup membuat NASA kesulitan untuk mengatur keuangan pada proyek lainnya.

Presiden Barack Obama sendiri sebelumnya telah mengatakan akan memotong anggaran bagi lembaga feredal untuk mengurangi beban keuangan pemerintah. Tidak terkecuali NASA. Jika kekurangan dana sekitar $ 2.2 miliar tidak dapat diperoleh, maka NASA akan memotong dan mengurangi anggaran proyek lainnya untuk dialokasikan di proyek JWST. Rencananya JWST akan diluncurkan sebelum 2018. (Sumber: Aviation Week & Space Technology, Nature News)

Ilmuwan Temukan Cara Baru Prediksi Bintik Matahari


Bintik Matahari. Credit: Wikimedia.org

Kita semua mengetahui tentang bintik matahari dan dampaknya. Dapat mengganggu jaringan listrik, memutus komunikasi satelit dan menimbulkan bahaya bagi para astronot dan hal itu tentunya sangat merugikan. Namun saat ini dengan satelit SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) milik NASA, peneliti mampu mengambil 15 tahun "suara" data dari bintang terdekat kita dan hal itu dapat digunakan untuk mengembangkan teknik baru untuk mendeteksi bintik matahari sebelum muncul.

Seperti dikutip Astronomi.us dari Universetoday.com (24/08/2011), dengan menggabungkan informasi yang diperoleh dengan NASA’s Solar Dynamics Observatory satellite, yang membawa Helioseismic dan Magnetic Imager, para ilmuwan telah menemukan metode baru untuk mendeteksi bintik matahari sedalam 65.000 kilometer di bawah permukaan matahari. Pada area tersebut medan magnet menghasilkan gelombang dari turbulensi plasma dan gas. Di dekat permukaan gelombang bergerak kembali menuju inti matahari hanya untuk dipantulkan lagi. Dengan membandingkan hal tersebut, gelombang seismik dipelajari di bumi untuk dianalisa. Dari situ para peneliti dapat mengukur gelombang antara titik untuk memprediksi bintik matahari. Hal ini bermanfaat untuk kegiatan peramalan cuaca yang sudah bisa diprediksi 3 hari sebelumnya.

Planet Kerdil 2007 OR10 Bukan Putih, Tapi Merah

Planet kerdil 2007 OR10 disebut juga Snow White. Credit: NASA
Ditemukan pada tahun 2007 oleh mantan mahasiswa pascasarjana Meg Schwamb, planet kerdil "snow white" mengorbit di tepi Tata Surya. Kira-kira setengah dari ukuran Pluto. Awalnya planet tersebut diidentifikasi berwarna putih, namun ternyata keliru. Justru sebagian besar dari planet tersebut berwarna merah

Dikutip Astronomi.us dari universetoday.com (21/08/2011), para astronom di Institut Teknologi California (Caltech) telah meneliti lebih dekat planet kerdil 2007 OR10 tersebut. Obyek Sabuk Kuiper ini adalah sebuah "dunia" yang beku, tertutup es. Sementara permukaannya tertutup dan menjadi putih oleh es, namun perlahan air es itu menghilang. Mengapa? Menurut penelitian baru, snow white mungkin memiliki atmosfer tipis metana yang metodis menghilang.

"Anda bisa melihat gambar dari apa yang dulu merupakan dunia kecil yang aktif dengan gunung berapi dan itu sekarang keadaannya beku, mati, dengan suasana yang perlahan menjauh," kata Mike Brown, Richard dan Barbara Rosenberg Profesor dan profesor planet astronomi, yang merupakan penulis utama pada makalah yang akan diterbitkan dalam Astrophysical Journal Letters menggambarkan temuan. "Dengan semua planet kerdil yang sebesar ini, ada sesuatu yang menarik tentangnya dan selalu memberitahu kita sesuatu," kata Brown. "Yang satu ini kita selama bertahun-tahun frustrasi karena kita tidak sebenarnya bagaimana planet kerdil itu."

Ketika planet kerdil 2007 OR10 pertama kali ditemukan, instrumen terbaik untuk studi yaitu Kamera Near Infrared (NIRC) di Observatorium Keck. Tapi tidak akan lama sampai Adam Burgasser, seorang mantan mahasiswa pascasarjana dari Brown dan sekarang menjadi profesor di UC San Diego, membantu merancang sebuah instrumen baru yang disebut Dilipat-port inframerah Echellette (API) untuk mempelajari obyek di Sabuk Kuiper. Pada musim gugur yang lalu, Brown, Burgasser, dan sarjana postdoctoral Wesley Fraser menempatkan API untuk diuji dengan Telescope Magellan di Chile untuk melihat lebih dekat planet kerdil "Salju puith". Mereka telah menduga, planet kecil itu berwarna merah - tetapi yang mengejutkan adalah keberadaan air es. "Itu kejutan besar," kata Brown. "Es tidak berwarna merah."

Apakah planet itu sendirian?. Beberapa tahun sebelumnya Brown juga menemukan planet kerdil lain - Quaoar - dengan spektrum merah dan air es. Karena ukurannya yang kecil, atmosfer Quaoar hilang. Selama periode evolusinya, senyawa yang mudah menguap hilang ke angkasa, hanya meninggalkan metana yang muncul berwarna merah. Karena spektrum dari kedua planet kecil yang sama, kesimpulannya adalah mereka berdua memiliki sifat yang mirip. "Itu kombinasi merah dan air, 'metana,'" Brown menjelaskan. "Kami pada dasarnya melihat hal unik dari Snow White. Selama empat setengah miliar tahun, Salju Putih telah ada di sana, perlahan-lahan kehilangan atmosfer, dan sekarang hanya ada tersisa sedikit. "

Namun, tim sedang berhati-hati untuk saat ini. Sementara hal pasti adalah adanya keberadaan air es, keberadaan metana belum didokumentasikan dan perlu penelitian lebih lanjut dengan teleskop yang lebih besar seperti Keck. Selanjutnya tugas tim adalah mencari pengganti istilah snow white 2007 OR10 karena yang dulunya putih, berubah menjadi merah. Sebelum penemuan air es dan mungkin metana, "2007 OR10" mungkin sudah cukup bagi komunitas astronomi, karena tampaknya tidak cukup penting untuk menjamin nama resmi. "Kami tidak menduga bahwa Snow White begitu menarik," kata Brown. "Sekarang kita tahu dan hal itu layak dipelajari."


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto