Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Thursday, August 18, 2011

Di Planet Lain, Tanaman Berwarna Hitam

Warna hitam dan abu-abu memang jarang ditemui pada vegetasi tanaman di Bumi. Namun, warna tumbuh-tumbuhan di planet lain mungkin saja didominasi warna hitam dan abu-abu. Warna tersebut misalnya bisa jadi muncul di planet berwarna kemerahan.

Peneliti Jack O'Malley-James dari University of St Andrews di Skotlandia tengah mengerjakan riset tentang proses fotosintesis berlangsung pada tanaman dengan dipengaruhi dari warna cahaya yang menyinarinya.


Di Bumi, kebanyakan tanaman berwarna hijau demi beradaptasi dengan cahaya Matahari yang kuning keemasan, yang diterima di permukaan planet. Namun, berdasarkan penelitiannya, pada planet-planet yang bersistem dua bintang dengan warna berbeda dari Matahari, tanaman dapat berwarna abu-abu bahkan hitam.

"Supaya dapat menyerap energi lebih, dan memperkuat proses fotosintesis," terangnya.

Penelitian ini pun membuka wawasan akan banyaknya kombinasi serta variasi pada bintang dan potensi keberlangsungan kehidupan di planet-planet yang mengorbitnya.

Tak hanya unsur warna yang berpengaruh. "Untuk planet yang mengorbit dua bintang atau lebih, radiasi berbahaya dari cahaya yang intens dapat membuat tanaman menciptakan semacam tabir suryanya sendiri, untuk mengeblok sinar ultraviolet," kata O'Malley-James.

Source: http://sains.kompas.com/read/2011/04/28/21375764/Di.Planet.Lain.Tanaman.Berwarna.Hitam

Di Planet Lain, Tanaman Berwarna Hitam, Wow Di Planet Lain Tanaman Berwarna Hitam, Tumbuhan di planet lain berwarna hitam ?

Rekor Penjelajahan Luar Angkasa Selama 50 Tahun

Terbangnya kosmonot Yuri Gagarin ke angkasa pada 12 April 1961 memulai misi panjang manusia menembus langit. Gagarin mengorbit selama 108 menit sekaligus melambungkan asa manusia untuk menaklukkan luar angkasa.

Selama 50 tahun sejarah penjelajahan luar angkasa, manusia telah menorehkan berbagai rekor. Berikut rekor-rekor tersebut.

Fenomena Cahaya Hijau di Permukaan Bulan

http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2011/05/01/1458438620X310.jpg

Gerhard H�depohl yang mengurusi citra rekaman foto ruang angkasa di European Southern Observatory (ESO) merekam pancaran sinar hijau dari Bulan. Sinar apakah itu?
Gerhard H�depohl yang mengurusi citra rekaman foto ruang angkasa di European Southern Observatory (ESO) merekam pancaran sinar hijau dari Bulan. Sinar apakah itu?

http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2011/05/01/1458438620X310.jpg

Gerhard berhasil mengabadikan fenomena tersebut dalam gambar yang terdiri dari beberapa foto. Ia mendapati pancaran sinar hijau di Bulan saat kondisi pagi sedang cerah di Paranal Residencia.

Sinar hijau sebetulnya bukan hal yang aneh. Di Cerro Paranal, gunung setinggi 2.600 meter di gurun pasir Atacama, Chili, sinar hijau sering kali tampak pada Matahari yang hendak terbenam. Foto Gerhard mengejutkan karena fenomena yang biasanya didapati pada Matahari ini jarang terjadi pada Bulan.

Sinar hijau itu terjadi karena pembiasan cahaya oleh atmosfer. Atmosfer Bumi membelokkan cahaya. Pembelokan semakin besar pada kondisi atmosfer yang tidak terlalu padat lapisan-lapisannya.

Cahaya dengan panjang gelombang yang pendek dibelokan lebih banyak daripada cahaya yang gelombangnya lebih panjang.

Pada posisi Gerhard saat mengambil foto, cahaya hijau dari Matahari atau Bulan yang posisinya sedikit lebih tinggi daripada cahaya jingga dan merah. Pada kondisi yang tepat, pancaran sinar hijau dapat terlihat di pucuk Matahari atau Bulan saat berada di dekat horizon.

Sumber :
sains.kompas.com

Seperti Inilah Rancangan Stasiun Luar Angkasa China

Kini China terbukti tak cuma jago membuat ponsel atau mobil yang menyerupai ponsel atau kendaraan besutan industri negara barat.

Rencana negara tirai bambu itu untuk mewujudkan stasiun luar angkasa sendiri, merupakan fase penting pencapaian China sebagai salah satu negara kuat yang tak bisa dipandang remeh.

Bukti-Bukti Kehidupan Awal Bumi Ada di Bulan


Mengetahui bagaimana kehidupan dimulai di planet Bumi adalah salah satu target utama ilmu pengetahuan. Sejumlah peneliti asal Inggris memiliki teori baru. Mereka yakin kunci untuk mengetahui misteri bentuk kehidupan awal di Bumi justru berada di bulan.

Peneliti menyebutkan, batu-batuan yang berasal dari planet Bumi terlempar ke bulan saat asteroid membombardir Bumi dan inner planet (planet paling dekat dengan Matahari) lainnya.

Sebagai informasi, sekitar 4 miliar tahun lalu, terjadi fenomena hujan meteor yang disebut sebagai Late Heavy Bombardment. Ketika itu, planet Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dihujani oleh ribuan asteroid dan meteorit yang menghantam permukaan planet.

Fenomena sangat mengerikan yang berlangsung selama 300 juta tahun itu memiliki efek beragam pada planet-planet yang ketika itu masih muda, salah satunya adalah pelontaran miliaran ton material dari permukaan planet ke luar angkasa.

Pada kasus Bumi, sebagian material itu kemungkinan berhasil tiba di Bulan. Hipotesis ini sangat masuk akal, mengingat di kutub selatan Bumi pernah dijumpai meteorit yang terbukti berasal dari planet Mars.

Untuk itu, sangatlah mungkin berasumsi bahwa planet-planet terdalam saling bertukar material saat Late Heavy Bombardment. Demikian pula dengan Bumi dan Bulan yang juga saling bertukaran material.

Menurut sejumlah pakar dari University of London Birkbeck College School of Earth Sciences, material milik Bumi itu telah mendarat di Bulan dengan mulus sehingga memungkinkan tanda-tanda biologis tetap tersimpan dengan baik.

Dikutip dari Softpedia, 5 Mei 2011, tim peneliti yang diketuai oleh Ian Crawford dan Emily Baldwin menyebutkan, tanda-tanda biologi itu justru tidak akan mampu bertahan di Bumi karena besarnya dampak tumbukan meteor, erosi akibat angin dan hujan, aktivitas volkanik, gempa bumi, dan penguasaan habitat oleh spesies makhluk hidup lain.

Dalam sejumlah simulasi komputer, tim peneliti menunjukkan sebongkah material yang terpental ke arah Bulan akibat tumbukan asteroid pada bumi akan mendarat di permukaan Bulan dengan kecepatan 2,5 kilometer per detik atau kurang. Dengan temperatur yang ada di Bulan, tidak ada bagian dari material itu yang mendekati tekanan puncak yang mengakibatkan material itu meleleh.

Sayangnya, teori baru ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah sampai manusia kembali pergi ke Bulan, mengumpulkan sampel bebatuan dari sejumlah lokasi, dan membawa pulang ke Bumi untuk dianalisa secara mendalam. Namun, melakukan penelitian seperti itu akan memberikan kita pengetahuan yang luar biasa akan sejarah kehidupan di planet Bumi.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218536-bukti-bukti-kehidupan-awal-bumi-ada-di-bulan

NASA Buktikan Teori Relativitas Einstein

Alat pengukur gravitasi milik Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, berhasil membuktikan dua asumsi kunci yang dicetuskan Albert Einstein dalam teori relativitas. Teori ini dicetuskan oleh Einstein pada 52 tahun yang lalu.

Misi The Gravity Probe-B (GP-B) diluncurkan pada tahun 2004 untuk mempelajari dua asumsi Einstein. Pertama, mengenai efek geodesi, atau adanya lengkungan ruang dan waktu di sekitar gravitasi.
Kedua, asumsi mengenai frame-dragging, yang menjelaskan jumlah struktur ruang-waktu yang terpilin akibat rotasi suatu massa.

"Bayangkan bumi seakan-akan terbenam di benda seperti madu," kata Francis Everitt, peneliti Stanford University yang juga peneliti utama GP-B. "Ketika bumi berotasi, madu di sekitarnya akan membentuk pusaran yang mengikuti (swirl), begitu pula dengan ruang dan waktu," demikian analogi Everitt.

Gravity Probe-B menggunakan empat gyroscope (pengukur orientasi) dengan tingkat ketepatan ultra tinggi untuk mengukur dua hipotesa gravitasi ini. Alat ini kemudian mengkonfirmasi kedua efek gravitasi dengan mengarahkan alat ini ke bintang yang disebut IM Pegasi, untuk menciptakan presisi yang netral.

Jika gravitasi tidak berdampak terhadap ruang dan waktu, maka gyroscope GP-B akan menunjuk ke arah yang sama saat probe itu berada di kutub orbit sekitar bumi. Bagaimana pun, gyroscopes memiliki perubahan kecil tapi terukur terhadap arah putaran daya tarik bumi.

"Hasil misi ini akan memiliki dampak jangka panjang terhadap teori yang dimiliki ahli fisika," kata Bill Danchi, ahli antrofisika dan pengamat di Markas Nasa di Washington.

"Setiap teori yang meragukan teori Einstein dalam hal relativitas umum akan mencoba untuk mencari hasil pengukuran yang tepat dari yang telah dilakukan GP-B," lanjut Danchi.

Hasil ini menjadi proyek terpanjang yang dilakukan NASA, yang telah terlibat dalam penelitian gyroscope untuk relativitas sejak 1963.

Penelitian dan percobaan yang dilakukan selama berpuluh tahun ini telah merintis teknologi untuk mengendalikan gangguan yang bisa mempengaruhi pesawat ulang-alik, seperti daya tarik aerodinamis, medan magnet, dan variasi hawa panas. Lebih jauh, misi pelacak bintang dan gyroscope NASA merupakan alat dengan presisi tertinggi yang pernah didesain dan diproduksi.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218838-nasa-buktikan-teori-relativitas-einstein

Titan, Bulan Terbesar Saturnus Miliki Samudera di Bawah Tanah ?

Mungkinkah bulan terbesar milik Saturnus, Titan, memiliki samudera raksasa di bawah permukaannya? Setidaknya demikianlah pendapat para peneliti dari Royal Observatory of Belgium di Brussel.

Tim peneliti menggunakan radar dari pesawat ulang-alik Cassini milik NASA untuk 'mengintip' ke balik atmosfer tipis Titan. Mereka menemukan bahwa, setelah beberapa waktu, beberapa bagian permukaan Titan bergeser hingga 19 mil (30,57 kilometer). Menurut mereka, pergeseran ini dikarenakan permukaan Titan berada di atas cairan berupa air dan ammonia.

Ilustrasi samudera raksasa di bawah permukaan Titan

Selain Bumi, Titan memang diketahui memiliki cairan pada permukaannya. Jika dugaan 'samudera bawah tanah' itu terbukti benar, hal ini akan meningkatkan peluang bulan tersebut memiliki kehidupan.

Bukan hanya itu, berdasarkan data yang ditransmisikan oleh Cassini, sumbu rotasi Titan juga mengalami pergeseran hingga 0,3 derajat. Menurut tim peneliti, terjadinya pergeseran sumbu rotasi ini menjadi bukti bahwa Titan tidak sepenuhnya terbuat dari material keras atau solid.

Titan justru disinyalir memiliki tempurung es yang berada di atas air laut, selubung es serta pusat planet yang beku dan berbatu. Demikian seperti dilansir Daily Mail, Sabtu (7/5/2011).

Salah satu peneliti, Rose-Marie Baland, mengatakan, "Penemuan ini berbalik dari apa yang kami ketahui tentang planet dan satelit lain serta proses formasi planet."

Kendati demikian, peneliti juga mempertimbangkan kemungkinan lain jika Titan tertabrak komet atau asteroid baru-baru ini, sehingga menyebabkan sumbu rotasinya bergeser.

Namun tampaknya mereka tetap berkeras untuk membuktikan bahwa Titan memang menyembunyikan samudera raksasa di bawah permukaannya. Mereka mensinyalir lautan itu memiliki kedalaman 3 hingga 265 mil (4-426 kilometer).

"Analisa kami memperkuat kemungkinan bahwa Titan menyimpan samudera di bawah permukaannya. Tapi hal itu belum bisa dipastikan. Jadi masih banyaak pekerjaan yang harus kami lakukan," tambah Baland.

Penemuan ini akan dipublikasikan di jurnal Astronomy & Astrophysics edisi mendatang.

Ukuran Alam Semesta 250 Kali Lipat Lebih Luas Dari Perkiraan Sebelumnya

Apakah alam semesta memiliki ukuran pasti atau tak terbatas? Berhubung ukuran alam semesta yang dapat dilihat semakin meluas, benda berjarak terjauh yang bisa dilihat menjadi jauh lebih tua dibanding yang diperkirakan yakni sekitar 14 miliar tahun.

Diketahui, photon pada latar belakang gelombang mikro kosmik telah menempuh waktu 45 miliar tahun untuk tiba di Bumi. Itu berarti, alam semesta yang terlihat oleh mata setidaknya memiliki ukuran seluas 90 miliar tahun cahaya.

Namun demikian, ternyata alam semesta jauh lebih luas lagi. Ini bisa diketahui berkat analisis statistik yang dibuat oleh Mihran Vardanyan dan rekan-rekannya, peneliti dari University of Oxford.

Menurut Vardanyan, seperti dikutip dari Daily Galaxy, Rabu 4 Mei 2011, kunci dari mengetahui ukuran sebenarnya dari alam semesta adalah dengan mengukur lengkungannya.

Sebelumnya, astronom memiliki beberapa metode untuk mengukur lengkungan tersebut. Salah satunya, menurut Technology Review dari Massachusetts Institute of Technology, adalah menggunakan objek yang berada di jarak jauh yang sudah diketahui ukurannya dan membandingkan dengan seberapa besar ia terlihat.

Jika objek itu tampak lebih besar dibanding seharusnya, alam semesta tertutup. Jika ukurannya tampak sama seperti seharusnya, alam semesta berbentuk datar. Namun, jika lebih kecil, berarti alam semesta terbuka (tak terhingga).

Masalahnya, saat ilmuwan mengamati berbagai data dari bermacam model, mereka mendapatkan jawaban yang berbeda-beda untuk mengetahui jawaban pasti seputar lengkungan dan ukuran alam semesta. Lalu, mana yang paling akurat di antaranya?

Terobosan yang diambil Vardanyan dan timnya disebut dengan nama Bayesian model averaging. Teknik ini lebih cerdas dibandingkan dengan menggunakan pengukuran lengkungan yang umum digunakan ilmuwan untuk menjelaskan data yang mereka miliki.

Menurut permodelan yang dibuat Vardanyan, lengkungan alam semesta sangat dekat dengan 0. Dengan kata lain, kemungkinan besar, alam semesta berukuran datar.

Sebuah alam semesta yang berbentuk datar juga bisa tak terbatas. Dan kalkulasi yang dibuat oleh Vardanyan juga konsisten dengan hal ini. Dari perhitungan, alam semesta memiliki ukuran setidaknya 250 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Hubber volume yang berukuran 13,8 miliar tahun cahaya.

Source: http://teknologi.vivanews.com/news/read/218293-ukuran-alam-semesta-250-kali-lipat-lebih-luas


Loading
Posisi Wahana New Horizon Menuju Pluto