Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Wednesday, August 24, 2011

Angin surya bisa jadi sumber listrik untuk Bumi

Ilustrasi. Credit: JAXA
Angin surya (solar wind) bisa jadi sumber listrik bagi peralatan luar angkasa. Itu berita lama. Akan tetapi, ketika para ilmuwan di Washington State University ingin mencoba menggunakannya sebagai sumber listrik untuk kehidupan di Bumi, itu berita baru.Sebuah layar berukuran sangat besar dikirim ke angkasa luar untuk memanen energi dari angin surya yang terjadi di luar angkasa. Listrik yang didapat bisa mencapai miliaran gigawatt. Yang jadi masalah adalah cara mengirimkan listrik itu ke Bumi.

Layar tersebut memiliki kabel tembaga berdiameter 4 inci dan diarahkan ke matahari. Kabel yang panjangnya antara 980 kaki hingga setengah mil itu menghasilkan medan magnet untuk menangkap elektron yang dihasilkan oleh angin surya.Partikel itu kemudian disalurkan ke sebuah penerima yang akan menghasilkan arus listrik.

Sejumlah listrik yang berhasil ditangkap dipakai untuk menenagai layar. Sejumlah lainnya digunakan untuk menghasilkan laser inframerah yang diarahkan ke stasiun luar angkasa atau sumber listrik di Bumi.

Masalahnya, layar tersebut berlokasi puluhan juta mil dari Bumi, melewati kemampuan jangkauan sinar laser. Bahkan sinar laser yang paling kuat pun akan tercerai berai pada jarak seperti itu. "Laser akan terburai dengan lebar ribuan mil," menurut John Mankins, Presiden Artemis Innovation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang tenaga surya. Seperti dikutip New Scientist, Mankins mengatakan kalau lensa yang sangat besar dibutuhkan. "Mungkin 10 hingga 100 kilometer panjangnya," kata Mankins.

Tim peneliti pun mengaku mereka harus membuat laser yang lebih fokus sebelum satelit dengan layar itu dapat digunakan. Tapi, ide penelitian ini sangat penting untuk digali lebih dalam.

Sumber: nationalgeographic.co.id

Kehabisan Gas, Alam Semesta Mulai Meredup

Alam semesta. Credit: prikitiuws.blogspot.com
Alam semesta sekarang lebih gelap dibandingkan dulu. Hal ini dikarenakan alam semesta menghasilkan bintang lebih sedikit akibat galaksi mulai kehabisan gas. Demikian penelitian oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO).

Robert Braun dari CSIRO meneliti beberapa galaksi jauh dan membandingkannya dengan galaksi-galaksi terdekat. Peneliti menemukan galaksi saat masa pembentukan dulu memiliki molekul hidrogen lebih banyak dibandingkan dengan galaksi masa kini. Karena bintang terbentuk dari hidrogen, jika semakin sedikit hidrogen yang ada, maka semakin sedikit bintang yang terbentuk. "Penelitian ini memberikan kita informasi mengapa alam semesta mulai redup dan kehilangan cahayanya," ungkap Braun.

Masalah utamanya adalah bagaimana galaksi dapat mendapat gas dari luar. "Gas masuk ke galaksi melalui ruang antargalaksi. dua pertiganya masih ditemukan di ruang tersebut, hanya sepertiga yang membentuk galaksi," ungkap astronom. Dua per tiga gas yang ada di ruang antargalaksi menciptakan planet, planet kerdil, dan bintang neutron.

Tersendatnya gas di dalam ruang antargalaksi tercipta saat Energi Gelap (Dark Energy) mulai menjajah alam semesta. "Kecepatan Energi Gelap itu akan membuat galaksi semakin sulit menciptakan bintang," papar Braun. "Jadi, molekul gas yang digunakan mengalami penurunan yang cukup cepat. Selama interval waktu yang kami pelajari, penurunan itu semakin cepat," tambahnya. (Sumber: Physorg)

Sumber: nationalgeographic.co.id

Kesulitan Anggaran, Proyek Teleskop NASA Terancam Batal

Konsep teleskop JWST di luar angkasa. Credit: NASA

Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa saat ini NASA tengah mengembangkan telekop James Webb (JWST / James Webb Space Telescope). Anggaran yang dibutuhkan untuk membuat teleskop tersebut ternyata membengkak menjadi $ 8,7 miliar dari yang sebelumnya $ 6,5 miliar. Hal itu cukup membuat NASA kesulitan untuk mengatur keuangan pada proyek lainnya.

Presiden Barack Obama sendiri sebelumnya telah mengatakan akan memotong anggaran bagi lembaga feredal untuk mengurangi beban keuangan pemerintah. Tidak terkecuali NASA. Jika kekurangan dana sekitar $ 2.2 miliar tidak dapat diperoleh, maka NASA akan memotong dan mengurangi anggaran proyek lainnya untuk dialokasikan di proyek JWST. Rencananya JWST akan diluncurkan sebelum 2018. (Sumber: Aviation Week & Space Technology, Nature News)

Ilmuwan Temukan Cara Baru Prediksi Bintik Matahari


Bintik Matahari. Credit: Wikimedia.org

Kita semua mengetahui tentang bintik matahari dan dampaknya. Dapat mengganggu jaringan listrik, memutus komunikasi satelit dan menimbulkan bahaya bagi para astronot dan hal itu tentunya sangat merugikan. Namun saat ini dengan satelit SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) milik NASA, peneliti mampu mengambil 15 tahun "suara" data dari bintang terdekat kita dan hal itu dapat digunakan untuk mengembangkan teknik baru untuk mendeteksi bintik matahari sebelum muncul.

Seperti dikutip Astronomi.us dari Universetoday.com (24/08/2011), dengan menggabungkan informasi yang diperoleh dengan NASA’s Solar Dynamics Observatory satellite, yang membawa Helioseismic dan Magnetic Imager, para ilmuwan telah menemukan metode baru untuk mendeteksi bintik matahari sedalam 65.000 kilometer di bawah permukaan matahari. Pada area tersebut medan magnet menghasilkan gelombang dari turbulensi plasma dan gas. Di dekat permukaan gelombang bergerak kembali menuju inti matahari hanya untuk dipantulkan lagi. Dengan membandingkan hal tersebut, gelombang seismik dipelajari di bumi untuk dianalisa. Dari situ para peneliti dapat mengukur gelombang antara titik untuk memprediksi bintik matahari. Hal ini bermanfaat untuk kegiatan peramalan cuaca yang sudah bisa diprediksi 3 hari sebelumnya.

Planet Kerdil 2007 OR10 Bukan Putih, Tapi Merah

Planet kerdil 2007 OR10 disebut juga Snow White. Credit: NASA
Ditemukan pada tahun 2007 oleh mantan mahasiswa pascasarjana Meg Schwamb, planet kerdil "snow white" mengorbit di tepi Tata Surya. Kira-kira setengah dari ukuran Pluto. Awalnya planet tersebut diidentifikasi berwarna putih, namun ternyata keliru. Justru sebagian besar dari planet tersebut berwarna merah

Dikutip Astronomi.us dari universetoday.com (21/08/2011), para astronom di Institut Teknologi California (Caltech) telah meneliti lebih dekat planet kerdil 2007 OR10 tersebut. Obyek Sabuk Kuiper ini adalah sebuah "dunia" yang beku, tertutup es. Sementara permukaannya tertutup dan menjadi putih oleh es, namun perlahan air es itu menghilang. Mengapa? Menurut penelitian baru, snow white mungkin memiliki atmosfer tipis metana yang metodis menghilang.

"Anda bisa melihat gambar dari apa yang dulu merupakan dunia kecil yang aktif dengan gunung berapi dan itu sekarang keadaannya beku, mati, dengan suasana yang perlahan menjauh," kata Mike Brown, Richard dan Barbara Rosenberg Profesor dan profesor planet astronomi, yang merupakan penulis utama pada makalah yang akan diterbitkan dalam Astrophysical Journal Letters menggambarkan temuan. "Dengan semua planet kerdil yang sebesar ini, ada sesuatu yang menarik tentangnya dan selalu memberitahu kita sesuatu," kata Brown. "Yang satu ini kita selama bertahun-tahun frustrasi karena kita tidak sebenarnya bagaimana planet kerdil itu."

Ketika planet kerdil 2007 OR10 pertama kali ditemukan, instrumen terbaik untuk studi yaitu Kamera Near Infrared (NIRC) di Observatorium Keck. Tapi tidak akan lama sampai Adam Burgasser, seorang mantan mahasiswa pascasarjana dari Brown dan sekarang menjadi profesor di UC San Diego, membantu merancang sebuah instrumen baru yang disebut Dilipat-port inframerah Echellette (API) untuk mempelajari obyek di Sabuk Kuiper. Pada musim gugur yang lalu, Brown, Burgasser, dan sarjana postdoctoral Wesley Fraser menempatkan API untuk diuji dengan Telescope Magellan di Chile untuk melihat lebih dekat planet kerdil "Salju puith". Mereka telah menduga, planet kecil itu berwarna merah - tetapi yang mengejutkan adalah keberadaan air es. "Itu kejutan besar," kata Brown. "Es tidak berwarna merah."

Apakah planet itu sendirian?. Beberapa tahun sebelumnya Brown juga menemukan planet kerdil lain - Quaoar - dengan spektrum merah dan air es. Karena ukurannya yang kecil, atmosfer Quaoar hilang. Selama periode evolusinya, senyawa yang mudah menguap hilang ke angkasa, hanya meninggalkan metana yang muncul berwarna merah. Karena spektrum dari kedua planet kecil yang sama, kesimpulannya adalah mereka berdua memiliki sifat yang mirip. "Itu kombinasi merah dan air, 'metana,'" Brown menjelaskan. "Kami pada dasarnya melihat hal unik dari Snow White. Selama empat setengah miliar tahun, Salju Putih telah ada di sana, perlahan-lahan kehilangan atmosfer, dan sekarang hanya ada tersisa sedikit. "

Namun, tim sedang berhati-hati untuk saat ini. Sementara hal pasti adalah adanya keberadaan air es, keberadaan metana belum didokumentasikan dan perlu penelitian lebih lanjut dengan teleskop yang lebih besar seperti Keck. Selanjutnya tugas tim adalah mencari pengganti istilah snow white 2007 OR10 karena yang dulunya putih, berubah menjadi merah. Sebelum penemuan air es dan mungkin metana, "2007 OR10" mungkin sudah cukup bagi komunitas astronomi, karena tampaknya tidak cukup penting untuk menjamin nama resmi. "Kami tidak menduga bahwa Snow White begitu menarik," kata Brown. "Sekarang kita tahu dan hal itu layak dipelajari."

VIDEO: Keindahan Galaksi Bima Sakti dari Bumi Oleh Randy Halverson

Galaksi Bima Sakti. Credit: howstuffworks.com
Musim panas yang melanda Amerika saat ini tidak menghalangi fotografer paruh waktu Randy Halverson untuk mengambil gambar keindahan galaksi Bima Sakti yang kemudian ia abadikan dalam sebuah video. Selain gambar yang menakjubkan, video ini juga diiringi dengan musik yang menarik. Tertarik ingin melihat, nah berikut ini video buatannya



Robonaut2: Robot Manusia Pertama di Luar Angkasa

Robonaut2. Credit: NASA
Robonaut2 telah menjadi robot manusia pertama yang terbang ke luar angkasa. Diangkut dari International Space Station melalui Space Shuttle Discovery Februari lalu.

Robonaut adalah robot manusia didesain oleh General Motors dan insinyur NASA yang sedang dalam perjalanan melakukan misi pertamanya.

Pada akun Twitter robot ini, ia men-tweet, “Saya sedang di luar angkasa! HALO ALAM SEMESTA!!!”

Robonaut atau R2 tidak mempunyai tugas spesifik di stasiun dan akan melakukan “tugas rutin dan layanan,” kata GM. Sebagian tugasnya adalah melakukan pekerjaan yang terlalu berbahaya untuk dikerjakan manusia.

Dengan berat lebih dari 136 kilo, robot terbuat dari aluminium dan besi itu dapat mengangkat beban hingga 9 kilo dengan masing-masing tangannya. Untuk membuatnya menghabiskan biaya 2.5 juta dollar AS.

Menurut Computer World, robot tersebut mempunyai 38 prosesor komputer.

“Para astronot dan kontroler misi perlu terbiasa dengan alat ini,” kata Kris Verdeyen, Insinyur elektrik proyek Robonaut NASA kepada Computer World.

Ini adalah robot manusia pertama di luar angkasa. Saya bayangkan awalnya hal ini cukup menakutkan. Jika Anda pernah melihat film dengan robot, ini bisa menakutkan.

Sumber: epochtimes.co.id

Rusia Menang Lawan AS dalam Persaingan Luar Angkasa?

Pesawat luar angkasa Atlantis
NASA berencana untuk melakukan perjalanan ruang angkasa terakhir dengan pesawat antariksa Atlantis miliknya, dan selanjutnya Rusia akan berkuasa penuh atas stasiun luar angkasa internasional.

Menurut AFP, setelah keputusan AS untuk menghentikan pesawat antariksa NASA, maka AS harus membayar kepada Rusia apabila AS hendak mengirimkan astronotnya ke stasiun ruang angkasa internasional (ISS) dengan menumpang pesawat antariksa Rusia, Soyuz. Untuk melaksanakan misi antariksanya, setidaknya AS harus bergantung pada media aviasi Rusia hingga 2015 mendatang hingga perusahaan swasta AS mampu mengembangkan pesawat antariksa untuk melakukan perjalanan luar angkasa.

Dihentikannya penerbangan Atlantis pada 8 Juli mendatang adalah pertanda putusnya hubungan kerjasama antara AS dan Rusia selama 30 tahun dalam misi pengiriman astronot dan bahan kebutuhan ke ISS secara bergiliran.

Jika astronot AS hendak memasuki ISS, setiap orang harus membayar biaya transportasi sebesar 51 juta dolar AS kepada Soyuz. NASA kini menggantungkan harapan besar terhadap perusahaan antariksa swasta Blue Origin, yang sedang membangun pesawat antariksa komersial “New Shepard”, berharap agar secepatnya rampung guna mengakhiri krisis misi luar angkasa.

Meskipun situasi ini menandakan bahwa Rusia memimpin persaingan luar angkasa, namun Vitaly Davydov selaku wakil kepala Badan Antariksa Rusia mengatakan dalam sebuah wawancara, “Kami tidak dapat mengatakan bahwa kami telah memenangkan persaingan luar angkasa ini, kami hanya bisa mengatakan bahwa kini kami telah sampai di penghujung fase tertentu.” Rusia jelas tidak bermaksud menunjukkan sikap puasnya.

Davydov menolak untuk memberikan komentar apapun sehubungan dengan kemenangan Rusia dalam persaingan luar angkasa, sebaliknya ia menekankan makna penting dari stasiun ruang angkasa ISS ini adalah contoh keberhasilan kerja sama internasional.

“New Shepard” diperkirakan akan rampung antara 2015-2020 mendatang, dibuat oleh Blue Origin, perusahaan milik pendiri situs Amazon.com, Jeff Bezos. Blue Origin telah memperoleh subsidi sebesar 22 juta dolar AS dari NASA yang seluruhnya akan digunakan untuk mengembangkan industri luar angkasa milik swasta.

Sumber: epochtimes.co.id


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto